“Sudah
kuduga akan menemukanmu di sini.”
Seorang
wanita berdiri di samping mejaku. Raut mukanya tampak tak senang. Aku
menatapnya dengan malas-malasan.
“Hai,
Reiko.”
“Kenapa
kau tidak masuk kuliah?”
Aku
diam. Tak menjawab. Reiko duduk di kursi depanku. Aku menatap ke luar jendela
kafetaria. Hujan.
“Ghita-chan?”
“Entahlah.”
“Apa
maksudmu dengan ‘entahlah’ itu?”
“Aku
tidak tahu.”
“Ada apa denganmu?
Biasanya kau yang paling semangat masuk kelas. Apalagi, hari ini kelas
speaking-nya Pak Abe.”
“Ah,
aku lagi malas.”
“Hikaru
saja, tidak tahu ke mana kau!”
“Hikaru
– dia masuk kelas?”
Reiko
mengangguk.
“Baguslah.”
Reiko
menatap heran. Aku menghirup kopi hangat di depanku.
“Kau
kenapa? Ingatlah, sebentar lagi kau sudah harus mulai menulis skripsi!”
“Justru
itu dia! Mana bisa aku menulis skripsi jika pikiranku sedang kacau seperti pagi
ini!”
“Maksudnya?”
Aku
tak menjawab. Aku menatap kembali ke luar kafetaria.
“Sudahlah.
Aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, telepon saja aku. Dan, tadi Hikaru titip
terima kasih.”
“Terima
kasih kembali.”
“Ya.
Selamat tinggal!”
“Hati-hati
di jalan!”
Reiko
pergi. Aku tak beranjak. Kafetaria sepi. Mungkin karena hujan di luar sana. Jadinya,
orang-orang susah pergi ke kafetaria ini. Reiko terlihat mengeratkan jaketnya
dan kemudian pergi menerobos hujan.
Sebuah
mobil berhenti di seberang jalan. Dua pria keluar dari dalamnya. Mantel mereka
begitu besar. Tampang mereka kaku. Aneh. Berbeda dengan orang Jepang kebanyakan.
Mirip tampangku. Orang asing! Orang Indonesia!
Mereka
berdua berdiam sebentar di depan gedung. Mengobrol. Kuperhatikan seorang di
antaranya dengan seksama. Potongan tubuhnya kukenali. Pram. Itu Pram! Pram?
Mataku
memicing. Kucoba melihat lebih jelas. Benarkah itu Pram?
Benar.
Itu Pram!
Kusambar
tas dan mantel. Aku berlari ke pintu keluar. Hujan deras menyambutku ketika aku
keluar kafetaria. Basah.
“PRAM!”
Kedua
pria di seberang tak menoleh. Mereka tetap asyik dengan obrolan mereka.
“PRAM!”
Seseorang
keluar dari dalam gedung. Ia menyalami kedua pria yang sedang mengobrol itu.
Tak lama, mereka lalu masuk.
“PRAM!”
Percuma.
Suaraku kalah oleh derasnya hujan. Aku kecewa.
Aku
maju. Mencoba menyeberang. Tak bisa. Jalanan penuh dengan lalu lalang mobil.
Aku tak berani. Aku takut. Aku mundur kembali. Rambutku mulai basah.
Kuputar
otak. Mencari akal. Hujan semakin deras.
Tak
lama, ketiga pria itu keluar lagi. Mereka bersalaman, dan bercakap sebentar.
“PRAM!”
Aku
melambai.
Dua
pria asing itu, masuk kembali ke dalam mobil tanpa mempedulikanku. Lambaianku
tak berhenti. Lagi, dan lagi.
“PRAM!”
Mobil
yang membawa kedua pria itu perlahan bergerak. Meninggalkan gedung seberang.
Diiringi tatapanku.
“Pram…”
Mobil
itu menjauh dalam derasnya hujan dan lalu lalang jalanan kampus. Mobil itu
membawa Pram. Benarkah itu Pram? Benarkah? Atau, hanya perasaanku saja?
Hujan
membasahi segenap tubuhku. Biar. Aku tak peduli. Seiring suasana hatiku yang
gundah.
Pram.
Adakah kau di dalam mobil itu? Mengapa kau tidak mendengar panggilanku? Pram,
sudahkah kau melupakanku?
Kereta
dalam kota Tokyo
begitu sepi sore itu. Tak biasanya begini. Padahal, sekarang hari kerja, dan
jam-jam pulang kantor. Tapi, tetap saja gerbongku hanya terisi enam orang.
Aku
diam. Melamun. Lagi? Aku tak masuk kelas kuliah hari ini. Aku melarikan diri ke
kafetaria. Aku menyembunyikan diriku di sana.
Dan kemudian, aku melihatnya. Aku melihat Pram.
Pram,
benarkah tadi itu dirimu yang kulihat di seberang kafetaria saat hujan?
Benarkah Pram? Ada
perlu apa kau kemari? Atau jangan-jangan, kau termasuk rombongan insinyur Indonesia itu,
ya? Pasti! Ah, aku harus hadir dan memastikannya besok!
Di
sebuah stasiun, kereta berhenti. Seorang wanita naik. Sekilas, aku
mengenalinya. Ya, dia wanita yang menelepon dan super sibuk waktu pagi itu!
Wanita
itu naik dengan wajah lelah. Ia membawa beberapa berkas dokumen yang tebal. Ia
duduk di depanku. Beberapa kali, ia menghela napas.
Kemudian,
ponselnya berdering.
“Halo?
Ya, ini aku. Ada
apa? Oh, ya. Aku tahu. Terima kasih atas ucapan selamatnya. Kita berhasil
memenangkan tender itu. Ah, itu ‘kan
hasil kerja keras kita semua, dan bukan aku saja!
“Ya.
Kita harus segera berbenah dan bersiap untuk memberikan pelayanan terbaik bagi
mereka. Jangan sampai proyek mereka terbengkalai, dan kemudian tender ini jatuh
ke
pihak
lain. Nanti, kita berikan mereka rencana keuangan proyek yang sudah fix. Ya,
kau berikan saja pada Tuan Bakhtiar. Dia wakil perusahaannya.”
Bakhtiar?
Kok Indonesia
banget?
Aku
berpikir.
“Apa?
Nama depannya? Pramudya, kalau tidak salah. P-R-A-M-U-D-Y-A. Pramudya.”
Hah?
Pramudya? Pramudya Bakhtiar? Bukankah itu nama panjangnya Pram? Berarti, Pram
ada di sini! Pram ada di Jepang! Pram ada di Tokyo!
Aku
tergugah dan ingin segera bertanya. Tapi, kereta berhenti. Sudah sampai. Wanita
itu bergegas turun. Aku bangkit. Kucoba mengejarnya.
“Nona!”
Wanita
itu tak menoleh. Ia tetap berjalan ke depan tanpa melihatku.
“Nona!”
Wanita
itu sampai di luar stasiun. Ia menaiki taksi yang sudah menunggu. Pergi.
Aku
berhenti di luar stasiun. Napasku terengah-engah. Kutatap taksi yang membawa
wanita itu pergi menjauh. Yah!
Pram.
Benarkah kau ada di Tokyo?
Lalu, kenapa kau tak mencariku? Apa kau sudah lupa akanku? Pram. Aku
merindukanmu!
Kubuka
pintu rumah dengan malas. Kulangkahkan kakiku masuk dengan gontai. Kulepas
mantel. Kusimpan begitu saja di tiang gantungan. Air hujan yang menempel segera
menetesi lantai.
“Ghita-chan,
kaukah itu?”
“Ya.”
Aku
berjalan ke dapur. Hikaru berada di sana.
Ia sedang menyajikan makanan dari microwave.
“Kau
sudah makan?”
“Belum.”
“Ya,
sudah. Kita makan bersama.”
“Kau
sudah baikan, Hikaru?”
“Sudah
agak mendingan.”
“Oh,
ya. Pesanmu sudah disampaikan Reiko.”
“Oh,
baguslah.”
Hikaru
menyimpan sepiring cap-cay di meja. Ia membuka rice cooker, dan menuangkan nasi
ke dua mangkuk.
“Makanlah.
Ini masakan Thailand.
Aku membelinya saat pulang tadi.”
“Cap-cay.”
“Apa
katamu?”
“Cap-cay.”
“Itu
namanya?”
“Mungkin.
Karena mirip seperti yang sering aku makan.”
“Oh,
benarkah?”
“Ya.
Di negaraku disebut seperti itu. Aku baru tahu jika cap-cay dari Thailand.”
“Memang,
asalnya kau kira dari mana?”
“Cina.”
“Ah,
kalau begitu ini pasti bukanlah cap-cay. Hanya mirip saja. Selamat makan!”
Hikaru
mencomot sesendok cap-cay dan menaruhnya di mangkuknya. Ia mulai makan. Aku
diam. Nafsu makanku tidak ada. Aku hanya menatap semangkuk nasi di depanku.
“Dari
mana saja kau seharian ini?”
“Aku
di kafetaria.”
“Pantas
Reiko menanyakanmu padaku tadi saat kelas pertama di kelasnya Pak Ogata.
Kemudian, ia bertanya lagi padaku di kelasnya Pak Abe.”
“Hmm.”
Hikaru
menyuapkan makanannya lagi.
“Kau
kenapa, sih hari ini? Apa karena aku kemarin jadinya kau lemas dan tak
bersemangat? Jangan-jangan, kau tertulari penyakit sedihku, ya?”
Sejenak,
aku tersenyum.
“Tidak.
Tidak juga. Bukan itu. Ini hal lain.”
“Oh.
Bolehkah aku tahu?”
Aku
diam. Haruskah aku memberitahunya?
“Pram.”
“Pram?”
Hikaru
menyimpan mangkuk nasi dan sumpitnya ke meja. Ia menatapku dalam-dalam.
“Pram?
Kekasihmu itu?”
“Ya.”
“Ada apa? Sebuah
kebetulan, setelah tiga tahun ini kau baru memikirkannya. Apa sebab?”
“Dia
di sini. Tokyo.
Jepang.”
“Hah?
Bagaimana bisa? Bagus itu! Tapi tunggu, kenapa dia tak mencari dan menemuimu?”
“Aku
melihatnya di kafetaria tadi. Aku juga tidak tahu kenapa dia tak mencariku.
Mungkin, ia sudah lupa padaku.”
“Kafetaria?
Berarti tadi dia berada di kampus kita! Apa Reiko juga tahu?”
“Tidak.
Tadi aku hanya sekilas saja melihatnya di seberang jalan.”
“Tunggu,
dia di seberang jalan dan kau hanya diam di kafetaria dan melihatnya? Kau yakin
itu Pram?”
“Aku
yakin seyakin-yakinnya, Hikaru!”
“Lalu,
kenapa kau tidak menghampirinya?”
“Tadi
hujan, Hikaru! Dan juga, aku tak bisa menyeberang jalan. Banyak mobil!”
“Ah,
itu mungkin bukan Pram-mu. Mungkin itu orang lain yang kebetulan mirip
dengannya. Apa tadi kau memanggilnya?”
“Ya.
Bahkan aku berteriak berulang kali.”
“Wah,
kalau begitu dia pasti bukanlah Pram-mu.”
“Tapi,
tadi itu hujan deras. Sehingga pastinya suaraku tidak terdengar karena kalah
oleh suara derasnya hujan.”
“Ah,
sudahlah. Kalaupun benar itu Pram-mu, pastinya dia sudah memberi kabar padamu,
bukan?”
Hikaru
kembali makan. Aku diam. Aku ingin melanjutkan. Aku ingin mengatakan kejadian
kecil di kereta tadi, tapi…. Ah, sudahlah. Biarkan saja.
Pram,
jika kau benar berada di Tokyo,
kenapa kau tidak menghubungiku? Atau, apakah karena kau tidak tahu
keberadaanku?
Aku
berdiam di balkon malam itu. Jalanan sepi. Tak ada orang yang lewat. Udara
malam hari ini begitu dingin. Pasti karena hujan dari siang sampai sore tadi.
Langit
begitu cerah. Awan mendung sudah hilang. Bulan bersinar terang.
“Jangan
melamun terus! Sudah malam!”
“Aku
tidak melamun. Aku hanya sedang berpikir.”
Hikaru
muncul dari belakangku. Ia duduk di kursi sebelahku.
“Pasti,
kau berpikir tentang Pram.”
Aku
mengangkat alis.
“Sudahlah,
mungkin benar saja itu dia, Pram-mu. Kau tak perlu khawatir. Maafkan ucapanku
saat makan malam tadi.”
“Ah,
tidak apa, kok. Aku baik-baik saja.”
“Tapi-“
Aku
mengangkat tangan. Hikaru diam.
“Kita
lihat saja besok.”
“Ada apa memangnya?”
“Masih
ingat selebaran dari Yamada waktu itu?”
“Ya.
Aku masih ingat. Oh, kedatangan beberapa insinyur itu, ya?”
Aku
mengangguk.
“Siapa
tahu, Pram ada di antara mereka semua.”
“Memang,
dia insinyur, ya?”
“Waktu
terakhir aku bersamanya, dia sedang kuliah Teknik Mesin.”
“Wah,
hebat!”
“Ya.
Mungkin sekarang dia sudah lulus dengan nilai terbaik, dan terpilih bersama
beberapa insinyur lainnya dari Indonesia
untuk pergi ke sini.”
“Memangnya,
dia pintar?”
“Ya.
Dia pintar. Sungguh sangat pintar. Melebihi kepintaranku!”
“Lalu,
kenapa dulu dia tak mengambil beasiswa sepertimu untuk kuliah di sini?”
“Entahlah.
Kalau tidak salah, dulu itu dia tidak tahu jika ada beasiswa seperti ini.”
“Tapi,
dia memang benar-benar pintar, bukan?”
“Ya!
Tentu saja! Itu salah satu alasan aku menyukainya. Dulu…”
“Wah,
kalau begitu ada kemungkinan.”
Hikaru
tersenyum. Aku juga.
“Ya.
Semoga saja besok dia ada.”
Angin
berhembus. Semilirnya menambah dingin suasana malam.
Gedung
Auditorium Fakultas Teknik tampak ramai. Puluhan orang berjalan keluar masuk.
Di atas pintu masuk, terpampang spanduk dalam tulisan kanji dan latin.
SELAMAT
DATANG INSINYUR INDONESIA
Wah!
Pasti benar! Pasti ada Pram di sini!
Aku
melangkah ke dalam auditorium. Di sana letak
talk show dengan insinyur-insinyur Indonesia itu. Setidaknya, itu yang
tertulis di selebaran yang Yamada berikan waktu itu padaku.
Auditorium
hanya diterangi beberapa lampu sorot yang mengarah ke depan. Kulangkahkan
kakiku hati-hati dalam keremangan. Mencoba tak tersandung. Mencari bangku.
Auditorium terlihat penuh.
Aku
duduk di kursi agak ke atas. Saat ini sedang presentasi dari seorang insinyur.
Arsitek sepertinya. Slide shownya tentang rancangan beberapa gedung. Acara
sepertinya belum lama. Belum ada tanda-tanda talk show dengan semua insinyur.
Kulihat
meja di panggung itu. Kurang lebih, sebelas orang duduk di sana. Seorang di antaranya orang Jepang. Ia
sepertinya moderator sekaligus penerjemah. Sedangkan, sepuluh orang lagi
pastinya para insinyur itu.
Kubaca
satu persatu nama-nama yang tertera di papan nama dari kejauhan.
Baskoro.
Arsitek. Kursinya kosong. Ia pastinya orang yang sedang presentasi di depan
itu.
Hasan.
Grafika. Leona. Sipil. Nadia. Informatika. Kartika. Komputer. Sudirman. Kimia.
Fakhrul. Kelautan. Renaldi. Elektro. Samiaji. Industri. Bakhtiar. Mesin.
Bakhtiar?
Kuharap itu Pram. Kulihat kursinya yang terletak di ujung. Kosong. Tak ada
orang. Apakah bukan Pram? Ke mana orangnya?
Aku
diam. Penasaran sebenarnya. Tapi, aku harus bagaimana? Aku hanya bisa menunggu
dan menunggu dalam ketidakpastian.
“Permisi,
apa insinyur-insinyur yang datang hanya sebanyak ini?”
“Tidak
tahu, ya. Saya juga baru datang. Belum lama.” jawab orang di sampingku.
Aku
mendesah. Kecewa. Penasaran. Siapa Bakhtiar yang menjadi insinyur mesin itu?
Benarkah itu Pram? Dia di mana?
Tak
lama, presentasi berakhir. Baskoro kembali ke kursinya.
“Ya,
baiklah. Terima kasih pada Mr. Baskoro yang sudah berbagi presentasi beberapa
ilmu yang sudah ia terapkan di Indonesia.
Dan, dia sudah mendapat gelar cum laude arsitek dari universitasnya terdahulu.”
Pengunjung
auditorium bertepuk tangan. Baskoro tersenyum. Ia berdiri sebentar. Tak lama,
ia duduk kembali. Kursi paling ujung masih kosong.
“Baiklah,
sambil menunggu Mr. Bakhtiar kembali, kita sambut presentasi kedua dari Mr.
Hasan dari bidang Grafika. Silakan.”
Hasan
berdiri. Ia menuju podium. Slide show berganti.
Aku
menghentak pelan. Kesal. Cemas. Dag-dig-dug. Menunggu. Siapa yang duduk di
kursi yang kosong itu? Siapa Mr. Bakhtiar itu? Benarkah itu Pram?
Tak
lama, presentasi Hasan dimulai. Seseorang terlihat berjalan dari belakang
panggung. Ia mendekati kursi kosong di ujung meja di atas panggung itu.
Perawakannya seperti kukenal. Langkahnya juga!
Aku
memicingkan mata. Kubungkukkan tubuh ke depan. Kucoba melihat dengan jelas pria
yang baru saja duduk di kursi ujung dan sejak tadi kosong itu. Kupastikan pria
itu dengan orang yang kuingat.
Pram.
Itu Pram! Benar! Pram!
Beberapa
saat yang lalu, moderator menutup talk show dengan insinyur-insinyur Indonesia itu.
Setelah presentasi panjang dari masing-masing insinyur, dan sesi tanya jawab
yang
berlangsung lama, akhirnya selesai juga. Aku bisa segera ke belakang panggung
dan menemui Pram. Pram?
Belakang
panggung ramai sekali. Beberapa mahasiswa berada di sana. Mereka menanyai insinyur-insinyur itu
satu-persatu sesuai dengan bidang kuliah mereka. Aku tolah-toleh. Mencari Pram.
Di
sebuah sudut, kulihat Pram. Beberapa mahasiswa mengelilinginya. Mereka
sepertinya menanyakan hal-hal tertentu padanya. Pastinya menyangkut
presentasinya tentang mekatronika atau robot tadi.
Penampilan
Pram berbeda. Ia begitu berbeda! Dewasa. Rapi. Menawan. Mempesona. Intelek.
Persis seperti bayanganku pagi kemarin!
Aku
melangkah mendekatinya. Kemudian, seorang pria menghalangiku.
“Ghita-chan!
Kau ada di sini? Sejak kapan?”
“Duh,
Yamada! Jangan menghalangiku! Cepat menyingkir! Aku mau lewat!”
“Jadi,
kau tertarik dengan pemberitahuanku waktu itu, ya?”
“Yamada!”
“Kau
sendirian? Mana Hikaru?”
“Yamada,
tolong minggir. Aku mau lewat!”
“Bagaimana
acara tadi? Ramai ‘kan?
Seru ‘kan?”
“Yamada!”
“Tapi-“
Kusingkirkan
Yamada ke samping. Aku melangkah maju lagi. Tapi, Pram sudah tidak ada lagi di sana. Ia sudah tidak
berada di sudut itu lagi. Ia pergi. Ia sudah pergi. Ke mana?
Pundakku
dicolek.
“Yamada,
aku tak ada waktu untuk bicara denganmu. Aku sedang sibuk!”
Aku
tolah-toleh ke sampingku. Tak kuperhatikan belakangku.
Pundakku
dicolek lagi.
“Yamada!
Hentikanlah!”
Pundakku
dicolek lagi. Aku tak suka. Kuputuskan untuk berbalik.
“Yamada,
kau in-“
Ucapanku
terhenti. Aku terkejut karena bukan Yamada yang kudapati di balikku. Kutatap
sosok tegap di sana.
Senyumnya khas.
“Pram.”
“Halo,
‘Ta. Apa kabar?” ucapnya dengan suaranya yang dalam.
“Jadi,
kau kuliah di sini?” tanya Pram memecah kebekuan di kafetaria. Cangkir kopinya
sudah setengah kosong.
“Ya.”
“Kuliah
bidang apa?”
Diam.
Aku agak heran mendengar Pram menanyakan hal ini. Tidakkah dulu pernah
kukatakan padanya?
“Kau
sudah lupa?”
“Yah,
hanya ingin memastikan saja.”
“Sastra
Jepang.”
“Oh,
baguslah! Kau belajar langsung ke sumbernya!”
Aku
tersenyum. Pram menghirup kopinya.
“Jadi,
kau insinyur mesin terbaik dari Indonesia
itu?”
“Sebenarnya,
bukan aku.”
“Lalu,
kok tadi kau yang duduk di depan dan presentasi saat terakhir tadi? Apa, ya?
Mekatronika. Robot.”
Pram
tersenyum. Khas.
“Sebenarnya,
aku hanya cadangan. Pengganti. Insinyur yang aku gantikan ternyata harus pergi
ke MIT untuk tugas belajar. Jadi, ya… aku yang dipanggil dan pergi ke sini.”
“Oh,
begitu.”
“Aku
tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini lepas begitu saja. Sayang, ‘kan? Jarang-jarang, lho.
Apalagi bisa kuliah S2 – Master gratis di sini. Di salah satu universitas
teknik terbaik di dunia.”
“Ya.
Emang bener.”
Hening.
Kuminum jus alpukat di depanku.
“Maaf,
aku nggak hadir saat wisudamu. Aku nggak tahu.”
“Nggak
apa-apa. Itu udah lewat, kok. Udah lama.”
“Berapa
lama?”
“Ya,
kurang lebih sudah enam bulan lalu.”
Pram
tersenyum kembali.
“Kamu
nggak kuliah hari ini?”
“Nggak.
Hari ini jadwalku kosong.”
“Kok
bisa?”
“Aku
‘kan udah mau
naik tingkat empat. Sebentar lagi, aku nyusun skripsi, lho!”
“Oh,
iya. Aku lupa!” Pram menepuk jidat.
“Nggak
apa-apa.”
“Aku
lupa kalo kita udah nggak ketemuan dan saling kasih kabar selama tiga tahun
lebih ini. Maaf! Maaf!”
Pram
tersenyum. Lalu, hening lagi.
Benar
juga kata Pram. Sudah tiga tahun lebih. Sudah selama itu ternyata aku berpisah
dengannya. Pantas saja aku begitu merindukannya. Apa? Rindu?
“Sejak
kapan kau di sini?”
“Kemarin
lusa. Aku nyampe dua malem yang lalu.”
Pantes!
Pasti kemarin Pram habis uji banding! Pasti wanita di kereta itu benar! Pasti,
Pram dan beberapa temannya punya proyek di sini! Pasti Pram wakil perusahaan
yang dimaksud itu! Hebat juga! Presentasi, kuliah, dan menjadi wakil perusahaan
untuk di Jepang. Hebat!
“Kenapa?”
“Ah,
enggak apa-apa. Sampai kapan?”
“Tiga,
atau empat harian lagi, deh. Itu juga, kalo nggak ada kejadian yang nggak
diduga. Alias, semua berjalan lancar.”
“Ya,
aku doain deh, biar lancar.”
“Memangnya,
kenapa?”
“Yah,
aku cuma lagi mikir. Kalo seandainya kamu bisa lebih lama di sini, mungkin
nanti aku bisa ajakin kamu ke festival Hanami di sini.”
“Apa
itu?”
“Kamu
nggak tau, ya?”
Pram
menggeleng. Aku tersenyum. Nakal. Iseng.
“Nanti
saja. Tunggu tanggal mainnya, ya?”
Pram
tersenyum. Lagi. Entah, tapi hatiku senang sekali saat ini. Ada apa?
“Nanti,
boleh aku antar kamu pulang dari sini?”
Aku
menatap Pram. Tatapannya begitu serius. Dalam.
“Kau
serius?”
Pram
mengangguk.
“Kenapa?
Apa ada alasan tertentu?”
Tatapan
dalam Pram hilang. Ia salah tingkah. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Ah,
enggak juga. Aku cuma pengen keliling-keliling aja di kota
Tokyo ini.
Refreshing.”
“Bener,
nih?”
“Ya.”
“Apa
kamu enggak takut nyasar?”
“Untuk
apa aku takut? Bukannya ada kau bersamaku?”
Aku
tersenyum.
“Ya,
udah. Tapi, resikonya tanggung sendiri, ya?”
Pram
mengernyitkan dahinya.
“Memangnya
apa?”
Aku
hanya diam. Tersenyum. Nakal. Iseng. Menyembunyikan sesuatu.
“Tiap
hari kamu naik kereta?” tanya Pram saat menunggu di peron yang padat oleh
penumpang.
“Ya.
Aku pake tiket terusan.”
“Oh,
pantes tadi kamu langsung ke sini dan nggak ngantri.”
“Sori,
ya. Aku belum bilang.”
“Nggak
apa-apa. Aku rela ngantri, kok. Mendingan di sini. Tertib.”
“Kalo
di negara kita sana,
nggak tertib, rebutan, dan kadang-kadang nggak bayar, ya?”
Pram
tersenyum. Lagi. Cute! Aku senang!
“Kau
tidak merindukannya?”
“Apa?”
“Negara
kita. Untuk pulang ke sana.”
“Oh.
Jelas saja aku rindu. Sebenarnya, akhir-akhir ini, hampir setiap hari aku rindu
segala hal yang berhubungan dengannya.”
“Termasuk
aku?”
Aku
tak menjawab. Bingung. Apa maksud pertanyaan ini?
“Pram,
keretanya dateng!”
Aku,
Pram, dan calon penumpang lainnya mundur sampai ke belakang garis kuning. Rel
di depanku berderak. Sesuatu mendekat. Tak lama, ia berhenti dan pintunya
membuka.
“Ayo,
naik.”
“Naik?
Penuh gini?”
“Ayolah!”
Kutarik
tangan Pram naik kereta. Penuh memang, tapi tak sesak. Masih ada beberapa ruang
kosong untuk berdiri dan berpegangan dengan aman dan nyaman.
Kereta
perlahan mulai bergerak. Kuperhatikan, Pram agak kikuk.
“Kenapa
Pram?”
“Nggak
ada copet, ‘kan?”
Aku
tersenyum. Geli.
Di
stasiun Yamaguchi, aku turun. Pram di belakangku. Hari sudah mulai gelap.
“Lalu?”
“Kita
jalan kaki.”
“Hah?
Emangnya deket?”
Aku
hanya tersenyum, dan melangkah lebih dulu. Pada hal-hal tertentu, Pram tetaplah
sama. Ia masih Pram yang dulu. Seperti ini, dan tadi saat di kereta. Benarkah?
Atau itu hanya akting? Lalu, bagaimana dengan pertanyaannya yang tak kujawab
tadi?
“Ta,
tunggu aku!”
Pram
mengejarku. Ia berjalan di sampingku. Menyamakan langkahnya denganku.
“Aku
kira, kuliah di Jepang itu enak. Ternyata, seperti ini, ya?”
“Eh,
ini ‘kan aku.
Kamu belum liat orang laen yang kuliah di sini, sih! Mereka juga sama aja kaya’
di Indonesia. Kapitalis!”
“Ah,
masa’ iya?”
“Iya!
Bahkan, lebih parah!”
“Maksudnya?”
“Mereka
gampang banget ngambil hati orang.”
Pram
kuperhatikan mengernyitkan dahinya.
“Sebentar.
Kapitalis yang kau maksud ini, apaan?”
“Kapitalis
hati!”
“Kamu
lupa? Di semua tempat juga sama, kali. Di Jakarta juga sama. Asal ceweknya mau,
gampang aja ‘kan?”
“Tapi,
ini ‘kan Tokyo!
Harusnya beda!”
“Ya,
enggak-lah. Kita nggak bisa ngasih vonis gitu aja.”
“Tapi-“
“Atau,
jangan-jangan kamu pengalaman, ya?”
Aku
berhenti. Kutatap Pram. Sorot matanya tajam. Dalam. Tapi, penuh canda. Sudah
lama aku tidak melihat hal itu. Aku merindukannya! Benar!
“Lho,
kok senyum? Ada
apa?”
“Nggak.
Kadang-kadang, aku kangen juga sama tatapan kamu itu. Dalem!”
“Ayo,
kangen juga, ya sama aku?”
“Yah.
Nggak juga, sih. Cuma tatapan kamu itu yang dalem itu.”
“Masa’?
Seberapa dalem emangnya?”
“Yee..nggak
percaya, lagi. Terserah, deh!”
Aku
meninggalkan Pram. Lalu, berbelok.
“Hai,
Ta! Jangan marah, dong! Aku ‘kan
cuma becanda!”
Aku
berhenti di depan sebuah pagar. Sudah sampai. Pram menyusul, dan berdiri di
belakangku. Napasnya terengah-engah.
“Ta.”
“Ssst…”
Kubuka
pintu pagar dan masuk.
“Kamu
nggak ikut, Pram? Kita udah nyampe, lho.”
“Hah?
Ini homestay-mu?”
Aku
mendului Pram. Kubiarkan ia di belakangku. Terheran-heran, mungkin.
Kubuka
pintu depan dengan kunciku. Sepi. Gelap. Pastinya Hikaru belum pulang dari
kampus. Bagus! Aku bisa berduaan dengan Pram! Lho?
“Hikaru!
Aku pulang!”
“Hikaru?
Siapa dia?” Pram muncul tiba-tiba di belakangku. Aku kaget.
“Pram!
Kamu ngagetin aja!”
“Sori.”
“Hikaru,
dia temen homestay-ku. Sepertinya dia belum pulang dari kampus. Masih kuliah
kaya’nya.”
“Emang,
dia kuliah apa? Di mana?”
“Sastra
Indonesia.
Di kampus tadi juga.”
“Wah!
Sastra Indonesia?
Emangnya ada?”
Aku
tersenyum lagi. Bisa saja Pram membuatku tersenyum! Apakah ia memang tidak
tahu, atau cari perhatian saja? Entahlah.
“Kau
mau duduk dulu?”
Pram
menatap arlojinya.
“Boleh,
deh. Aku masih punya waktu kosong sampe jam delapan.”
“Emang,
harusnya acaramu sekarang apa?”
“Ah,
biasa. Cuma jamuan makan gitu deh.”
“Lho,
kenapa dilewatin? ‘Kan
rugi. Siapa tau kamu dapet sesuatu dari situ.”
“Nggak
penting! Paling juga ntar ngegosip setelah jamuan makan itu. Males aku! Mereka
nggak akan khawatir kalo cuma aku yang ilang. Nggak apa-apa, kok. Nggak usah
dipikirin. Lagipula, aku ‘kan
udah ngomong tadi, resikonya aku berani tanggung.”
“Tapi-“
“Dan
juga, sebenernya aku ada alesan lain.”
“Apa
itu?”
Pram
diam. Ia tak menjawab. Senyumnya mengembang. Misterius. Menyimpan sesuatu. Apa?
“Ah,
sudahlah. Nanti saja! Sekarang, di mana harus kusimpan mantel ini?”
Sialan!
Pram selalu berhasil memotong pembicaraanku dan mengalihkannya. Selain itu, ia
selalu berhasil membuatku penasaran, dan kemudian tak menjawabnya. Tidak
berubah. Masih seperti dulu. Awas, nanti kutagih!
“Di
situ. Di tiang. Gantung aja.”
“Oke.”
Kuperhatikan
Pram. Ia tambah cakep aja!
“Kau
mau minum apa?”
“Terserah,
deh.”
“Ya
udah. Silakan tunggu di ruang tamu. Aku ke dapur dulu. Jangan lupa buka sepatu!
Pake sendal rumah!”
Kutinggalkan
Pram dan langsung ke dapur.
Kusiapkan
dua cangkir. Kupanaskan teko berisi teh. Lalu, aku ke depan lagi. Ruang tamu
masih kosong. Di mana Pram? Apa dia masih di depan?
“Pram,
kok nggak masuk?”
Pram
berdiri.
“Aku
nggak tau di mana ruang tamunya. Baru kali ini aku masuk rumah Jepang. Jadi,
aku nggak tau. Kebanyakan pintunya!”
Aku
tersenyum. Lucu. Pram masih tak berubah. Ia masih sama. Statusnya saja yang
kini berbeda. Ia kini insinyur!
“Ada apa? Kok
senyam-senyum sendiri?”
“Nggak.
Aku cuma jadi inget waktu pertama kali aku kenalin kamu sama Bunda.”
“He-he.
Waktu itu aku saking canggungnya, sampe nggak ke mana-mana dan tetep duduk diem
di depan.”
“Iya.
Baru deh, abis aku ajak kamu ke dapur, Bunda dan kamu bisa akrab dan nggak kaku
lagi.”
“Iya,
emang.”
Pram
tersenyum. Lagi. Tampan!
“Oh,
iya. Ngomong-ngomong, gimana kabar Bunda?”
“Wah,
aku nggak tau, ya. Terakhir pas bulan kemaren aku nelepon, dia baek-baek aja.”
“Oh.”
Kok
tumben-tumbenan Pram nanyain Bunda? Ada
apa ini?
“Tuuut!”
tekoku memanggil.
“Ayo
masuk. Sini, aku tunjukkin ruang tamunya.”
Aku
berjalan duluan. Kubuka sebuah pintu.
“Di
sini, ya.”
Pram
masuk ke dalamnya.
“Tunggu
bentar, ya. Aku siapin minuman dulu.”
Pram
mengangguk. Ia duduk manis di ruang tamu.
Teko
teh sudah hampir kosong. Cangkirku dan Pram sudah kosong. Ia diam di hadapanku.
Lama.
“Udah
lama kita nggak ngobrol sebanyak dan selama ini.”
“Ya.
Kalo lagi minum teh, enaknya emang ngobrol, sih. Apalagi kalo sama Hikaru. Wah,
bisa lupa waktu!”
Pram
tersenyum. Ia menatap arlojinya. Kulihat dirinya.
“Jam
setengah delapan. Aku harus balik ke hotel sebelum mereka ngehubungin polisi
dan ngabarin orang hilang.”
“Ya.”
Bisa
saja Pram bercanda!
Kukira,
Pram akan bangkit. Tapi, ternyata ia hanya diam dan menatapku. Aku hanya bisa
diam. Beku. Kaku.
“Kamu
masih single?”
Hah?
Kok tiba-tiba nanya itu? Apa maksudnya?
“Ya.”
Duh,
kok jujur banget, sih? Kelepasan, nih!
“Kamu
sendiri?”
“Aku
juga…”
Yes!
Kok?
“…Tapi,
sekarang-sekarang ini, aku lagi deket sama seseorang.”
Yah,
kecewa deh! Kecewa?
“Kenapa?
Kok mukamu langsung berubah?”
“Ah,
enggak apa-apa. Baguslah kalo kamu lagi deket sama dia. Dan juga,
nginget-nginget rencana-rencana yang udah kamu pernah bilang dulu ke aku.”
“Ya.
Apalagi, sekarang udah hampir semua yang aku rencanain udah jadi kenyataan.”
“Emangnya,
apalagi yang belum?”
“Nikah.”
Aku
diam. Nikah? Pram ingin nikah? Dengan siapa? Apakah dengan wanita yang sedang
dekat dengannya ini?
“Sudah
seberapa deket?”
“Apanya?”
“Sama
orang yang lagi dideketin ini.”
“Oh.
Lumayan.”
“Bagus.”
“Tapi,
aku lagi ada masalah.”
“Apa?”
“Kaya’nya,
aku bakalan susah buat nyatain ke dia.”
“Udah
coba deketin keluarganya?”
“Wah,
jangan tanya! Aku bahkan udah nanya dan minta izin sama nyokapnya!”
Sialan!
Ternyata dia memang benar-benar sudah siap. Yah, hilang sudah peluangku! Tapi,
kenapa aku berpikiran seperti ini?
“Tapi?”
“Tapi,
aku nggak tau gimana cara bilangnya ke dia kalo aku ‘tuh sebenernya suka, dan
sayang sama dia.”
“Dia
orang mana?”
“Ya,
Indonesia-lah!”
“Ya,
itu aku tau. Maksudku, sekarang ini apa kerjaannya?”
“Oh,
kalo nggak salah, sih…Dia masih kuliah gitu, deh.”
“Wah,
susah tuh! Apalagi, sekarang ini kebanyakan cewek pengennya jadi wanita karir.
Mereka nggak terlalu mikirin buat nikah cepet-cepet. Apalagi kalo masih
kuliah.”
“Emang,
sih. Aku udah ngeduga itu.”
Hening.
“Kalo
kamu gimana?”
“Maksudnya?”
“Yah,
apa kamu juga berpikiran buat jadi wanita karir juga?”
Aku
diam sebentar. Bingung. Kenapa Pram bertanya hal-hal seperti ini? Apa
tujuannya? Kenapa ia banyak sekali menanyakan pertanyaan yang agak-agak aneh?
“Sebentar,
Pram. Aku mau tanya dulu. Apa, sih tujuan kamu nanya gini sama aku?”
“Kenapa
emangnya? Aneh?”
“Jawab
aja pertanyaanku.”
“Yah,
aku cuma mau ngebandingin aja. Kamu ‘kan
cewek. Wanita. Perempuan. Apa mungkin setiap perempuan itu mikirnya sama
seperti apa yang kamu bilang?”
“Cuma
itu?”
Pram
meraba dagunya.
“Ya.”
Bohong!
Pasti ada yang lainnya! Tapi apa?
“Jadi?”
“Apanya
yang jadi?”
“Pertanyaanku.
Apa kau ingin jadi wanita karir juga?”
“Nggak
juga. Aku nggak munafik, ya. Sebenernya, aku juga pengen jadi wanita karir.
Tapi, kalo misalnya aku tau-tau dapet jodoh, dan langsung married. Why not?”
Pram
diam. Ia sepertinya hendak tersenyum. Tapi, cepat-cepat ia merubah posisi
duduknya.
“Oke.”
“Balik
lagi ke masalah kamu. Dia kuliah di mana?”
Pram
diam. Alisnya terangkat satu. Tersenyum.
“Rahasia.”
“Lho,
kok gitu, sih? Apa aku nggak boleh tau?”
Pram
meraba dagunya lagi. Ia memainkan janggut tipisnya.
“Mmm…,
nggak. Kamu nggak boleh tau. Ini privasiku.”
Aku
menghela napas. Kusandarkan diriku ke sandaran kursi. Yah, nggak tau, deh!
Padahal, aku pengen banget tau siapa cewek yang lagi dideketinnya!
“Lalu?”
“Gini
aja, deh. Dia tau kamu lagi ke Jepang?”
“Asalnya
enggak. Tapi, sekarang dia sepertinya udah tau.”
“Nah,
kamu kasih aja sesuatu yang khas dari Jepang! Yah, sekalian pas ngasih itu,
kamu ngaku dan nyatain rasa suka kamu sama dia!”
“Wah,
gimana ya? Aku ‘kan
nggak tau apa yang khas dari Jepang!”
“Gimana
kalo nanti, di Festival Hanami, kamu cari aja sendiri! Banyak, lho! Banyak
banget!”
“Wah,
boleh juga tuh! Emangnya kapan?”
Diam.
Kutatap Pram. Pintar juga ia memancingku.
“Hmm,
‘kan udah aku bilang tadi. ‘Tunggu aja tanggal mainnya!’”
“He-he-he.
Kamu masih inget aja. Ternyata kamu masih sama. Nggak gampang lupaan!”
“Ya,
Ghita gitu, lho!”
Pram
tertawa. Cakep juga!
“Aku
harus pergi, nih.”
Pram
berdiri. Aku sama halnya.
“Ayo,
kuantar kau ke depan.”
Pram
memakai jasnya. Ia membenarkan dasinya. Aku tergerak untuk membenarkan. Aku
maju. Dan membenarkan dasinya. Pram diam. Ia menatapku.
“Nah,
selesai.”
“Thanks.”
“Kamu
ini, emang paling nggak becus kalo soal penampilan.”
“Yah,
namanya juga insinyur. Ngapain aku susah-susah pake dasi kalo setiap hari ada
di lapangan?”
“Emang,
kerja kamu apaan sebenernya?”
“Sebenernya,
sebelum aku dikirim ke sini, aku udah kerja di perusahaan tambang gitu. Aku
jadi bagian Quality Control. Kerjaku di lapangan tiap hari. Ngawasin hasil.”
“Oh.
Enak kerjanya?”
“Yah,
kalo kamu anggep bisa punya rumah dan mobil sebagai standar. Aku bilang itu
lumayan.”
Aku
tersenyum. Pram sama halnya. Gile! Udah punya rumah dan mobil?
“Terus,
gimana sekarang setelah ditinggal? Kamu ‘kan belum lama kerja di sana.”
“Mmm,
aku nggak sepenuhnya ninggalin kerjaan itu. Karena ternyata, perusahaan
tempatku bekerja ini, sedang akan membuka cabang di Jepang sini. Dan, aku jadi
salah satu pionir karyawannya.”
Pantas!
Pasti ini yang wanita di kereta itu bicarakan!
“Wah.
Enak, dong!”
“Ya.”
Hening.
Aku dan Pram hanya bertatapan.
Entah
dorongan dari mana, perlahan aku dan Pram mendekat. Kepala kami saling
berdekatan. Kupejamkan mata. Aku ingin menciumnya!
Hatiku
berdebar. Perasaanku tak menentu. Serasa lama sekali. Aku ingin mencium Pram!
Ayo! Cepat! Pram, cium aku!
“AKU
PULANG!”
Teriakan
Hikaru menyadarkanku. Kubuka mata. Menjauh. Pram sama halnya. Kami berdiri
masing-masing. Kikuk. Salah tingkah.
“Hei!
Ternyata ada tamu! Siapa, Ghita-chan?” Hikaru muncul di pintu ruang tamu.
“Uh…oh..dia…”
“Saya
Pram. Saya teman Ghita dari Indonesia.” Pram menjawab dalam bahasa Jepang. Kok
bisa?
“Oh,
jadi Anda ini Pram, ya? Bahasa Jepang Anda, lancar juga! Belajar dari mana?”
Hikaru bertanya dalam bahasa Jepang juga.
Pram
bingung. Ia diam.
“Maaf,
saya hanya bisa perkenalan saja. Tapi, saya mengerti apa yang Anda ucapkan.
Hanya saja, saya tidak bisa menjawabnya dalam bahasa Jepang juga.”
Hikaru
menatap heran Pram yang menjawab dalam bahasa Indonesia.
“Ah,
tidak apa. Dulu, aku juga begitu dengan bahasa Indonesia. Baru setelah aku
mendapat homestay bersama Ghita-chan, aku bisa lancar seperti ini.” jawab
Hikaru dalam bahasa Indonesia.
Pram
tersenyum.
“Anda
baru datang, atau mau pulang?”
“Pulang.
Dia mau pulang, Hikaru. Dia masih ada acara.”
“Oh.
Pasti masih dalam rangkaian kunjungan Anda ke Jepang kali ini, ya?”
“Ya.”
“Ya,
sudah! Ayo Pram, aku antar kamu ke depan!”
Aku
mendekati Pram. Kudorong ia menuju pintu depan.
“Hei,
Ghita-chan! Nanti, cerita-cerita, ya!”
“Enak
saja!”
Aku
mencibir Hikaru yang langsung balik mencibir. Kutinggalkan ia, dan menuju pintu
depan dengan Pram.
“Jadi,
tadi itu Hikaru?”
“Ya.
Dia cerewet dan selalu pengen tau, ya?”
“Ada
benarnya.”
Pram
dan aku berjalan berdampingan. Kuantar ia ke stasiun. Kami tak membahas
kejadian sebelum Hikaru pulang tadi. Ataukah belum?
“Emang,
malem gini masih ada kereta?”
“Ya,
ada! Ini bukan Jakarta yang udah sepi di jam-jam segini! Ini Tokyo! Kereta ke
pusat kota, masih ada sampai jam sepuluh.”
“Oh.”
Tak
lama, kami sampai di stasiun. Sepi. Pram membeli tiket. Kami lalu duduk
menunggu di kursi peron.
“Mengenai
yang tadi…”
Aku
menunggu. Pram menatap ke rel. Aku tahu arah pembicaraannya.
“Kenapa?”
“Kita
anggap itu nggak pernah terjadi, ya. Mengingat status kita yang berbeda
daripada dulu.”
Aku
diam. Yah! Kok gitu, sih! Coba Hikaru nggak pulang, pasti aku udah dicium Pram!
Dicium? Kenapa sekarang aku jadi pengen gini, ya? Apa karena…
Hening.
Sepi. Rel kereta di depanku mulai berderak. Tanda kereta datang.
“Oh,
iya. Hampir kelupaan!”
Pram
mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah kertas dan pulpen. Ia menuliskan
sesuatu di atasnya.
“Ini
tempat aku menginap.”
Kutatap
kertas itu. Kubaca.
Hotel
Tokyo International. Kamar 307.
“Kalo
ada apa-apa, hubungin aja ke situ.”
“Oke.
Sip!”
Sebuah
lampu sorot membelah gelap. Kami berdiri. Ini kereta ke pusat kota.
“Keretanya
udah nyampe.”
“Iya.”
Lama,
kami bertatapan. Kereta berhenti, dan membuka pintu.
“Aku
pergi dulu. Sampai ketemu lagi!”
“Hei,
bentar!” kutarik tangan Pram. “Kapan kira-kira kamu ada waktu kosong seharian?”
“Hmm…besok
aku ada seminar dan peragaan di auditorium. Lusa, masih ada meeting.”
Yah,
masa’ nggak ada yang kosong, sih?
“Coba
kamu hubungin aku besok malem! Nanti, aku cek lagi jadwal buat lusa. Siapa tau,
meeting itu nggak bakalan lama. Atau, besok kamu dateng aja ke auditorium!
Nonton dulu!”
TIT!
Tanda
kereta akan segera berangkat. Pram beranjak mendekati kereta.
“Sudah,
ya! Aku pergi dulu!”
“Kamu
tau di mana turunnya, ‘kan?”
“Ya!
Turun aja di stasiun deket kampus kamu, ‘kan?”
Pram
melompat masuk ke dalam kereta tepat sebelum pintunya menutup. Ia berdiri dekat
kaca dan menatapku.
“Telepon
aku!”
Suara
Pram teredam. Tak terdengar jelas. Tangannya menirukan gagang telepon. Aku
tersenyum. Mengangkat jempol. Ia sama halnya.
Kereta
mulai bergerak lambat. Semakin lama, semakin cepat. Aku melambai. Pram juga.
Entah, tapi ada perasaan kehilangan di hatiku.
Rel
di peronku sudah kosong. Kereta sudah pergi. Dengan Pram di dalamnya. Aku
pulang. Dengan sesuatu yang terasa di hatiku. Apa ini? Bahagia-kah, atau lebih
dari itu? Mungkinkah cinta? Tapi, kenapa aku merasa begitu kehilangan?
Kubuka
pintu dan masuk. Kupakai sandal, dan beranjak menuju kamarku.
“Ghita-chan,
kau sudah pulang?”
Kutatap
Hikaru di ruang TV. Ia sedang menonton sebuah acara.
“Ya.
Ada apa?”
Hikaru
langsung mematikan TV dan berbalik menghadapku. Sorot matanya menyala-nyala.
Jelas, ia menginginkan sesuatu.
“Bagaimana
ceritanya?”
Aku
tersenyum lemah. Malas.
“Ah,
kau ini. Mau tahu saja!”
“Yah,
ayo dong! Ceritakan padaku! Aku juga ingin tahu!”
Aku
mendekat. Aku duduk di depannya.
“Kau
ini. Benar-benar bisa lupa dengan kejadian beberapa saat yang lalu, ya?”
“Ah,
kau ini! Jangan mengalihkan pembicaraan! Jangan kau pikirkan masalahku! Aku
sudah baik-baik saja! Hanya saja, Aoshi membangkitkan kenanganku.”
Aku
tersenyum lagi.
“Baiklah,
kau mau tahu sebelah mananya?”
“Semuanya.
Lengkap dari awal sampai akhir!”
“Itu
pasti lama dan makan banyak waktu!”
“Ya,
kau singkat-singkat saja! Ceritakan hal-hal pentingnya!”
Kutatap
Hikaru. Ia begitu bersemangat. Haruskah kuceritakan padanya?
“Baiklah.
Aku menemuinya di acara itu.”
“Acara
yang diberitahu Yamada itu?”
Aku
mengangguk.
“Ya.
Tadi setelah acara itu selesai, aku menemuinya.”
“Lalu,
bagaimana ceritanya sampai ia bisa sampai ke sini? Kalian melakukan apa saja
sampai aku pulang tadi?”
Melakukan?
Kenapa aku justru berpikiran negatif, ya?
“Kami
mengobrol. Lama. Mulai dari kafetaria siang tadi, sampai ia menawarkan untuk
mengantarku pulang. Dan, aku tidak mau kasar padanya, jadi kupersilakan ia
untuk mampir dan meminum teh sebentar.”
“Hanya
minum teh?” tatapan Hikaru berubah. Aku tahu apa artinya!
“Ya.
Hanya minum teh.”
“Lantas,
kenapa tadi saat aku pulang, kalian sedang berdiri? Sepertinya kalian hendak
melakukan sesuatu tapi tidak jadi karena aku keburu pulang.”
“Ah,
tidak juga. Itu hanya perasaanmu saja!”
Aku
berdiri. Menghindar.
“Tapi,
kok sepertinya begitu?”
Aku
keluar dari ruang TV.
“Sudahlah.
Tak perlu kau tanyakan lagi selebihnya! Aku mau ke kamar dulu!”
Aku
segera melarikan diri ke kamarku. Aku tak mau Hikaru menanyakan yang lainnya,
karena aku pastinya tak akan bisa menjawabnya.
“Hei,
Ghita-chan! Kita belum selesai! Kau masih berutang cerita padaku! Jangan lupa
itu!”
Aku
diam. Teriakannya tak kuhiraukan.
Gelap.
Kamarku hanya diterangi sinar bulan dari jendela. Pastinya Hikaru sudah
terlelap selarut ini.
Kuambil
kursi dan kudekati jendela. Kubuka. Kubiarkan angin malam menyentuhku.
Menyapaku. Mengibarkan rambutku.
Aku
berdiam. Menikmati.
Kutatap
kertas pemberian Pram di genggaman. Di bawah sinar bulan, aku membacanya.
Berulang-ulang.
Hotel
Tokyo International. Kamar 307.
Pram.
Ada apa sebenarnya denganku? Mengapa aku justru memikirkan Pram?
Kuambil
telepon. Kuputar nomor telepon rumah. Aku ingin berbicara dengan Bunda.
Kuharap, Bunda belum tertidur di sana. Ah, masa sudah tidur? Sekarang pastinya
baru jam sembilan malam di sana!
Nada
sambungnya lama. Aku menunggu.
“Halo?”
“Halo?
Bunda? Ini aku!”
“Ghita?
Ini bener-bener kamu? Tumben banget kamu nelepon Bunda. Ada apa, Nak?”
“Ah,
enggak apa-apa, Bunda. Aku cuma lagi pengen denger suara Bunda.”
“Oh.
Jadi, nggak ada kejadian apa-apa atau yang penting, gitu?”
Aku
diam. Curiga. Apa maksudnya? Kok Bunda ngomong gini?
“Ah,
enggak juga.”
“Kamu
yakin?”
Aku
diam lagi. Heran. Apa maksud Bunda?
“Maksud
Bunda apa, sih? Kok perasaan jadi aneh gini? Ada apa Bunda?”
Hening.
Bunda tak menjawab.
“Bunda?”
“Ah,
nggak apa-apa. Bunda hanya ingin tahu harimu saja.”
“Oh.
Aku hanya bertemu dengan seseorang yang aku udah lama nggak ketemu sama dia,
kalo itu yang Bunda maksud.”
“Oh.
Itu bener?”
“Ya.”
“Boleh
Bunda tau siapa orangnya?”
Aku
diam sebentar. Haruskah Bunda tahu?
“Pram.”
“Pram?”
“Pram.
Dia cowok yang aku kenalin ke Bunda waktu dulu itu.”
“Oh,
maksud kamu cowok yang tinggi dan baik itu?”
“Yah,
kalo kata Bunda dia gitu, iya sih. Itu emang dia.”
“Lho,
kok kamu bisa ketemu dia?”
“Dia
kebetulan lagi ada di sini. Dia lagi ada kunjungan sama beberapa orang lainnya
ke kampusku.”
“Oh.
Dia emang pinter, ‘kan? Wajar aja dia bisa jadi insinyur dan bisa ke Jepang
sama orang laennya.”
Mendadak,
ada yang terlintas di benakku. Dari mana Bunda tahu Pram seorang insinyur?
Adakah yang Bunda sembunyikan dariku?
“Bunda,
dari mana Bunda tau Pram itu insinyur?”
Diam.
Hening.
“Emm…oh…itu,
Bunda nebak aja. Universitas tempat kamu kuliah itu ‘kan terkenal sama kuliah
Teknik dan Sastra-nya, ‘kan?”
Bukan.
Bukan itu. Pasti Bunda tahu sesuatu!
“Oh.”
“Ah,
sudahlah. Kamu nggak usah mikirin ucapan Bunda tadi. Kamu sehat?”
“Ya.
Bunda sendiri? Ayah, Dhani, dan si kecil Rhama?”
“Ya,
mereka baik-baik saja. Bagaimana kuliahmu?”
Malam
itu, aku menelepon Bunda sampai lama. Aku tak mempedulikan tagihan pulsa
teleponku yang pastinya bisa membuat Hikaru menjerit histeris. Ah, biar saja.
Sekali-sekali ini.
Banyak
sekali hal-hal yang aku tahu malam itu dari Bunda. Dhani yang menjadi juara
kelas, Rhama yang sudah kelas tiga SD, dan masih banyak lagi. Tapi, ada yang
mengganjal. Sikap Bunda dan kata-kata Bunda. Dari mana Bunda tahu Pram seorang
insinyur?
Esoknya,
aku ke kampus seperti biasa. Selain kuliah dan konsultasi dengan dosen tentang
skripsiku, aku kembali menenggelamkan diri di perpustakaan. Mengembalikan
beberapa buku yang sudah kubaca, sekaligus mencari lagi beberapa buku yang
baru.
Perpustakaan
cukup penuh siang itu. Aku tak kebagian tempat duduk. Terpaksa, aku berdiri.
Dan agar tak jauh, aku berdiri sambil membaca di dekat rak-rak sastra.
“Hai,
kita bertemu lagi.”
Aku
menoleh ke suara di belakangku.
“Aoshi?
Kok kamu di sini?”
“Ghita,
aku mahasiswa sini juga.”
“Oh
iya, ya. Sori.”
Aoshi
hanya tersenyum. Cute-nya hilang. Lebih cute Pram! Khas!
“Bisa
bicara sesuatu?”
“Tentang
apa?”
“Hikaru.”
“Kenapa?”
Aoshi
diam. Ia melihat sekeliling. Sepertinya, ia takut orang lain mendengar
pembicaraannya.
“Aku
menyukainya.” bisik Aoshi.
Aku
tersenyum. Geli. Ingin sekali aku tertawa, tapi pastinya berisik. Jadi, kutahan
tawa itu sampai terbatuk-batuk.
“Kenapa,
sih?”
“Kau
serius suka sama Hikaru?”
“Iya.
Kenapa memangnya?”
“Tidak
apa-apa. Terus, kau maunya bagaimana?”
“Mmm,
dia masih single?”
“Ya.”
“Bagus!”
“Tapi,
kupikir sepertinya ada yang sedang mendekatinya! Sudah lama lagi! Sudah sejak
setahun yang lalu!”
“Yah…
Siapa?”
“Rahasia!”
“Rahasia?
Ayolah Ghita, bagi-bagi denganku! Siapa tahu saja, aku berkesempatan!”
“Sudahlah.
Lupakan saja. Kau tidak berpeluang, meski yang lagi mendekatinya itu mundur.
Percayalah.”
“Bagaimana
bisa?”
“Hikaru,
dia sedang tidak mau dekat-dekat dengan pria dulu. Trauma!”
“Hah?”
Duh,
apa harus aku beritahu sejarahnya?
Ponselku
tiba-tiba berdering. Saved by the bell! Wajah Aoshi berubah masam. Aku menjauh,
dan mengangkat telepon.
“Halo?”
“Ghita-chan,
kau lagi di mana?”
“Eh,
Hikaru. Tumben kau meneleponku. Aku lagi di perpustakaan. Ada apa?”
“Bisa
ke gedung Teknik, sekarang? Ini sangat penting!”
“Memangnya
kenapa? Sepertinya serius sekali?”
“Sudah!
Jangan banyak tanya! Pokoknya, cepat kemari! Aku tunggu di lobby dekat
auditorium!”
“Tapi-“
KLIK!
Tut-tut-tut!
Hubungan
teleponku terputus. Kutatap Aoshi.
“Hikaru
kenapa?”
“Kau
mau ke gedung Teknik, tidak?”
“Kelasku
masih lama. Ada apa?”
“Aku
juga tidak tahu.”
Mendadak,
aku teringat dengan perkataan Pram semalam. Hari ini ada peragaan di
auditorium. Ada apa? Apakah menyangkut Pram?
“Ghita.
Ada apa? Mukamu kenapa pucat?”
Pucat?
Hatiku langsung merasa tak enak. Aku hanya ingin segera pergi. Segera ke
auditorium Teknik.
“Sudahlah.
Aku hanya ingin pergi.”
“Ke
mana?”
“Auditorium
Teknik.”
“Untuk
apa?”
“Hikaru
menyuruhku ke sana. Aku juga tidak tahu. Tapi, hatiku merasa tidak enak.”
“Lho,
bukankah sedang ada peragaan mekatronika di sana?”
“Justru
itu!”
Kusimpan
buku di rak dengan asal. Aku lalu bergegas keluar perpustakaan. Kutinggalkan
Aoshi begitu saja. Aku hanya ingin segera menemui Hikaru di lobby dekat
auditorium. Ada apa, ya? Nada suara Hikaru terdengar gawat tadi!
Pikiran-pikiran
buruk mulai berseliweran dalam benakku. Kuharap, Hikaru baik-baik saja. Tapi,
apa Hikaru saja? Bagaimana kalau yang lain? Bagaimana jika Pram. Pram?
Pelataran
gedung auditorium terlihat penuh. Orang-orang sibuk lalu-lalang. Sebagian
menampakkan kecemasan. Beberapa di antaranya mengenakan seragam. Ada apa?
Aku
memaksa masuk gedung dengan berdesak-desakkan. Aku berjuang untuk segera sampai
ke lobby dan mencari Hikaru.
Saat
sampai di lobby, aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Beberapa orang nampak
terluka dan diperban. Mereka tergeletak di lantai. Ada apa ini? Di satu sudut,
kulihat Hikaru tengah berjongkok menemani seorang pria. Kepala pria itu
diperban.
“Hikaru,
ada apa ini?”
Hikaru
berbalik. Ia berdiri. Wajahnya pucat. Matanya berkaca-kaca.
“Ghita-chan,
kuatkan hatimu, ya?”
“Hah?
Memangnya ada apa?”
Pria
di samping Hikaru mencoba berdiri. Ia tertatih. Perban di kepalanya membuatku
hampir tak mengenalinya.
“Ada
kecelakaan.”
“Bagaimana
bisa? Kecelakaan apa? Kok, sampai banyak korban begini? Yamada! Jawab aku!”
Yamada
diam. Meringis. Ia meraba kepalanya yang masih diperban itu. Hikaru membantunya
duduk. Entah, tapi perasaanku tak enak sekali. Pasti ada hubungannya dengan
sesuatu. Pram. Pram?
Aku
langsung berbalik menuju auditorium dan berlari.
“Ghita-chan!
Tunggu! Kau mau ke mana?”
Aku
tak menggubris. Aku langsung menerjang orang-orang yang keluar masuk
auditorium. Susah payah, aku baru bisa masuk. Keadaan di dalamnya benar-benar
tak bisa kupercaya.
Area
tengah dipenuhi dengan berbagai macam barang. Konstruksi, besi, baja, kertas,
dan beberapa mesin dan benda yang lebih mirip dengan robot.
Sekejap,
Pram terlintas di benakku. Pram, bukankah kau bilang sedang ada peragaan hari
ini? Lalu, di mana kau? Mungkinkah peragaan ini…
Aku
mencari-cari ke setiap sudut. Pram tidak ada. Hanya tampak beberapa petugas
pemadam kebakaran dan satpam yang sedang memeriksa. Berjaga-jaga dan memeriksa,
seandainya ada korban lagi.
Pram,
kau di mana? Kau baik-baik saja,’kan?
Aku
berbalik. Mencoba berlari. Tapi, aku menubruk seseorang.
“Hikaru!
Minggir!”
“Kau
mau ke mana?”
“Aku
mau cari Pram! Dia katanya peragaan hari ini, tapi kok tidak ada kabarnya?”
Wajah
Hikaru berubah pucat. Cemas. Ia menunduk sebentar, dan menatapku lagi. Pasti
ada yang tidak beres! Pasti!
“Hikaru,
ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?”
“Pram…dia…dia
dibawa ke rumah sakit setelah pingsan karena kecelakaan.”
“APA?”
“Tadi,
ketika sedang ada peragaan tiba-tiba konstruksi untuk robotnya rubuh, dan
menimpa beberapa orang. Sebenarnya Pram tidak akan kena, tapi ia menolong
beberapa orang dengan mendorong mereka sehingga ia yang tertimpa.”
Kepalaku
pusing. Pijakanku goyah.
“Ghita-chan,
kau tidak apa-apa? Ghita-chan!”
Sepanjang
perjalanan ke rumah sakit, hatiku diliputi kecemasan. Gelisah. Gundah. Aku
menggigiti jari. Hikaru bersamaku.
Sampai
di pintu depan, aku menghambur keluar dari taksi dan menuju resepsionis.
Kujumpai seorang perawat wanita. Pram! Pram! Pram!
“Selamat
sore. Ada yang bisa dibantu?”
“Pram!
Pram!”
“Maaf?”
“Pram!”
Perawat
itu mengernyitkan dahinya. Tampaknya, ia tak mengerti. Aku ini mencari Pram,
tahu!
“Maaf
suster, kami mencari seorang pasien bernama Pramudya. Dia dibawa kemari dari
Universitas Tokyo. Dia korban kecelakaan siang tadi setelah tertimpa
konstruksi. Bisa tolong dicarikan?”
“Oh,
sebentar.”
Suster
itu menghadap komputernya. Aku menatap Hikaru. Ia tersenyum. Ketenangannya
membuatku kagum. Great job, Hikaru!
“Baiklah,
Pramudya. Indonesia. Dia sedang di UGD.”
“Terima
kasih!”
Aku
berlari ke UGD. Papan penunjuk jalan di lorong membantuku menemukan UGD. Tak
kuhiraukan pandangan orang-orang sepanjang lorong. Aku hanya ingin menemukan
Pram! Aku ingin menemukan Pram segera!
Aku
berhenti di lorong dekat UGD. Seorang dokter dan perawat pria tengah mendorong
ranjang. Di atasnya terdapat sesosok pria. Dari jauh bisa kukenali pria di atas
ranjang itu. Pram. Matanya terpejam. Beberapa selang menempel di tubuhnya.
“Pram.”
ucapku pelan ketika mereka lewat di depanku.
Dokter
itu berhenti. Ia menatapku. Perawat pria itu menunggu.
“Anda
kenal pasien ini?”
“Ya.
Namanya Pramudya Bakhtiar. Orang Indonesia. Dia kenapa, Dok?”
Dokter
itu melihat catatannya.
“Ya,
benar. Namanya Pramudya. Dia tak sadarkan diri karena beberapa trauma di
tubuhnya. Terutama, kepalanya. Ia terkena gegar.”
“Lalu,
kapan dia bisa sadarkan diri dan sembuh, Dok?”
Dokter
itu diam. Ia seperti menggumamkan sesuatu.
“Sepertinya
butuh waktu lama sampai ia sadar sepenuhnya. Sebenarnya, ia tak mengalami luka
berat. Beberapa memar, tak akan menghambat kesembuhannya. Tapi, gegar pada
kepalanya itu…”
Dokter
itu tak melanjutkan kata-katanya. Tanpa perlu ia katakan pun, aku sudah
mengerti. Sepertinya, Pram akan koma. Koma…Seandainya bukan kata itu yang
terlintas di benakku!
“Apakah
ia koma?”
Dokter
itu mengangkat alisnya.
“Saya
takutkan seperti itu.”
Hatiku
serasa dihantam godam. Sakit. Hancur. Lebur.
“Anda
tidak apa-apa?”
Aku
hanya diam. Dokter itu tetap memandangku. Goyah. Kucari pegangan.
“Ghita-chan,
kau tidak apa-apa?”
Kutatap
Hikaru. Bagaimana bisa tidak apa-apa! Tapi, suaraku tercekat.
“Nona?”
“Di
mana dia akan dirawat?” kataku pada akhirnya.
Tatapan
dokter itu kembali seperti biasa. Cengkeraman Hikaru di bahuku melemah.
“Mari,
ikuti saya.”
Malam
sudah menjelang. Di ruang 36, hanya ada aku dan Pram. Ia terlelap dalam damai.
Tubuhnya dililiti selang-selang yang menunjang kehidupannya.
Tenang.
Sunyi. Sepi.
“Pram…sebenernya,
apa sih yang terjadi di peragaan tadi? Kenapa kamu nggak hati-hati?
Denger-denger, kamu nolong orang jadi begini. Kenapa? Sampe kapan kamu bakalan
terus begini? Kenapa kamu terlalu egois untuk nyelametin orang? Kenapa?”
Hening.
Hanya denyut monitor yang menemani. Suara pompa pernapasan ikut menjawabku.
Pintu
di belakangku terbuka. Seseorang masuk ke dalam ruangan.
“Ghita-chan,
kau tidak lelah?”
Aku
menggeleng. Hikaru menyentuh pundakku.
“Aku
turut bersedih.”
“Ya.”
Diam.
Tak ada suara.
“Bagaimana
Yamada?”
“Dia
baik. Luka di kepalanya tak mengharuskannya sampai dirawat di rumah sakit.
Hanya beberapa jahitan yang kini menghiasi kepalanya.”
“Oh.”
Lama,
kami hanya membisu.
“Kalau
kau lelah, pulanglah saja. Aku masih ingin di sini bersamanya. Menjagainya.”
“Tapi,
kau ‘kan tidak tahu apa dia akan sadar atau tidak?”
“Justru
karena itu. Aku ingin ada di sampingnya saat dia membuka mata dan tersadar
nanti. Walau harus menunggu sampai kapan pun.”
“Haruskah
kutemani?”
“Tidak
usah. Aku tahu kau ingin berada di tempat lain saat ini.”
Hikaru
diam. Aku menduga-duga apa jawabannya. Aku tahu, ia sebenarnya ingin sekali
menjagai Yamada. Aku tahu itu, Hikaru! Aku tahu!
“Ah,
tidak juga.”
Kutatap
wajah Hikaru.
“Ayolah.
Kau tidak perlu berbohong padaku. Aku tahu.”
“Tapi-“
“Sudahlah.
Aku tidak apa-apa. Lebih baik aku sendiri bersamanya. Sehingga, aku bisa tenang
menjagainya.”
Hikaru
diam. Ia menatapku.
“Baiklah.
Tapi, kalau kau ada apa-apa, telepon saja aku. Ponselku akan selalu menyala
sepanjang malam. Jangan lupa!”
“Oke.”
Hikaru
menyimpan segelas kopi yang masih utuh di meja.
“Kopi
ini untukmu. Cari makan-lah. Isi perutmu.”
“Iya.
Gampang. Salam saja, ya untuk Yamada.”
Hikaru
berhenti. Ia menatapku. Heran.
“Dari
mana kau tahu?”
Aku
tersenyum.
“Matamu.”
Hikaru
semakin tak percaya. Alisnya terangkat sebelah. Aku mendekatinya.
“Sudahlah.
Pergi saja sana! Kau tak perlu memikirkan ucapanku jika itu tak benar. Sudah.
Pergi sana!”
“Ta-tapi..”
Kuambilkan
mantel Hikaru dan memberikan padanya. Tasnya juga. Kudorong ia ke pintu sampai
keluar.
“Selamat
jalan, Hikaru. Hati-hati!”
“Hei,
Ghita-chan…”
KLIK!
Kututup
pintu, dan kubiarkan Hikaru berada di luar. Aku berbalik ke ranjang Pram.
“Hei,
jaga dirimu, ya!”
“Ya.”
jawabku pada Hikaru yang muncul dari balik pintu. Tak lama, ia pergi.
Sudah
tiga hari semenjak Pram masuk Rumah Sakit. Aku tak lelahnya menungguinya
siang-malam. Hanya kuliah, skripsi, dan Hikaru yang bisa mengingatkanku untuk
beristirahat.
Aku
menunggu bis di dekat halte kampus. Tak biasanya halte ini begitu sepi. Hanya
ada aku dan Hikaru siang ini. Ingin rasanya aku cepat sampai di rumah sakit,
dan menunggui Pram lagi.
“Kau
tak perlu menemaniku. Aku bisa sendiri, kok.”
Hikaru
menatapku tak percaya.
“Tidak
apa. Aku hanya takut, kau ada apa-apa. Kau kurang istirahat belakangan ini,
Ghita-chan. Jaga juga kesehatanmu! Jangan sampai, hanya karena menjagai orang
lain, kesehatanmu sendiri sampai terlupakan!”
“Ya…Ya…Ya…”
“Lagipula,
apa jadinya kalau kau tiba-tiba pingsan di jalan?”
Aku
diam. Bisa saja Hikaru mencari-cari alasan. Haruskah aku menyindirnya langsung?
Haruskah?
“Sudahlah,
Hikaru. Kau tak perlu bohong padaku. Semenjak malam itu pun, aku tahu kau
selalu ingin bersama Yamada, bukan?”
Hikaru
membelalak.
“Dari
mana kau punya pikiran seperti itu?”
“Bukankah
aku sudah bilang? Dari matamu, Hikaru…Dari mata..”
Hikaru
diam. Ia menunduk.
“Ayolah,
aku tahu kalau sebenarnya kau menyukainya, ‘kan? Jangan pernah coba-coba
membohongiku, ya Hikaru.”
Diam.
Hikaru tak menjawabku.
“Iya,
benar bukan?”
Hikaru
tetap tak menjawab. Ia menggigiti bibir bawahnya. Salah tingkah, sepertinya.
“Tapi-“
Diam.
Ia tak melanjutkan kata-katanya. Aku menunggu.
“Tapi
apa?”
Hikaru
lagi-lagi menunduk.
“Aku
memang menyukainya. Tapi perasaanku menyatakan, jika ia lebih menyukai orang
lain selain diriku.”
“Siapa?”
Hikaru
menatapku.
“Kau.”
Aku
tak percaya mendengar jawaban Hikaru itu. Mencengangkan! Itu tak mungkin!
“Ah,
tidak benar itu. Kau mungkin salah. Itu tidak mungkin, Hikaru.”
“Tidak!
Tidak, Ghita-chan! Itu benar! Buktinya sudah jelas, dan terlihat di depan
mataku sendiri!”
“Contohnya?”
“Kau
tahu, di malam saat kau menyuruhku pergi dan menemuinya, hal pertama yang dia
tanyakan saat bertemu dengaku adalah, kau! Dia langsung bertanya padaku tentang
kondisimu!”
Apa?
Mana mungkin!
“Dan,
tahukah kau, saat kecelakaan di auditorium tiga hari yang lalu, tidakkah kau
perhatikan Yamada yang langsung berdiri saat kau datang? Padahal, lukanya cukup
parah!”
Aku
diam. Tak berani menjawab Hikaru.
“Benar,
‘kan?!”
“Aku
tidak menyukainya! Kau-lah yang menyukainya! Aku belum pernah sekalipun
memiliki rasa untuknya. Tidak sama sekali!”
“Tapi-“
Bis
berhenti di halte. Aku masih diam. Hikaru diam.
“Ada
satu hal yang harus kau tahu, Hikaru. Aku tidak menyukainya. Aku tidak menyukai
Yamada! Kalau dia menyukaiku, aku tak ambil pusing! Karena, aku punya Pram! AKU
PUNYA PRAM!
“Kalau
kau menyukainya, dekatilah ia! Lupakan masa lalumu itu! Ubah juga pendirianmu!
Banyak kesempatan yang bisa kau raih!” ucapku panjang lebar.
Hikaru
diam.
“Sudah,
aku harus pergi ke rumah sakit. Sampai jumpa!”
Aku
naik ke dalam bis tepat sebelum pintunya menutup. Hikaru coba mengejar, tapi
percuma. Bis sudah mulai berjalan.
“Ghita-chan!
Tunggu! Stop!”
Aku
melihat Hikaru menjauh seiring berjalannya bus. Di sebuah kursi kosong, aku
duduk dan menghembuskan napas.
Fiuh!
Malam
itu, lagi-lagi aku menunggui Pram. Kusandarkan kursiku di dekat jendela. Diam.
Menatap Pram. Bulan bersinar hangat. Bintang menemani malamku.
“Pram,
aku harap kau bisa mendengarku, karena aku tahu sebenarnya kau bisa, bukan?”
Hening.
“Dua
hari yang lalu, seseorang menjengukmu. Namanya Samiaji. Kau kenal?”
Hanya
denyut penanda kehidupan yang menjawab.
“Dia
bilang, dia leader tim insinyur dari Indonesia itu. Dia nanya sama aku, tentang
bagaimana kondisimu. Aku bilang, kau koma. Dia terlihat sedih. Dia bilang, dia
ikut berduka. Terus, dia bilang bakalan jenguk kamu lagi setelah semua tugasnya
selesai. Emang, tugas kamu selama di Jepang, apa aja, Pram?”
Aku
berhenti sebentar. Menghela napas.
Kupegang
tangan Pram. Beku. Dingin. Tak bergerak.
“Sampai
kapan kau terus begini, Pram? Aku merindukanmu.”
Entah
sudah berapa lama Pram tak sadarkan diri, aku tak tahu. Tak kuhitung. Yang
pasti, sudah lebih dari seminggu karena beberapa pohon Sakura sudah mulai bermekaran
di taman dekat rumah sakit yang kulewati saat aku menjenguk Pram setiap hari.
Aku
belum bertemu Hikaru lagi. Dia sepertinya masih marah padaku. Meski aku serumah
dengannya, aku tetap tak bertemu dengannya. Apa ia menghindariku? Padahal, aku
ingin tahu kabarnya, dan juga Yamada. Apa kabarmu, saudara Nipponku?
Pernah
suatu ketika, aku tempelkan kertas pesan di pintu lemari es, tapi sampai
sekarang ia tak membalasnya. Apa mungkin, ia tak membacanya? Apa mungkin, aku
egois? Memang, aku hampir selalu bermalam di rumah sakit, dan pulang saat
Hikaru sudah berangkat, serta pergi kuliah saat Hikaru belum pulang. Hikaru,
ada apa denganmu?
Kususuri
lorong menuju kamar rawat Pram. Susah payah aku membukanya, karena aku membawa
beberapa buku untuk kubaca dan kubikin riset. Aku mau mengerjakan skripsiku
sambil menunggui Pram.
Ketika
pintu terbuka, ternyata sudah ada orang lain di sana. Mereka langsung
menatapku.
“Hikaru?
Yamada? Sedang apa kalian di sini? Sudah lama?” aku berpura-pura.
Buku-buku
kusimpan di sofa. Hikaru berdiri. Yamada mendekatinya. Perban yang meliliti
kepalanya, masih ada. Tapi, sudah berkurang.
Kuganti
bunga di vas. Hikaru dan Yamada tetap diam. Selesai, aku lalu berbalik
menghadap mereka.
“Aku…aku
mau minta maaf soal waktu itu.”
“Yang
mana?” aku berbohong. Padahal, aku juga punya salah!
Muka
Hikaru berubah. Ia mendekat.
“Tolong
maafkan aku. Tolong!”
Aku
diam. Tatapan Hikaru melekat. Yamada hanya diam.
“Hikaru,
dengarlah. Aku tak pernah mengganggap kejadian itu sebagai salahmu. Jadi,
lupakanlah saja.”
“Tapi-“
Kuangkat
jariku. Hikaru diam.
“Baiklah
jika itu maumu. Aku memaafkanmu.”
Hikaru
tersenyum. Yamada mendekat. Kami tertawa dan tersenyum bersama.
“Jadi,
bagaimana?” aku melirik Yamada.
“Apanya?”
“Ah,
kau jangan berlagak tak tahu begitu, Hikaru.”
Hikaru
diam. Perlahan, wajahnya memerah.
“Maksudmu
apa, sih?” nada suaranya bergetar.
Aku
tersenyum.
“Lantas,
kenapa wajahmu memerah jika kau memang tak tahu?”
Hikaru
mendesah pelan. Ia seperti terkejut. Gotcha! Yamada, sama halnya. Ia tak banyak
bersuara. Mereka coba menghindar. Saling menjauh, dan menghindari kontak mata.
“Ah,
aku tahu! Pastinya, kau sudah bilang padanya, ya?”
Hikaru
menoleh. Pipinya semakin merah padam. Aku tahu maksudnya!
Aku
berdiri. Kudekati mereka, dan menggenggam kedua tangan mereka. Kucoba menahan
tawa dengan tersenyum.
“Selamat!
Baguslah! Aku turut gembira! Omedetougozaimasu!”
“Tapi,
bagaimana kabar Pram?”
Yamada
berhasil mengalihkan perhatianku. Pelan, tapi dalam. Aku menjauh. Duduk kembali
di kursiku. Kutatap Yamada dan Hikaru.
“Yah,
seperti yang bisa kau lihat.”
Hening.
Hikaru mendekatiku. Yamada menghadap Pram. Mataku serasa panas. Ada lapisan
bening yang mengambang di sana.
“Bersabarlah.
Semua perlu waktu. Semua ada proses.”
Hikaru
mengusap-usap tanganku.
“Terima
kasih, Hikaru. Maaf aku sudah membuatmu kesal waktu itu.”
“Hei,
kenapa sekarang jadinya kau yang minta maaf padaku?”
Hikaru
mencoba mengajakku tersenyum. Entah, tapi aku turut tersenyum walau pipi ini
mulai berlinangan air mata.
“Mungkin
ini bisa membantu.”
Kutatap
Hikaru yang tersenyum. Ada sesuatu di telapak tangannya.
“Burung
kertas?”
Hikaru
mengangguk.
“Sudah
waktunya kau tahu apa arti dari burung kertas ini.”
“Maksudmu?”
“Ayolah…Kau
benar-benar tak tahu ‘kan, apa arti burung kertas ini semenjak kedatanganmu
kemari?”
“Iya.
Tapi-“
“Dan,
sampai sekarang pun, kau tetap tidak tahu, bukan?”
Diam.
Hikaru benar adanya. Senyumnya mengembang. Ada apa ini?
“Yamada…”
Yamada
bergerak ke sisi lain ranjang Pram. Ia membungkuk sebentar, dan mengambil
sesuatu dari lantai. Tak lama, ia kembali dengan sekarung plastik besar, yang
berisikan kertas. Tidak! Bukan kertas biasa! Itu lipatan kertas!
“Apa
itu? Origami?”
Hikaru
mengangguk.
“Ya.
Di dalamnya itu, ada sembilan ratus sembilan puluh delapan origami burung
kertas. Dan, yang di tanganku ini, yang ke-sembilan-sembilan-sembilan.”
“Apa
maksudnya? Kenapa banyak sekali?”
Hikaru
diam. Ia menegakkan tubuhnya. Yamada mendekat. Ia menyerahkan selembar kertas
pada Hikaru. Aku diam saja menatapnya, sampai Hikaru menyerahkan kertas itu
padaku.
“Ini.
Untukmu.”
“Tapi,
untuk apa kertas ini?”
“Legenda
menyebutkan, jika kau membuat seribu buah burung kertas, permintaanmu akan jadi
sebuah kenyataan.”
“Tapi,
aku tidak membuat sebanyak itu, ‘kan?”
“Tidak.
Tapi, jika kau membuat yang ke-seribu, mungkin saja permintaanmu itu bisa
terkabul. Mungkin saja…”
Hikaru
mengedipkan matanya. Ia tersenyum. Yamada di belakangnya juga tersenyum.
Setengah tak percaya, kuambil juga kertas di tangan Hikaru itu.
“Jadi,
kau mau mencobanya?”
“Baiklah.
Tak ada salahnya kucoba, bukan?”
Kulipat-lipat
kertas di tanganku menjadi seekor burung kertas. Tak sempurna, namun cukup
rapih dan elok. Sesuai dengan apa yang pernah Hikaru ajarkan padaku dulu.
“Selesai!”
“Bagus.
Nah, sekarang buatlah satu permintaan.”
Kupejamkan
mata. Kugenggam burung kertas ke-seribu itu di tanganku. Minta apa, ya? Hmm…
Kuharap
Pram cepat sadar dan sembuh!
“Sudah?”
Kubuka
mata. Kutatap Hikaru. Senyum menghiasi wajahku.
“Sudah.”
“Bagus.”
Larut
malam, barulah Hikaru dan Yamada pulang. Kami mengobrol seru. Sesuatu yang
hilang sejak beberapa hari yang lalu.
Ternyata,
alasan Hikaru menghilang selain karena ia sedang kesal padaku, ia juga
menyiapkan burung-burung kertas itu bersama Yamada. Dan, sepertinya ia dan
Yamada sudah bisa disebut ‘jadian’. Yah, setidaknya menurutku.
Ada
kabar baik dari Yamada. Pihak universitas yang akan menanggung biaya perawatan
dan pengobatan Pram. Dan, beasiswa S2 pada Pram tidak terpengaruh oleh
kecelakaan itu. Satu sisi, aku bersyukur. Tapi, sisi lainnya….
Dan
juga, Yamada menyampaikan permintaan maaf dari Samiaji. Ternyata, leader tim
insinyur Indonesia itu, sedang sibuk presentasi sekaligus uji banding bersama
kelompoknya – di mana seharusnya Pram berada dan ikut serta. Jadi, untuk
sementara ini ia belum sempat menjenguk lagi. Pantas saja, waktu itu ia bilang
sedang banyak sekali tugas yang harus dikerjakannya karena belum selesai.
Kutatap
Pram di depanku. Ia masih berbaring tak sadarkan diri. Kuhela napas.
Kusingkirkan bahan-bahan skripsiku, dan kugenggam erat tangannya. Dingin. Masih
dingin dan kaku.
“Pram…”
Tetap.
Tak ada jawaban yang kudapat.
Lelah.
Aku pun terlelap.
Deburan
ombak menyapa pantai. Sepi. Damai. Aku duduk sendiri. Angin laut menyibakkan
rambutku.
Aku
menunggu. Menunggu siapa?
Kurasakan,
seseorang mendekat. Aku ingin menoleh, tapi aku tak bisa. Dalam hati, aku
bertanya-tanya. Siapa dia?
Rambutku
seakan-akan dibelai. Lembut sekali. Hanya satu orang yang bisa membelaiku
lembut seperti itu.
“Pram?”
Orang
itu duduk di sebelahku. Aku menoleh. Dia tersenyum. Pram.
“Ghita,
terima kasih, ya.”
“Untuk
apa?”
Pram
membuka genggaman tangannya. Sesosok burung kertas berada di sana.
“Ini….”
“Ya.
Ini burung kertas. Sama seperti yang pernah aku kasih sama kamu.”
“Berarti-“
Pram
berdiri. Ia tersenyum cemerlang sekali.
“Sekarang,
bangunlah.”
“Apa
maksudmu?”
“Bangun,
Ghita. Bangunlah.”
Aku
tak mengerti. Kucoba berdiri, tapi entah kenapa ragaku tak kukuasai.
“Bangun,
Ghita. Bangunlah.”
Aku
mencoba berdiri lagi, tapi tak bisa. Ada apa ini?
Tak
lama, semuanya hilang. Tak ada lagi yang berada di sekitarku. Hanya gelap.
Pekat. Sendiri. Dan kata-kata Pram yang terus terngiang.
“Bangun,
Ghita. Bangunlah.”
“Bangun,
Ghita. Bangunlah.”
Tubuhku
diguncang pelan. Gelap. Kubuka mata. Aku terlelap!
Buram.
Kuusap-usap mataku. Seseorang tersenyum di depanku. Perlahan tapi pasti, ia
membelai rambutku.
“Pram!
Kau sudah sadar!”
Aku
melompat. Ingin segera kupeluk Pram. Hatiku sangat senang. Ingin rasanya aku
memekik karena gembira. Belum pernah aku merasa segembira ini melihat Pram
sadar.
“Wo…wo…Tahan,
Non. Peluknya pelan-pelan aja, ya. Dadaku masih sakit, nih.”
Aku
tak peduli. Segera saja aku memeluknya. Erat.
“Uhuk!”
“Sori.”
Aku
duduk kembali. Senyum menghiasi wajahku. Senang. Gembira. Kugenggam erat tangan
Pram. Hangat. Tak lagi dingin dan kaku.
“Histeris
banget!”
Aku
tersenyum. Malu.
“Muka
kamu jadi merah, ih! Lucu!”
Pram
mencoba tertawa. Tapi, suara yang keluar justru seperti terkekeh. Lebih mirip
kakek-kakek! Aku pun tertawa juga.
“Kalo
nggak histeris, harus gimana dong?”
Pram
tersenyum.
“Kok
kamu udah sadar? Dari kapan?”
“Jadi,
aku nggak boleh sadar, nih, ceritanya?”
“Ih,
bukan gitu. Tapi-“
“Tapi
apa?”
Aku
diam. Tak bisa menjawab.
“Hm…Sadarnya
baru aja, kok. Tadi.”
Aku
diam. Senang.
“Nggak
tau kenapa, tapi pas aku nggak sadar tadi, kayaknya ada yang nyuruh aku buat
bangun, gitu. Siapa, ya? Sampe nangis-nangis segala, deh.”
Pram
tersenyum nakal. Ia menggodaku.
“Ih,
sorry ya! Ngapain juga aku nangis-nangis segala?”
“Tuh,
‘kan. Berarti bener, kamu yang tadi ngomong itu…”
Diam.
Aku kena lagi!
“Udah,
ah. Aku panggil dokter dulu!”
“Lho,
buat apa manggil dokter? Ngapain?”
“Yee,
emangnya kamu nggak mau diperiksa? Siapa tau, ada yang nggak beres sama kamu!”
“Tapi-“
“Udah,
deh. Percaya, ya!”
Kucoba
melepas genggaman Pram dengan berdiri. Tapi, Pram tidak melepaskan tanganku.
Aku diam. Menunggu.
“Ada
apa?”
Pram
diam. Hatiku berdebar. Situasi seperti ini yang selalu kuhindari! Kenapa juga
sekarang begitu? Apa Pram akan berbicara sesuatu?
“Bisa
kamu buka jendela. Sebenernya, udah pagi apa belum, sih?”
Aku
tersenyum. Senang. Lucu. Masih saja Pram bisa bercanda. Emang iya?
“Ada
apa? Kok malah ketawa?”
“Nggak.
Aku cuma lucu aja. Aku kira, tadinya kamu mau ngomong appaaaa…. gitu, sama aku.
Eh, nggak taunya cuma nyuruh buka jendela doang!”
“Oh.”
Pram
diam. Tapi, senyuman kecil berada di wajahnya.
“Ya
udah! Cepetan sana!”
Aku
mengangguk. Tersenyum.
Taman
yang berada di dalam wilayah rumah sakit, tidak begitu ramai siang itu. Damai.
Entah, apa karena memang sedang sepi, atau apa. Yang pasti, tak ada yang
menggangguku dan Pram. Kudorong kursi rodanya perlahan. Di sebuah bangku, aku
berhenti.
Sengaja
kubawa Pram kemari. Aku ingin menepati janjiku tentang memperlihatkan bunga
Sakura padanya. Lagipula, dokter yang memeriksanya kemarin, justru menyarankan
untuk membawa Pram keluar dari kamar untuk penyegaran dan perubahan suasana.
“Kamu
liat pohon itu? Itu pohon Sakura, namanya. Bunganya bentar lagi bakalan mekar.
Dan, pas itu, Festival Hanami bakalan digelar di Jepang sini.”
“Kapan?”
“Sebentar
lagi.”
“Hanami.
Namanya aneh banget!”
“Ya.
Hanami asalnya dari dua kata. Hana-, yang artinya bunga. Dan, -mi yang artinya
melihat.”
“Jadi,
arti gamblangnya itu, melihat bunga, gitu?”
Aku
mengangguk.
“Wah,
kamu jadi tau segala macem soal Jepang, ya setelah tinggal di sini?”
“He..he..
Bisa aja, kamu!”
“Yah,
coba di Jakarta ada seperti ini. Kan bagus.”
“Ye…Mana
bisa bunga Sakura idup di Jakarta! Kan, di sana panas! Bunga Sakura itu
cocoknya cuma di udara sedang. Buktinya, di Washington bisa idup. Soalnya,
iklimnya sama!”
Pram
manggut-manggut.
Hening.
Kami saling menatap. Angin musim semi berdesir.
“Sebenernya,
aku ada alesan laen buat dateng ke sini.”
“Apa,
tuh? Aku boleh tahu?”
“Aku
ngejemput kamu.”
Aku
tersentak. Diam. Jawabannya begitu menohok. Terlalu jujur! Apa benar?
“Aku
nggak ngerti. Maksud kamu sebenernya apa, sih?”
Pram
merogoh ke dalam selimut di pangkuannya. Ia lalu mengeluarkan sebuah kotak
kecil berwarna merah. Apa isinya? Kapan ia menyembunyikannya? Jangan-jangan…
Perlahan,
Pram membukanya.
“Cincin?”
“Ya.”
“Untuk
apa?”
Pram
mengambil tanganku. Ia menatapku dalam. Sedalam samudra biru yang ingin
kuselami. Tatapan yang pernah membuatku luluh dan tenggelam dalam misteri
sesosok Pram.
“Aku
ingin kamu menikahi aku.”
Apa?
“Maaf,
Pram. Tadi, kamu nyebut menikah? Aku nggak salah denger, tuh?”
“Nggak.
Kamu nggak salah denger. Aku emang nyebut kata itu. Menikah.”
Diam.
Gelisah. Kutarik tanganku. Rona muka Pram langsung berubah.
“Ada
apa? Emangnya, ada orang lain?”
“Bukannya
kamu bilang, kalo kamu lagi deket sama seseorang?”
“Ya.
Bener. Dan, seseorang itu kamu.”
“Aku?”
Pram
mengangguk.
“Aku?”
Pram
mengangguk lagi.
“Lalu,
ceritamu itu-“
“Ya.
Aku udah ngomong sama Bunda, kok.”
“Tapi,
kok Bunda nggak ngasitau aku?”
“Sengaja.
Aku yang minta. Biar jadi kejutan.”
Sekelebat,
aku teringat dengan percakapan malam itu. Betapa Bunda bisa menyebut Pram
seorang insinyur padahal aku tak menyebutkannya. Pantas saja!
“Tapi-“
“Buktinya,
sekarang kamu terkejut, ‘kan?”
Aku
diam. Tak kujawab. Bimbang.
“Jadi?”
Aku
bingung. Pusing! Haruskah kuterima lamaran Pram begitu saja? Aku dan dia, ‘kan
sudah lama berpisah! Kenapa jadinya seperti ini? Kenapa begitu tiba-tiba? Apa
ini kebetulan? Atau, inilah yang ditandai oleh misteriusnya burung kertas yang
kutemukan dan kemudian hilang tiba-tiba itu?
“Ada
apa lagi?”
“Enggak.
Hanya saja, aku ngerasa kita ‘kan udah lama nggak ketemu. Yah, sekitar tiga
taun lebih, deh. Pasti, banyak banget yang berubah.”
“Jadi,
kamu butuh waktu?”
Bimbang.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Haruskah ‘ya’?
“Bukan
begitu, tapi-“
Tanpa
kata, Pram meraih tanganku lagi. Lembut. Hangat. Tenang.
“Aku
percaya sama kamu. Bahkan sebenernya, aku udah mau ngomong gini sejak dulu.
Sejak sebelum kamu berangkat. Tapi, dari berbagai perhitungan, akhirnya aku
tunda. Sampe sekarang.”
Aku
diam. Hatiku berdebar. Rasa apa ini? Cinta-kah? Benarkah Pram juga mencintaiku?
Tuluskah?
Hening.
Lama.
“Baiklah.
Aku mau.”
Pipiku
terasa hangat. Mungkin merah dan merona. Aku malu!
“YES!”
Pram
berusaha bangkit, walau lemah. Aku membantunya. Kami berpelukan.
“Terima
kasih, ‘Ta.”
“Sama-sama.”
“Dan,
aku masih ada kejutan lagi, lho.”
Kutatap
Pram dengan tajam. Curiga. Kejutan apa lagi yang bakalan dia kasih?
“Tunggu
aja tanggal mainnya!”
Pram
tersenyum misterius.
Beberapa
hari kemudian, Festival Hanami yang terkenal itu dimulai. Sakura pun sudah
bermekaran di sekitar Jepang. Indah sekali. Belum pernah aku merasa sebahagia
ini dengan ditemani kehadiran bunga Sakura. Bagaimana tidak? Pernikahanku akan
segera berlangsung!
Jadi,
ceritanya berlanjut dari hari itu. Hari saat Pram melamarku. Ternyata, kejutan
lain yang ia maksud adalah kedatangan keluargaku. Terutama, Bunda. Aku senang
sekali. Semua itu berkat Pram.
Ternyata
Pram sudah merencanakan semuanya. Ia memang sudah akan melamarku setibanya ia
di Jepang. Tapi, kapasitasnya sebagai insinyur undangan untuk presentasi
beasiswa S2-nya lebih ia utamakan. Dan gilanya lagi, ternyata semua anggota tim
yang berangkat dengannya – terutama Samiaji, mendukung dan membantunya! Pantas
saja, ia bicara begitu misterius tentang tugas-tugas Pram yang belum selesai dan
terlaksana.
Samiaji
sempat khawatir ketika terjadi kecelakaan. Mereka tak menduga jika peragaan
mekatronika-nya Pram, akan berakhir dengan kecelakaan, dan Pram menjadi koma.
Tapi, mengetahui aku menjagai dan menunggui Pram, membuatnya tenang dan sadar jika
aku memang pantas untuk Pram. Dan, ia berharap Pram cepat sadar. Karena, kalau
Pram nggak sadar juga, mana bisa seperti hari ini!
KBRI
Tokyo belum pernah seramai siang itu sejak dibuka oleh Presiden Soekarno. Kami
semua berkumpul di halaman belakang. Di mana segala persiapan pernikahan sudah
tertata rapi, dan tak lupa dihiasi Sakura yang bermekaran sebagai latarnya.
Bunda
berada di barisan hadirin yang mengikuti prosesi dengan khidmat. Tiap kali aku
menoleh, Bunda tersenyum sambil meneteskan air mata. Bahagiakah ia?
Hikaru,
Yamada, Aoshi, dan juga beberapa teman serta dosen kuliahku juga berada di
pernikahanku. Mereka semua memberiku selamat, dan juga semangat. Apalagi kalau
bukan skripsi! Aku ‘kan, belum nyusun skripsi dan lulus! Tapi, udah nikah duluan!
Hehe..
Pram
terlihat gagah sekali hari itu. Ia mengenakan setelan jas yang sengaja ia bawa
untuk pernikahan ini. Gila! Semangat banget! Dan, tentu saja aku. Bunda bilang,
aku tak ubahnya bidadari yang sudah beranjak dewasa dengan gaun pengantin
putih.
Tak
lama, ijab kabul selesai. Tak perlu aku ceritakan secara detail. Buat apa?
Pastinya udah bisa ditebak, ‘kan? Aku dan Pram kemudian bertukar cincin. Senyum
tak pernah lepas dari wajah kami. Geli. Kucium tangan Pram hati-hati. Akhirnya!
Pram dan aku menikah juga! Kami sudah resmi suami-istri!
Setelah
itu, acaranya adalah foto bersama, makan bersama, dan perayaan. Tentunya, tak
lama-lama karena KBRI bukanlah tempat pesta. Tapi, tetap saja memberikan kesan
yang mendalam. Terutama aku. Karena hari ini adalah sebuah hari yang sangat
indah. Dan, kuharap kebahagiaan hari ini takkan pernah berakhir.
Larut
malam, aku dan Pram berdiam di kamar. Rasa lelah begitu terasa, tapi kami tak
kunjung terlelap. Kusimpan kepalaku di lengan Pram yang kokoh.
“Pram.”
“Hmm?”
“Aku
nggak nyangka, kalo bakalan married sebelum wisuda. Apalagi, married sebelum
sidang buat skripsi!”
“Terus?”
“Tapi
aku seneng banget hari ini. Aku seneng kamu ada di sampingku. Bersama aku.
Memiliki aku.”
“Bener,
nih?”
“Ya.”
Diam.
Kami menatap langit-langit.
“Aku
juga nggak nyangka bakalan married sama kamu.”
“Lho?”
“Kamu
‘kan tau, kamu pergi ke Jepang. Sementara, aku di Jakarta, Indonesia. Meski
kita sama-sama kuliah, tapi pikiranku nggak tenang!”
“Kok
gitu?”
“Siapa
yang tau apa yang kita masing-masing lakuin. Siapa yang tau, apa kita masih
bisa saling nginget?”
Diam.
Aku hanya bisa mendengarkan.
“Dan,
aku sayang banget sama kamu, ‘Ta. Aku nggak mau kehilangan kamu! Jujur,
ya…Sehabis nganter kamu ke bandara waktu itu, aku pergi ke Puncak. Ngerenung.
Sendirian lagi! Pokoknya, mirip orang kurang waras!”
“O…Sayang…Kacian,
deh ih. Sedih, ya?”
Kugoda
Pram. Ia tersenyum.
“Makanya,
aku belajar bener-bener biar bisa ke Jepang, lewat beasiswa S2 dari pemerintah
Jepang! Dan, aku dapet deh!”
“Lho,
bukannya kamu jadi cadangan?”
Pram
tersenyum.
“He-he-he.
Aku boong. Aku nomer satunya.”
“Trus,
tawaran ke MIT itu? Kamu juga yang dapet?”
“Yup!
Tapi, aku kasih ke orang laen aja. Aku lebih milih ke Jepang. Kan, biar bisa
ketemu kamu!”
“Ih,
boongin aku!”
Kucubit
Pram. Kugelitik ia.
“Duh,
jangan ngelitikin aku, dong! Geli! Lagian, aku kan baru beberapa minggu ini
baru keluar dari rumah sakit. Masa, aku harus balik lagi?”
“Abis…”
Kini,
kami berhadapan. Saling menatap.
“’Ta…”
“Apa?”
“Boleh,
aku panggil kamu, Ghita-chan?”
Gemas.
Aku coba mencubitnya lagi. Menggelitiknya. Ia menghindar. Dan membalas.
Malam
semakin larut. Tapi, aku dan Pram justru tak bisa tidur. Kami sibuk bercanda,
dan terus saling mengganggu. Maklum! Pasutri baru!
end