Billy Koesoemadinata
“Tanggal
berapa sekarang?” Hikaru memecah kesunyian. Kuhentikan sebentar pekerjaan
tugasku, dan menatapnya.
“Memangnya
kenapa?”
“Aku
tanya, tanggal berapa sekarang? Jawab saja!”
“Dua
April. Memang kenapa?”
Hikaru
meninju telapak tangannya. Ia berdiri dan menatapku. Aku bingung.
“Wah!
Artinya, sekarang minggu terakhir musim dingin! Asyik!”
“Lalu?”
Aku
tak tertarik. Aku kembali mengerjakan tugas. Hikaru memegang pundakku. Ia
menggoncang-goncangkannya.
“Minggu
depan musim semi! Minggu depan sudah musim semi!”
“Ya,
dan ada apa dengan musim semi? Kenapa kau begitu bersemangat?”
“Tidakkah
kau sadari ada yang spesial dan khusus dengan musim semi? Itu saatnya bunga
Sakura bermekaran! Pasti asyik! Kita bisa duduk bersantai di bawahnya, sambil
ngobrol! Dan, siapa tahu ada cowok!”
“Yah,
terserah. Tapi, dari mana kau tahu kata ‘cowok’? Itu ‘kan
tidak baku?”
Hikaru
tersenyum. “Kau.”
Aku
menggeleng. Ada-ada saja Hikaru ini!
“Yah,
tapi kata itu jangan kau ucapkan di situasi resmi, ya?”
Aku
kembali mengerjakan tugas. Tapi, sepertinya Hikaru belum menyerah.
“Ayolah,
Ghita-chan! Di mana semangat musim semi-mu?”
Kusimpan
pena, dan menutup kedua buku tugasku. Kutatap Hikaru dengan tajam. Ia masih
saja tersenyum-senyum. Seakan-akan mengajakku untuk ikut tersenyum juga.
“Hikaru
sahabatku, mana bisa aku memiliki semangat itu? Aku ‘kan ekspat! Orang asing! Kau sudah lupa hal
itu, ya?”
“Tapi,
kau ‘kan sudah tiga tahun di Tokyo. Selama itu pula, kau ‘kan sudah melewati tiga
kali musim semi. Memangnya, ada apa dengan musim semi sampai kau tidak
mempedulikannya? Apa tidak ada sesuatu yang menular dan membekas padamu?”
Aku
bangkit.
“Ya,
ada! Ada yang
membekas dari tiga kali musim semi itu. Yaitu, rasa iri! Ya! Aku iri! Aku iri
dengan bunga Sakura yang indah dan hanya ada di negaramu! Sementara di
negaraku, apa? Bahkan, musim semi pun, aku tak pernah mengenalnya sampai saat
ini!”
Hikaru
diam tak menjawab.
“Dan
juga, aku Indonesian. Kau, Japanese. Kita berbeda! BERBEDA!”
“Lalu?
Bukankah banyak juga Indonesian di negara asalmu sana, juga menirukan kami, Japanese?”
Kutarik
napas. Kucoba mengontrol emosi.
“Iya,
itu benar. Tapi, aku tidak seperti itu. Aku bukan orang-orang seperti itu!”
“Tapi-“
“Sudahlah.
Aku tak ingin berdebat lebih panjang lagi. Aku lelah! Aku sudah cukup pusing
dengan tugas musim dingin yang setumpuk itu. Jangan kau tambah lagi
kepusinganku! Aku mau tidur saja! Selamat malam!”
Kutinggalkan
Hikaru sendirian. Aku segera menuju kamarku.
BLAK!
Kututup
pintu kamar di belakangku rapat-rapat. Dan kukunci. Kesal. Hatiku gundah. Penuh
emosi. Entah, tapi mood-ku begitu penuh dengan kemarahan saat ini. Ada apa, ya? Mungkinkah
aku home-sick?
Aku
seorang mahasiswi sastra Jepang di Tokyo. Kurang lebih, sudah tiga tahun lebih
aku meninggalkan tanah air untuk kuliah di sini dengan program beasiswa dan
homestay. Selama itu pula, aku belum kembali lagi, dan menemui orang-orang yang
kukenal di Jakarta.
Orang-orang yang istimewa bagiku. Orang-orang yang berkesan untukku. Karena
memang, di Jepang sini mereka tidak ada. Dan, aku terkadang merasa sendirian.
Selama
aku di Jepang, aku tinggal di homestay dengan Hikaru. Dia mahasiswi sastra Indonesia di
kampus yang sama denganku. Itu sebabnya, aku tak lagi merasa canggung untuk
berbicara bahasa Indonesia dengannya. Meski pada awalnya, aku pun heran dan
risih karena bisa berbahasa Indonesia
bersama seorang genjuumin – penduduk Jepang asli.
“Huff….”
Aku
menghela napas. Aku masih bersandar di pintu amarku, ketika kuamati sinar bulan
yang menerobos masuk jendela terasa begitu menarik perhatianku. Perlahan,
kuhampiri jendela.
Kusibakkan
tirai, dan kubuka jendela. Kubiarkan udara malam menyapa wajahku, dan menerobos
masuk ke dalam kamarku. Sepi.
Kuhirup
napas dalam-dalam.
“Apa
benar minggu depan sudah musim semi?”
Kutatap
bulan di langit malam. Ia diam. Ia tak menjawab tanyaku. Ia hanya balik
menatapku.
“APA
BENAR MINGGU DEPAN SUDAH MUSIM SEMI?”
Teriakanku
tak berguna. Bulan tetap diam tak menjawab.
Tok-tok!
“Ghita-chan!
Kau tidak apa-apa, ‘kan?
Kudengar kau berteriak. Ada
apa?”
Kutoleh
pintu. Pastinya Hikaru masih heran atas reaksiku tadi. Entah, ia merasa kesal
juga padaku. Biar saja. Tapi, ia sepertinya ingin mengecek apakah aku baik-baik
saja.
“Ada apa?” tanyaku ketika
membuka pintu. Hikaru tampak cemas.
“Ak-aku
dengar, tadi kau berteriak. Apa kau tidak apa-apa?”
“Aku
baik-baik saja. Lalu?”
“Yah,
aku ingin minta maaf jika telah menyinggungmu tadi. Maafkan aku. Aku menyadari
kesalahanku. Harusnya aku menghargai pendapatmu juga. Permisi.”
Hikaru
membungkukkan badannya, dan berjalan mundur hendak pergi. Tanganku bergerak dan
menahannya.
“Hei,
Hikaru…”
Hikaru
menatapku.
“Aku
yang minta maaf. Seharusnya, aku tidak membentakmu tadi. Tapi, tugas-tugas itu
benar-benar,…WOW! Kau tahu, ‘kan?
Dan, ada sesuatu yang tak mengenakkan dengan tiga kali musim semi-ku di sini. Ada yang begitu
mengganjal di hatiku. Entah, mungkin karena rasa iri itu, dan juga aku mulai
home-sick.”
“Home-sick?
Setelah tiga tahun, kau baru merasa home-sick?”
Aku
tersenyum. Mengangguk.
“Yah,
mungkin karena aku merasa sebentar lagi aku akan menyelesaikan kuliahku di
sini. Jadi, aku sedikit mulai merindukan rumahku – Indonesia.”
“Oh,
begitu ya?”
“Yah,
kalau kau nantinya pergi ke negeriku, dan juga tinggal tiga tahun untuk sebuah
tugas, mungkin kau begitu juga?”
“Oh,
ya?”
Diam.
Aku tersenyum. Hikaru sungguh besar rasa ingin tahunya.
“Ya.”
“Lalu,
apa yang begitu mengganjal di hatimu? Aku tak percaya jika hanya rasa iri.
Benar?”
Diam.
Aku tak menjawab.
“Yah,
belakangan ini pikiranku mulai tak fokus. Sepertinya, akan ada sesuatu. Begitu
saja.”
“Dari
mana kau bisa tahu?”
“Hmm,
mungkin ini yang dinamakan insting wanita. Memangnya kau tidak pernah
merasakannya?”
“Aku?
Aku tidak pernah merasakannya. Kecuali mungkin…..”
Hikaru
tak meneruskan kata-katanya. Ia menunduk. Wajahnya muram.
“Kenapa
Hikaru? Ada
apa?”
“Ah,
tidak. Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”
“Tapi-“
“Sudahlah!
Yang penting sekarang sudah tak ada lagi salah paham di antara kita, ya! Dan,
bersemangatlah!”
“Baiklah!”
Aku
dan Hikaru tersenyum.
“Dan…..”
Aku
menunggu.
“Aku
masih ingin tahu apa yang mengganjal bagimu. Aku masih heran kenapa bisa
menyangkut insting. Memangnya apa? Boleh aku tahu?”
“Yah,
kukira kau tidak perlu tahu itu untuk saat ini. Karena aku pun, masih penasaran
dengan masalah itu.”
Hikaru
tersenyum. Sepertinya terpaksa.
“Jadi,….”
aku menunduk, “….Maafkan aku.”
Saat
aku bangkit kembali, wajah Hikaru sudah lebih cerah. Senyum mengembang di
wajahnya. Matanya berbinar.
“Sudah
kuduga jika kebiasaan kami telah menularimu.”
Aku
tersenyum mendengarnya.
“Kau
curang!”
“Yah,
kami memang begitu. Japanese! Kami bisa menulari orang-orang agar meniru kami!
Termasuk kau! Dalam beberapa hal, kau sudah meniru kebiasaanku.”
“Ya,
dan kau pun meniru beberapa kebiasaanku!”
“Baiklah!
Kalau begitu, kita impas!”
Hikaru
tertawa. Aku sama halnya.
Malam
semakin malam. Menemaniku. Menemani Hikaru. Saling mengisi, saling berbagi.
Namun, sepertinya kami masih menyimpang sesuatu untuk kami sendiri. Sesuatu
yang kami pikir tak pantas untuk dibicarakan secara gamblang. Yah, setidaknya
itu menurutku. Tapi, apa?
“Kamu yakin, ‘Ta dengan semua ini?” tanya
seorang pria padaku. Sepertinya kukenal, tapi siapa? Di mana?
“Ya.” jawabku singkat.
“Benar-benar yakin?”
Aku mengangguk kencang. Mencoba
meyakinkannya jika aku lebih yakin dari yang ia kira. Meski sebenarnya…
“Lalu, kenapa kau juga harus meninggalkanku
– Pram, kekasihmu ini?”
Ya! Pria itu Pram! Kekasihku! Pacarku!
Tapi, di mana dia sekarang? Apa kabarnya?
“Apa linangan air mataku tak cukup bukti
bagimu?” aku membentak.
Pram diam. Ia membuang pandangnya dariku.
“Pram….”
Pram diam tak menjawab.
“Pram!”
Perlahan, Pram menoleh. Matanya
berkaca-kaca. Aku diam. Ada
apa dengan Pram? Sepertinya ia begitu berbeda.
Kesibukan bandara Soekarno-Hatta tak mengusik
kebekuan kami. Aku menunggu panggilang keberangkatan pesawatku, dan Pram – dia
mengantarku. Dia mengantarku sampai aku naik pesawat, dan berangkat. Dia
mengantarku karena sengaja aku yang memintanya. Aku tak begitu ingin diantar
dengan rama-ramai. Mungkin, dia mengantarku ini, untuk yang terakhir kalinya.
“Aku hanya ingin mengajukan pertanyaan
padamu, ‘Ta. Karena, emosiku bercampur aduk saat ini.”
Pram menghela napas. Badannya yang tegap
itu, tak berarti jika ia tegar dan tegap. Buktinya kini, matanya berkaca-kaca.
Benarkah?
“Apakah kita harus berpisah?”
“Tentu!” jawabku segera. “Aku di Tokyo, dan
kau di Jakarta.
Bukankah itu sudah jelas? Dan, bukankah kau pun sudah kuliah di sini? Atau, kau
harus ikut denganku pindah kuliah di sana?
Apa aku tidak boleh mengambil kesempatan ini?”
“Bukan itu maksudku!”
Aku diam. Selama dua tahun berhubungan,
baru kali ini Pram membentakku. Pastinya, ia begitu emosi saat ini.
Belum sempat Pram melanjutkan kata-katanya,
panggilan untuk pesawat penerbanganku diumumkan lewat pengeras suara.
“…Kepada calon penumpang penerbangan ke Tokyo, dipersilakan untuk
menaiki pesawat dari Gate Tujuh. Terima kasih.”
Kutatap tiket di tanganku. Berat rasanya
untuk pergi. Berat rasanya untuk meninggalkan Pram yang begitu mencintaiku.
Tapi, aku pun ingin menggapai mimpi! Aku ingin mencapai cita-citaku! Ini
kesempatanku! Biarkan aku pergi!
Kutatap Pram. Kini ia sedang menunduk ke
lantai. Apakah hatinya begitu terluka?
Aku memeluknya.
“Ketahuilah sesuatu, Pram…Aku tahu ini
menyakitkan, tapi sejujurnya aku pun tak ingin meninggalkanmu.”
“Lalu kenapa kau ingin agar hubungan kita
berakhir juga?”
Kulepas pelukan. Kusentuh pipinya dengan
hangat. Segera, ia menyambut dengan jemarinya. Matanya terpejam. Seakan-akan
ingin mengingat teguh sentuhan jemariku.
“Aku takut, kejauhan membuat kita tersiksa.
Siapa yang benar-benar tahu, apa yang masing-masing kita lakukan setiap
saatnya? Apa kau kuat, Pram? Apa kau bisa, Pram?”
“Harusnya tak perlu kau ragu dan tanyakan
lagi, Ta! Dua tahun hubungan kita, apa itu tidak cukup?”
Aku diam. Aku tak berani menjawab. Aku tahu
ia benar. Selama dua tahun ini, ia selalu ada untukku. Sabar, mengerti, setia,
mendengarkanku, dan mendukungku. Hanya, aku saja yang kurang pandai mensyukuri
kehadirannya. Kau mungkin bisa, Pram! Tapi aku tidak! Aku tak mau terbebani
dengan pikiran itu! TIDAK!
Panggilan pesawatku kembali terdengar.
Kulihat, Pram masih menatapku. Ia seperti menunggu sesuatu. Apa?
Aku tak bisa! Aku tak bisa lagi! Aku harus
pergi! AKU HARUS PERGI!
Aku bangkit. Pram masih duduk, dan menahan
tanganku.
“Aku harus pergi.”
Pram melepas tanganku. Ia berdiri di
sampingku.
Hening. Aku tahu nantinya penyesalan pun
akan mendatangiku. Tapi setidaknya, ini jalan yang terbaik. Benarkah?
Kesibukan bandara terabaikan. Kami larut
dalam pandangan.
“Ini. Ini untukmu. Ambillah.”
Aku memandang heran ke telapak tangan Pram
di depanku. Dalam sekejap, sudah bertengger sesosok burung terbuat dari kertas.
Ribuan tanya bermunculan. Sulapkah?
“Untuk apa ini?”
Pram tersenyum. Sedihnya tak tampak.
Hilang.
“Untuk harapan, dan juga mimpi.”
Aku heran. Apa hubungannya burung kertas
dan harapan? Apa hubungannya burung kertas dengan mimpi? Kapan Pram membuatnya?
Bagaimana bisa Pram berubah sebegitu cepatnya?
“Ayo, ambillah!”
Perlahan, aku mengambilnya. Kubiarkan
sementara ia bertengger di telapak tanganku, sebelum akhirnya masuk ke dalam
saku jaketku.
“Nah, kalo gini berarti sudah selesai.”
Pram mengambil jaketnya dari kursi tunggu.
Ia lalu berbalik. Ia meninggalkanku. Ia pergi tanpa kecupan di dahiku seperti
yang biasa ia lakukan. Pram pergi? Meninggalkanku?
“Hei, Pram! Kau mau ke mana?”
Pram berhenti. Ia menatapku.
“Aku tak mau bersedih saat berpisah
denganmu. Jadi, lebih baik aku tak melihat kepergianmu, dan aku harus
merelakanmu! Toh, kalaupun jodoh, kita pasti akan bertemu lagi, bukan?”
“Tapi-“
“Sudahlah! Aku mengerti! Kau tak perlu lagi
menjelaskan, atau nanti air matamu tumpah! Ingat saja, jika aku mendukungmu!
Aku selalu mendukungmu! Meski, itu memang menyakitkan bagiku. Tapi, teruslah
maju! Kepakkan sayapmu! Terbang tinggi, cintaku! Aku akan selalu ada untukmu di
sini! Menanti saat kau kembali.
Pram tersenyum. Ia sepertinya menyembunyikan
perasaan yang sebenarnya. Ia berbohong, mencoba membuatku lega, dan tenang.
Sebegitunya-kah Pram tersakiti olehku?
“Tapi-“
Pram menempelkan jarinya ke bibir, dan
melambaikan ciuman perpisahan. Aku hanya bisa diam.
“Terima kasih!”
Pram mengacungkan jempolnya.
“Aku mencintaimu!”
“Aku mencintaimu juga! Aku akan setia
menunggumu di Jakarta! Selamat jalan! Sukses selalu!”
Pram kemudian berbalik. Jalannya tegap,
membelah kesibukan bandara. Syukurlah, Pram tak apa-apa. Benarkah?
Aku berbalik, dan langsung menuju Gate
Tujuh. Kuserahkan tiketku kepada petugas, dan bergegas untuk naik pesawat dan
berangkat ke Tokyo.
KRIING!
Jam weker menggugahku dari tidur yang
lelap. Kubuka mata. Kugapai-gapai meja.
KLIK!
Jam wekerku mati. Rasa pusing langsung
menyergap kepalaku. Dalam gelap kamarku, kupejamkan mataku kembali. Pram.
Hmm, aneh sekali mimpiku tadi. Kenapa aku
memimpikan Pram? Ada
apa? Apa ada sesuatu dengannya? Pram. Bagaimana kabarnya sekarang, ya? Pastinya
ia sudah tingkat dan menyusun skripsi, aau justru ia sudah lulus jadi insinyur.
Oh, Pram. Kenapa tiba-tiba aku memikirkanmu?
Aku turun dari ranjang. Kubuka jendela.
Udara pagi menerobos masuk. Sejuk! Mentari pagi membagi kehangatannya padaku.
Sedikit es sisa musim dingin masih tersangkut di beberapa ranting pohon.
Burung-burung berkicau riang.
Kuturuni tangga menuju dapur. Terdengar
seperti ada orang yang sedang memasak. Siapa yang sedang memasak? Masa’ Hikaru?
Perlahan, aku berhenti sebentar dan diam.
Kucoba menebak-nebak siapa yang sedang memasak. Apa benar Hikaru?
Aku
mengendap perlahan. Kuintip dapur. Benar saja! Hikaru memasak!
“Kau
memasak, Hikaru?”
Hikaru
menoleh.
“Ya,
aku memasak. Kenapa? Heran, ya?”
“Hihi,
aku baru tahu kau bisa masak. Tiga tahun aku di sini, baru sekali ini aku
melihatmu memasak. Ada
sebab apa?”
“Ini
sebagian dari semangat musim semi-ku! Dan juga, aku sedang penasaran saja. Aku
ingin tahu rasanya memasak sepertimu. Ternyata, susah juga, ya?”
“Nah,
baru tahu kau!”
“Dan
juga, aku ingin mencoba beberapa resep yang kau biasa buat. Itu semua terasa
lezat sekali di lidahku. Siapa tahu, saat menikah nanti suamiku memintaku untuk
memasak. Kalau tidak bisa memberi variasi masakan, bisa-bisa suamiku nanti
berpaling. Gawat kalau begitu!”
Aku
tersenyum. Lucu juga mendengar kata ‘suami’ dari seorang Hikaru. Terlebih,
selama ini aku belum pernah melihatnya berkencan dengan seorang lelaki. Atau
jangan-jangan, sudah? Atau, saat ini ia sedang jatuh cinta?
“Suami?”
“Ya.
Suami. Aruji. Otto.”
“Hmm,
Aruji – artinya suami. Otto – artinya suamiku.”
“Wah,
kau semakin pintar saja, Ghita-chan!”
“Yah,
sudah seharusnya, bukan?”
Hikaru
tersenyum. Ia kembali meneruskan memasak.
“Memangnya
apa sih, yang sedang kau masak?”
“Yah,
aku menyebutnya telur aduk.” ucap Hikaru sambil terus memasak.
Aku
geli. “Apa? Telur aduk?”
“Ya.
Telur aduk! Telur aduk.”
Kuambil
sendok. Hikaru sementara berhenti memasak. Ia membiarkanku mengambil sesendok
masakannya. Kumasukkan ke mulut, dan mulai merasakannya.
“Uh!
Terlalu asin!”
“Masa’
iya?”
“Ya!
Coba kau rasakan sendiri!”
Hikaru
mencicipi masakannya juga. Ia lalu menyeringai.
“Wah!
Asin sekali! Kau benar!”
Hikaru
mematikan kompor. Ia salah tingkah.
“Kok
bisa, ya? Padahal, garamnya tidak banyak!”
“Memangnya,
kau masukkan berapa banyak?”
“Tiga
sendok teh.”
Aku
tak kuasa untuk menahan tawa.
“Ha..Ha..Ha!”
Hikaru
heran menatapku.
“Ada apa? Memang, salah
ya?”
“Aduh,
Hikaru..Hikaru..Tiga sendok teh itu kebanyakan! Satu sendok saja, sudah asin! Apalagi
tiga?”
Hikaru
diam. Wajahnya berubah masam.
“Dan
lagi, namanya itu telur orak-arik. Bukan telur aduk!”
Wajah
Hikaru bertambah masam. Cemberut. Aku tenggelam dalam tawa. Diam-diam, aku
mengagumi semangatnya untuk bisa memasak meski akhirnya gagal.
“Sudahlah,
Hikaru. Tetap bersemangat, ya!”
Diam.
Hikaru sepertinya kesal. Tapi, aku yakin ia kesal karena masakannya terlalu
asin dan bukannya karenaku.
“Yah!
Kenapa bisa seperti ini, ya?”
“Satu
kata untukmu. Keiken. Pengalaman.”
“Huh!”
Kutinggalkan
Hikaru yang masih penasaran di dapur. Aku ingin segera membersihkan diri dan
pergi ke kampusku.
Jalanan
kota Tokyo
sudah ramai saat aku keluar rumah. Aku langsung berjalan menuju stasiun kereta
terdekat. Aku berangkat sendiri pagi ini, karena Hikaru masih di rumah dan
terus bereksperimen dengan ‘memasak’-nya.
Stasiun
dipenuhi oleh orang-orang yang tinggal satu lingkungan denganku dan sekitar
stasiun ini. Kami semua menunggu kereta yang akan membawa kami ke pusat kota, dan tempat
aktivitas kami masing-masing. Tak lama, aku mendengar sebuah bunyi yang cukup
kukenal. Kereta datang.
Pintu
kereta terbuka. Masih kosong. Aku leluasa masuk dan duduk tanpa
berdesak-desakkan karena orang Jepang sangat tertib. Seorang wanita tak
kebagian kursi. Ia berdiri di depanku. Dari penampilannya, aku menebak jika ia
adalah seorang karyawati bank. Mungkin, ia salah seorang pejabat di bank tempat
kerjanya. Karena, selain penampilannya sangat rapi, tindak-tanduknya juga
mengatakan demikian.
Samar-samar,
kudengar percakapannya dengan seseorang di teleponnya saat kereta mulai melaju.
“Iya,
kau benar! Rencananya, delegasi mereka akan tiba besok lusa. Empat orang kalau
tidak salah. Mereka akan uji materi dengan kita. Apa? Apa maksudmu dengan kita
belum siap? Bukankah sudah aku jelaskan sejak tiga hari yang lalu padamu dan
juga tim? Pelayanan kita ini, pelayanan terbaik di Tokyo! Jangan sampai reputasi itu harus jatuh
hanya karena kita belum siap! Kalian punya dua hari lagi untuk bersiap. Atau
kalau tidak, kita semua akan dipecat!
“Ya,
aku tahu itu. Aku tahu reputasi mereka memang terkenal gengsi dan pilih-pilih.
Tapi, kita harus bisa meyakinkan mereka agar mereka memilih kita! Kita harus
bisa jadi partner mereka! Harus!”
Tak
lama, kereta berhenti di stasiun berikutnya. Sambil tetap menelepon, wanita itu
bersiap turun.
“Ya,
baiklah! Ayo kita usahakan, agar kita yang memenangkan tender itu! Nanti,
masalah pembiayaan yang pasti, kita susun belakangan bersama mereka. Sudah
dulu! Aku harus segera turun dari kereta dan mencegat taksi! Nanti kita lanjutkan
di kantor, setelah aku tiba!”
Begitu
pintu membuka, wanita itu turun. Iseng, aku memperhatikannya lewat jendela.
Langkahnya begitu terburu-buru untuk segera keluar dari stasiun. Sibuk sekali
wanita itu! Jabatannya apa, ya?
Perlahan,
kereta kembali berjalan. Mengantarku ke dua stasiun lagi sebelum aku kemudian
turun untuk ke kampus.
“Selamat
pagi, Ghita-chan! Apa kabarmu? Mana Hikaru?” Reiko menyapaku saat aku masuk ke
gedung kuliah.
“Pagi
juga, Reiko. Aku baik-baik saja. Hikaru? Dia masih asyik memasak di rumah!”
“Apa?
Hikaru memasak? Sejak kapan? Bukankah dia tak bisa memasak? Itu bisa jadi bahan
bicara baru!”
“Ya,
dia memang tidak bisa, sampai tadi pagi.”
“Lalu?”
Kami
sampai di depan ruang kuliah. Kupegang pintu, dan perlahan membukanya.
“Yah,
kau tahu bagaimana hasil masakan pertama seseorang yang tidak bisa serta baru
bisa masak, ‘kan?”
Reiko
mengekeh.
“Sudahlah,
lupakanlah ucapanku. Jangan kau ganggu dia, ya kalau bertemu nanti? Kasihan,
dia.”
“Beres!”
Ruang
kuliah 17 sudah setengah terisi. Aku mengambil bangku di depan. Reiko duduk di
belakangku. Kukeluarkan beberapa buku dan alat tulis.
Pak
Yuji – dosen sejarah budaya, muncul dari pintu. Ia langsung menuju meja di
tengah ruangan. Ia mengeluarkan beberapa buku, dan kertas. Kertas?
Jangan-jangan quiz!
“Selamat
pagi, semua!”
“Pagi!”
kami semua menjawab sapaan Pak Yuji.
“Baiklah,
hari ini kita quiz!” ucap Pak Yuji dengan logat Kansai-nya yang kental.
Beberapa
dari kami langsung menggerutu pelan. Aku pun heran mendengar pemberitahuan dari
Pak Yuji jika hari ini langsung quiz.
“Ya,
saya harap meja kalian sudah bersih dan hanya ada pulpen, ketika kertas soal
ini sampai pada kalian. Kalian semua punya waktu dua jam penuh untuk
mengerjakannya.”
Pak
Yuji langsung membagi-bagikan kertas soal. Sambil menyingkirkan barang-barang
dari atas meja, aku menerima selembar soal dan membacanya dengan seksama.
Waduh! Kok soal-soalnya susah, sih?
“Waktu
dimulai, dari sekarang! Selamat mengerjakan!”
Pak
Yuji menatap arlojinya. Ia lalu mengambil bangku, dan duduk di dekat pintu
sambil membaca buku.
Duh!
Kok, soalnya susah, sih? Kok aku nggak ada yang tau jawabannya, ya?
Matahari
bersinar hangat karena musim dingin sudah akan berlalu. Taman
kampus terasa begitu ramai saat aku keluar dari gedung kuliah. Padahal,
sebenarnya Sakura saja belum bermekaran. Apa ini semangat orang Jepang dalam
menyambut musim semi seperti Hikaru semalam? Apa ini alasan muda-mudi kampusku
berkumpul di sekitar taman? Tetap saja, meski sudah tiga tahun aku menimba ilmu
di sini, aku tak juga mengerti.
“Ghita-chan!
Ghita-chan!”
Aku
berhenti. Menoleh. Yamada – mahasiswa teknik di kampusku berlari mendekat. Aku
mengenalnya saat tiba-tiba saja ia datang ke homestay dan mencariku, sekitar
setahun yang lalu.
Saat
itu, ia memperkenalkan dirinya dan memberitahu maksud kedatangannya adalah
untuk meneliti kinerja mahasiswa asing di Tokyo.
Dan, dengan senang hati aku membantunya. Dan setelahnya, kami masih tetap
berhubungan baik.
Yamada
sampai di depanku. Napasnya terengah-engah.
“Tahukah
kau, kalau akhiran –chan itu hanya untuk anak kecil? Dan aku heran, kenapa sih,
kalian – teman-temanku justru memanggilku begitu? Padahal, aku ‘kan sudah besar, lho!”
“Maaf,
itu sudah jadi kebiasaan.”
“Tapi-”
Yamada
mengangkat tangannya, mengisyaratkanku untuk berhenti.
“Aku
ada kabar untukmu. Mungkin berguna.”
“Apa?”
“Sebentar…”
Yamada
mengeluarkan secarik kertas dari tasnya. Ia menyerahkannya padaku. Aku
mengambilnya. Membaca tulisannya dengan cukup teliti.
“Universitas
kita, akan didatangi beberapa insinyur terbaik dari Indonesia – negaramu! Mereka adalah
para lulusan terbaik di bidangnya masing-masing. Rencananya, jika tidak ada
halangan, mereka akan kuliah Master di sini, saat musim gugur nanti.”
“Kapan
mereka datang ke sini?” tanyaku sambil membaca kertas pemberitahuan itu.
“Tiga
hari lagi. Tapi, mereka akan tiba di Tokyo
besok malam.”
“Kau
tahu siapa saja orang-orangnya?”
Yamada
menggeleng.
“Maaf,
aku tidak tahu. Panitia sengaja menyembunyikan identitas mereka. Yang aku tahu,
hanyalah bidang-bidang mereka.”
“Apa
saja?”
“Mesin,
Elektro, Sipil, Arsitektur, Kimia, dan Informatika.”
Mesin?
Bukankah dulu Pram kuliah itu juga? Apa? Lagi-lagi Pram!
“Ghita-chan,
kau tidak apa-apa?”
Lamunanku
buyar.
“Yah,
tidak apa-apa. Hanya saja, aku berpikiran kok tumben sekali ada kegiatan
seperti ini. Memangnya, mereka seberapa pintarnya sehingga bisa kemari?”
“Aku
tidak tahu.”
Yamada
melirik arlojinya.
“Sudah
dulu, ya! Aku masih ada jam kuliah. Aku permisi dulu!”
“Eh,
kertas ini bagaimana?”
“Sudah!
Simpan saja! Itu untukmu!”
“Terima
kasih!”
Yamada
tersenyum dan berbalik. Ia bergegas menuju gedung kuliah tekniknya yang
letaknya agak jauh.
“Apa
itu?” tanya sesosok suara di sampingku. Aku menoleh.
“Hikaru!
Sejak kapan kau datang? Tadi kita quiz Pak Yuji, lho!”
“Yah,
biar saja. Aku tak peduli. Itu apa?”
Hikaru
menunjuk kertas yang diberi Yamada tadi.
“Ini?
Ini dari Yamada. Pemberitahuan tentang kunjungan insinyur dari negaraku – Indonesia.”
“Wah,
tumben sekali. Coba kulihat!”
Hikaru
mencomot kertas di tanganku. Ia membacanya.
“Wah,
bagus ini! Kau bisa bertemu dengan teman sebangsamu!”
“Hei!
Aku juga sering bertemu jika ada acara di KBRI, lho!”
“Ya,
itu aku tahu. Maksudku, teman sebangsa yang asli dan baru datang dari Indonesia.
Mereka tentunya Indonesian yang masih segar dan belum terpengaruh.”
“Apa
maksudmu?”
“Yah,
mereka tentunya lebih tahu kondisi terkini, dan juga membawa informasi yang
lebih akurat daripada teman-teman di KBRI-mu itu.”
“Oh.”
“Kau
lapar?”
“Lumayan.”
“Ya
sudah! Ayo, aku traktir makan!”
“Sebentar,
kita beli makanan jadi ‘kan?”
Hikaru
menatap tak mengerti. Tapi kemudian, ia tersenyum.
“Sudahlah,
kamu jangan khawatir. Aku juga kapok dengan tadi pagi.”
“Baguslah.
Ayo pergi!”
“Lain
kali, lebih baik kau saja yang terus memasak untuk kita di rumah.”
“Memangnya
kenapa?”
“Lebih
terjamin!”
“Enak
saja, kau!”
Kucubit
pinggang Hikaru yang kemudian balas mencubitku.
Malam
sudah menjelang ketika pesawat yang kutumpangi mendarat di Bandara Narita. Aku
pun turun, dan segera mencari koper.
Terminal
kedatangan begitu ramai malam itu. Sepertinya sedang ‘musim kedatangan’ di
sini. Entah, tapi ternyata anggapan Narita sebagai salah satu bandara terbaik
di dunia, ada benarnya juga. Kenapa? Karena sepertinya bandara ini tak pernah
sepi! Aku pun segera menuju lobby untuk menunggu jemputan seperti yang telah
diinstruksikan.
Seorang
wanita muda berdiri dekat lobby. Mukanya tampak lelah, tapi tangannya masih
semangat memegang plang bertuliskan namaku. Ghita Amadela – Indonesia.
Aku
mendatanginya.
“Itu
aku, Ghita Amadela, dari Indonesia.
Salam kenal!” ucapku dalam bahasa Jepang yang patah-patah. Sebelumnya, aku
memang sudah kursus bahasa Jepang sebelum berangkat.
“Maaf?”
jawabnya justru dalam bahasa Indonesia.
Aku tersentak. Tak fasih memang, tapi cukup lancar.
“Kau,
bisa bahasa Indonesia?”
“Ya.
Perkenalkan, aku Hikaru Shirogawa. Mahasiswi Sastra Indonesia di Tokyo
University. Aku menjadi homestay-mu di sini. Salam kenal.”
Hikaru
membungkukkan badannya. Kemudian, ia menyodorkan tangannya. Mengajak
bersalaman. Pantas saja bisa bahasa Indonesia! Lha, kuliahnya sastra Indonesia!
Segera,
kusalami tangannya.
“Jadi,
homestay-ku kamu?”
“Ya.
Memang kenapa?”
“Tidak.
Aku kira homestay-ku bukan mahasiswa juga.”
“Lalu?
Kau kecewa?”
“Oh,
jelas tidak sama sekali! Aku justru senang! Jadi, aku bisa lebih cepat adaptasi
dan bergaul! Aku harap, kita nantinya bisa saling membantu. Mohon
kerjasamanya!”
Hikaru
tersenyum.
“Baiklah.
Baguslah kalau begitu. Sini, kubantu mengangkat kopermu! Tentunya, kau ingin
cepat sampai di rumah, dan beristirahat, bukan? Perjalanan ini, panjang dan
melelahkan, ya?”
Belum
sempat aku menjawab, Hikaru sudah mengambil koperku. Ia menariknya. Aku
mengikutinya dari belakang.
“Di
rumah nanti, kita tinggal dengan siapa lagi?”
“Hanya
berdua.”
“Berdua
dengan siapa lagi?”
“Tidak.
Berdua – hanya kau dan aku. Begitu.”
“Apa?
Hanya kita berdua saja?”
“Ya.”
“Tapi,
bukannya homestay itu biasanya dengan satu keluarga?”
“Harusnya
begitu, tapi untuk beberapa hal, itu bisa diacuhkan dan dilanggar.”
“Memangnya,
kenapa?”
“Nanti
kujelaskan setelah sampai di rumah, ya? Sekarang, kita panggil taksi dulu,
okay?”
Aku
diam menurut. Tak terasa, kami sudah berada di luar bandara. Hikaru melambaikan
tangannya, dan sebuah taksi datang mendekat.
“Masuklah.”
Kubuka
pintu, dan masuk. Hikaru menyuruh sopir untuk membuka bagasi. Kemudian, ia
memasukkan koperku ke dalam bagasi. Tak lama, ia menyusul masuk dan duduk di
sebelahku.
“Tokyo, Distrik Yamaguchi!”
serunya pada sopir.
Tak
lama, taksi mulai bergerak perlahan menuju distrik Yamaguchi.
Tak
sengaja, aku menyentuh sesuatu yang menyembul dari balik saku jaketku. Kurogoh,
dan kukeluarkan isinya. Burung kertas dari Pram.
“Hei,
apa itu? Bukankah itu pe-pa-tori?”
Diam.
Aku heran. Tak mengerti.
“Pe-pa-tori,
apa itu?”
“Pe-pa-tori.
Burung kertas. Dari mana kau mendapatkannya? Kau membuatnya sendiri?”
“Oh.
Aku mendapatkannya dari pemberian saat akan berangkat tadi di Jakarta.”
“Siapa
yang memberimu?”
“Seseorang.
Seseorang yang kutinggalkan dengan luka di hatinya.”
“Oh,
pasti pacarmu, ya?”
“Ya,
begitulah.”
“Lalu,
apa kalian masih berhubungan?”
“Aku
memutuskannya.”
“Kenapa?
Apa dia kurang baik untukmu? Kalian sudah berhubungan berapa lama?”
“Dua
tahun.”
“Ha?
Dua tahun? Lalu kenapa? Ada
apa?”
Aku
diam. Ternyata, Hikaru ini ‘rasa ingin tahu’-nya besar juga!
“Bukan
karena apa-apa. Dia baik sekali padaku. Hanya saja,..”
“Apa?”
“Jarak
ini yang membuatku memutuskannya. Aku tak mau dia menderita karena aku jauh di
sini. Lebih baik, kulepas dia. Biarkan ia bahagia dengan seseorang yang dekat
dengannya. Daripada, dia menungguku dengan perasaan yang tak menentu.”
“Apa
dia menerima?”
“Awalnya
tidak.”
Aku
diam dulu. Mengatur napas dan emosi.
“Tapi
akhirnya dia mau menerimanya. Meski sebenarnya, aku tahu hatinya terluka.”
“Lalu?”
“Lalu,
ia memberiku burung kertas ini. Ia bilang, ‘..ini untuk harapan dan mimpi..’
Aku sendiri tak mengerti apa maksudnya.”
Hikaru
tersenyum. Ia memegang pundakku.
“Percayalah,
kau akan mengerti setelah kau kuliah di sini. Aku janji.”
Aku
mengernyitkan dahi.
“Maksudmu,
kau tahu artinya?”
Hikaru
tersenyum. Kali ini senyumannya misterius.
“Sudah,
ah. Lebih baik kau artikan dan cari sendiri! Atau, nantikan saja saatnya!”
Sopir
taksi berbelok di sebuah tikungan. Hikaru langsung mendekati sopir itu, dan
menyuruhnya untuk berhenti.
“Pak,
rumah di ujung kiri!”
Tanpa
banyak bicara, sopir itu melajukan taksi dan berhenti di depan sebuah rumah
yang ditunjukkan oleh Hikaru tadi. Sudah malam. Jalanan sekitar sepi.
“Ayo!
Kita sudah sampai!”
Hikaru
membayar sopir itu. Ia mendului turun. Aku turun setelahnya. Ia membuka bagasi,
dan mengeluarkan koperku.
“Selamat
datang di rumah!”
Aku
menatap bangunan berlantai dua di depanku. Tak mewah memang, tapi cukup megah
untuk ukuran rumah orang Jepang. Bergaya Victorian, bangunan itu terlihat gagah
dibanding rumah-rumah di sekelilingnya. Padahal kukira, aku akan tinggal di
rumah tradisional Jepang! Ternyata…
“Ayo
masuk! Jangan sungkan!”
Kulangkahkan
kakiku memasuki pekarangan rumah. Wah, ini dia! Homestay-ku dimulai! Kuliahku
segera dimulai!
“Ghita-chan!
Bangun! Bangun, Ghita-chan!”
Seseorang
mengguncang-guncang tubuhku. Pandanganku gelap. Apa aku tertidur?
“Ghita-chan!
Kau semalam kurang tidur, ya?”
Kubuka
mata. Pandanganku kabur. Ternyata, aku tertidur di meja.
“Ghita-chan!”
“Iya!”
kataku sambil menegakkan tubuh. Pegal.
Kutoleh
Hikaru di sampingku. Wajahnya tampak khawatir.
“Kau
kurang tidur, ya?”
“Ah,
tidak juga.”
“Lantas,
kenapa saat sampai di sini setelah makan dari kantin tadi, kau langsung mencari
meja dan terlelap?”
“Entahlah.
Aku juga bingung.”
“Apa
semua Indonesian sepertimu ini?”
“Tidak
semua. Hanya sebagian kecil.”
Hikaru
mengangguk-anggukkan kepala.
“Ini
juga, mungkin sepertinya pelampiasanku atas tugas musim dingin kemarin.
Padahal, kau juga tahu ‘kan
kalau aku paling susah tidur? Apalagi siang hari seperti ini?”
“Ya,
aku tahu.”
Hikaru
melihat arlojinya. Setumpuk buku berada di dekatnya. Ruang perpustakaan mulai
sepi dari pengunjung yang lalu lalang di sekitar rak.
“Sudah
sore. Waktunya pulang.”
“Memang,
kau tidak ada kuliah hari ini?”
“Sebenarnya
ada. Tapi, aku sedang malas dan ingin bolos saja, hari ini. Hitung-hitung
refreshing daripada aku jenuh.”
“Oh,
pantas tadi kau tak peduli saat kubilang Pak Yuji mengadakan quiz.”
“Ah,
santai saja. Besok-besok aku masih bisa quiz dengan cara ikut di kelas lain, ‘kan?”
“Ya,
kau benar.”
Diam.
Aku heran menatap Hikaru. Belakangan ini, ia berubah. Mulai dari memasak,
sampai bolos kuliah. Ia berbeda sekali. Ada
apa? Apa karena malam itu?
“Ya
sudah! Ayo kita pulang! Nanti keburu gelap!”
“Baiklah!”
Aku
mengekor di belakang Hikaru. Kami melewati meja-meja yang sebagian besar sudah
kosong. Hanya beberapa yang terisi. Itu pun tak penuh. Hanya ada satu-dua orang
yang masih bertahan.
Angin
bertiup kencang saat Hikaru membuka pintu perpustakaan. Musim dingin masih
menyisakan beberapa hari lagi sebelum masuk musim semi. Sambil berjalan, aku
berpikir. Kenapa tadi aku mimpi pas pertama kali dateng ke Jepang, ya? Apa
artinya? Baik? Atau buruk?
Hikaru
membuka pintu rumah, dan masuk. Ia melempar kunci ke mangkuk di dekat pintu,
dan melempar mantel ke tiang gantungan. Sambil hendak melepas sepatu, ia
menolehku.
“Kau
tidak masuk?”
Aku
masih diam berdiri di pekarangan. Memandangi rumah, seakan aku belum pernah
memasukinya. Seakan ada kekuatan magis yang menahanku agar tetap berada di luar
rumah.
“Ternyata,
rumah kita ini, banyak perubahannya!”
“Apa
maksudmu?”
Hikaru
tak jadi melepas sepatunya. Ia mendekatiku. Ia melihat ke arah yang sama
denganku. Titian atap yang warnanya berubah, dan kusam. Legam.
“Seingatku
dulu, waktu pertama kali aku ke sini malam itu, warna titian atap ini belum
begitu kusam seperti ini. Belum begitu legam seperti ini.”
“Ya.
Kau benar. Begitu juga kamu.”
Heran.
Aku menoleh pada Hikaru yang masih memandangi titian.
“Apa
maksudmu? Memangnya aku juga berubah kusam dan legam?”
Hikaru
menolehku sambil tersenyum.
“Bukan
itu. Maksudku, sudah tiga tahun kau di sini. Artinya, kau akan segera wisuda,
dan pulang ke negara asalmu – Indonesia.
Benar begitu, bukan?”
“Lho,
bukankah kau pun begitu?”
“Memang.
Tapi, setidaknya kau bisa keluar negeri ini. Bisa pergi ke tempat lain daripada
di sini. Tapi aku? Aku tak ke mana-mana. Aku masih saja berdiam di kepulauan
Jepang ini.”
“Tapi,
kau ‘kan tidak asli Tokyo. Kau ‘kan
asli Kobe. Kau
bisa pulang ke sana
setelah lulus nanti. Tidakkah kau ingin pulang?”
Hikaru
diam. Ia menarik napas. Aku merasa tak enak. Aku merasa bersalah.
“Maaf,
bukan maksudku-”
“Tidak
apa-apa. Kau mengatakan yang sebenarnya. Kau mengatakan sesuatu yang dulu
kuungkapkan padamu, saat kau baru sampai di sini pertama kali.”
“Ya,
itu aku tahu. Dulu, kau utarakan alasanmu menjadi homestay-ku.”
“Benar.
Itu aku lakukan, agar aku bisa pergi dari Kobe.
Aku ingin menjelajahi dunia selain Kobe.
Aku ingin mengenal dunia! Dan, aku ingin dunia pun mengenalku!”
“Dan
dengan jadi relawan homestay, kau bisa keluar dari Kobe, bertemu teman dari lain bangsa dan
negara. Dan, kau pun mengenali mereka seperti mereka mengenalimu. Dan, akulah
yang beruntung itu.”
Hikaru
tersenyum. Aku senang melihatnya.
“Tapi,
aku masih tak habis pikir, bagaimana kau bisa mendapatkan rumah sebesar ini
untuk homestay?”
“Memangnya?”
“Yah,
setahuku rumah untuk homestay itu, tak terlalu besar seperti ini. Apalagi,
hanya ditinggali oleh dua orang. Serta biasanya, ditinggali bersama satu
keluarga.”
“Hal
itu sudah aku ungkapkan dulu saat pertama kali kau sampai di sini, bukan?”
“Yah,
memang benar. Aku tahu kau sendiri yang mengajukan agar sendirian saja menjadi
homestay mahasiswa asing. Berani sekali! Untung saja kau mendapatkan aku.”
“Bagaimana
bisa aku beruntung?”
“Yah,
kau tahu sendiri. Kau cukup terbantu oleh kehadiranku yang bisa mengurus
rumah.”
Hikaru
tersenyum. Ia tersipu. Malu. Mukanya merona.
“Tapi,
aku masih penasaran dengan rumah ini. Dari mana kau mendapatkannya?”
Hikaru
diam. Ia hanya mendelik. Senyumnya misterius.
“Itu,
rahasia!”
Kamarku
terasa sepi dan dingin malam ini. Jam dinding menunjukkan jam dua belas.
Pastinya, Hikaru sudah terlelap di kamarnya. Padahal – dulu, biasanya kami
masih menggosip sambil bergadang.
Sekarang,
Hikaru berbeda!
Ah,
tapi sudahlah. Lebih baik kunikmati saja sinaran bulan dari balik gelapnya kamarku.
Mungkin, dengan kesendirian ini, bisa kuambil sesuatu yang berharga. Bisa
kupetik sesuatu untuk diriku sendiri.
Tiba-tiba,
aku teringat dengan perkataan Yamada tadi sore. Beberapa insinyur akan datang
dari Indonesia!
Siapa saja? Adakah Pram? Pram? Kenapa muncul Pram? Lagi-lagi Pram!
Aku
menegakkan diri dengan bersandar pada dinding. Kenapa tiba-tiba muncul Pram
kembali? Memangnya, Pram sudah lulus? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih
mengingatku?
Aneh.
Kuraih
tas, dan kukeluarkan kertas pengumuman yang diberikan Yamada tadi. Kubaca
berulang-ulang, di balik keremangan. Adakah Pram di antara mereka?
Selintas,
pikiran itu menggangguku. Kulempar kertas itu sampai menghilang dalam gelap.
Kurebahkan diriku lagi. Kucoba mengalihkan pikiranku. Tapi, tetap saja aku
tidak bisa.
Pram.
Lagi-lagi Pram. Ada
apa sebenarnya dengan Pram? Bagaimana kabarmu, Pram?
Sudah
siang ketika akhirnya aku membuka mata. Tidurku nyenyak sekali, sampai-sampai
aku tak mendengar bunyi weker. Atau, memang wekerku tak menyala?
Kutengok
jam dinding. Sudah jam sepuluh. Untunglah, hari ini aku tak ada kuliah. Jadi,
aku tak perlu buru-buru ke kampus!
Aku
menggeliat. Kulemaskan sendi-sendiku yang terasa pegal akibat tidur. Aku pergi
ke kamar mandi. Kucuci muka.
Hikaru
sedang olahraga ringan di halaman ketika kubuka jendela dari lantai dua. Ia
langsung mendongak begitu mendengar suara jendela terbuka.
“Selamat
pagi, Hikaru!”
“Pagi
juga, Ghita-chan! Tidurmu nyenyak?”
“Yah,
begitulah. Ada
apa hari ini?”
“Biasa
saja. Hanya saja, tidak biasanya kau bangun setelat ini. Meski di hari libur,
sekalipun!”
“Ya,
sepertinya wekerku ada masalah. Atau, memang aku yang tidak mendengarnya. Ah,
aku tak terlalu peduli! Dan juga, semalam aku bergadang.”
“Lagi?
Untuk apa?”
“Yah,
biasa. Kau pun tahu jika sedang gundah aku sering begitu, bukan?”
“Ooh.”
“Kau
sudah sarapan?”
“Sudah,
dengan sereal dan susu.”
“Baguslah.
Maaf, aku tak membuatkan sarapan.”
“Tidak
apa, Ghita-chan. Lagipula, persediaan sereal dan susu kita masih banyak.
Daripada kadaluarsa, lebih baik segera dihabiskan sebelum tenggat waktunya
habis!”
Aku
tersenyum. Hikaru pun demikian.
“Hari
ini, kau ada acara Ghita-chan?”
“Aku?
Sepertinya ada.”
“Bukankah
kuliahmu libur hari ini?”
“Justru
karena libur itulah, aku harus berontak! Aku harus bisa berlaku seperti manusia
biasa! Tidak lagi menjadi mahasiswi yang sedang tertekan karena sebentar lagi
akan menyusun skripsi. Setidaknya, aku harus bisa mencari-cari suasana baru.
Meski itu, hanya untuk sementara.”
“Suasana
apa?”
“Yah,
mungkin suasana yang benar-benar berbeda daripada suasana kelas.”
“Mau
cari di mana?”
“Aku
mau ke perpustakaan, dan atau sekalian ke toko buku untuk mencari beberapa
referensi.”
“Perpustakaan?”
“Memangnya
ada yang salah dengan perpustakaan?”
“Yah,
aku kira kau akan mencari suasana baru itu bukannya ke perpustakaan. Tapi
mungkin, ke tempat belanja atau yang lainnya.”
“Yah,
itulah aku.”
“Oh.”
“Memang
kenapa?”
“Tidak.
Tidak apa-apa. Hanya saja..”
“Apalagi?”
Hikaru
diam – berpikir. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi begitu berat!
“Ah,
tidak jadi. Tidak usah kau pikirkan!”
Aku
diam. Aku heran menatap perubahan Hikaru yang seketika.
“Ya
sudah kalau begitu. Aku mandi dulu, ya!”
Aku
menarik diri dari jendela. Hikaru kembali berolahraga. Aku menuju laci
pakaianku untuk mengambil handuk untuk mandi.
Laci
nomor dua kutarik sampai terbuka. Kulihat handukku berada di paling luar.
Segera, kutarik saja handuk itu sampai keluar. Kemudian, sesosok kecil jatuh di
dekat kakiku. Sosok, yang sepertinya kukenal beberapa tahun yang lalu. Burung
kertas.
Kupungut
burung kertas yang tak berdaya itu. Aneh. Mengapa ada burung kertas di sini?
Seingatku, aku tak pernah menyimpan sesuatu di laci bersama handuk. Apalagi,
burung kertas! Tapi, mengapa ada di sini?
Pram.
Satu
nama itu kembali bergema di telingaku. Ada apa ini? Kenapa Pram?
Kusimpan
burung kertas itu di meja samping ranjangku. Dan, untuk mencegahnya agar tidak
kabur, kututup jendela rapat-rapat. Tak lama, aku segera masuk kamar mandi.
Kabur?
Sambil
disirami air shower, aku memikirkan burung kertas tadi. Bagaimana bisa burung
kertas itu berada di laci? Padahal, aku ‘kan tak pernah memasukkannya ke sana!
Aku tak pernah memasukkan sesuatu pun barang-barang seperti itu! Dugaan demi
dugaan merajai benakku.
Tak
lama, acara mandiku selesai. Aku keluar dari kamar mandi. Langsung kucari
burung kertas yang tadi kusimpan di atas meja. Tapi, tak kutemui burung kertas
itu di sana. Meja samping ranjangku bersih. Tiada burung kertas.
Apa
tadi aku mengigau? Masa’ iya? Lalu, di mana burung kertas yang tadi kusimpan
itu?
Aku
bergidik. Tak berani membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada
semacam sihir di sini? Ke mana burung kertas itu pergi? Apa artinya?
“Hei,
kalau lagi makan, nggak boleh bengong!’
Teguran
Hikaru menyadarkanku. Sepertinya, dari tadi aku termangu dengan memegang sendok
serealku tanpa menyuapkannya ke dalam mulut. Hah?
“Kau
kenapa sih, akhir-akhir ini?”
“Apa?
Aku? Tidak apa-apa.”
“Benarkah?
Lalu kenapa kau sepertinya lebih sering dan gampang hilang kesadaran?”
“Ah,
memangnya seperti itu?”
“Lalu,
kenapa kau dari tadi memegang sendok sereal itu tanpa menyuapkannya?”
Aku
tersadar. Kutatap sendok sereal di depanku yang masih kupegang. Isinya masih
penuh. Apa iya aku melamun? Sejak kapan? Lamakah?
“Sudah?”
“Ya,
kau benar.”
Kusimpan
sendok sereal itu ke dalam mangkuknya kembali. Kudorong mangkuk serealku yang
masih baru sedikit saja kumakan.
“Kenapa,
tidak lapar?”
“Nafsu
makanku hilang.”
“Ooh.”
Kutengok
arlojiku. Sudah jam dua belas.
“Kau
tak berangkat ke perpustakaan?”
“Iya.
Ini juga baru mau berangkat.”
“Ya
sudah. Hati-hati di jalan. Jangan pulang terlalu malam, ya!”
“Beres!”
“Bagus.
Kalau begitu, aku mau berendam dulu, ah! Aku mau memanjakan tubuhku yang sudah
berkeringat ini.”
“Iya,
sana! Bau!”
“Enak
saja kau!”
Hikaru
pergi sambil tersenyum. Aku tertawa.
“Kau
mau titip apa?”
“Tidak,
terima kasih!”
“Benarkah?”
“Ya!”
Tak
lama, suara Hikaru tak terdengar lagi. Yang kudengar hanyalah suara bak mandi
yang diisi.
Aku
bersiap pergi. Kusimpan mangkuk sereal di tempat cuci piring, dan merapikan
tasku. Kuperiksa kembali perlengkapanku. Jaga-jaga, jangan sampai ada yang
tertinggal.
Kubuka
pintu rumah. Matahari tidak bersinar terang. Awan menutupi sebagian cahayanya.
Baguslah! Kalau begini, aku nggak bakalan kepanasan! Tapi, bagaimana jika
hujan?
Aku
tak peduli. Kupakai saja mantelku. Kubenarkan letak tas di pundakku sebelum
akhirnya melangkahkan kakiku dengan semangat. Menuju kampus. Menuju
perpustakaan. Mencari referensi untuk skripsiku.
Ini
dia! Ini saatnya! Aku harus berhasil hari ini!
Kusunggingkan
senyum di wajahku. Aku tak peduli anggapan orang. Biar saja mereka menganggapku
apa pun! Yang penting, ini semangatku! Semangat!
Jarum
jam di arlojiku menunjukkan jam satu tepat. Aku menginjakkan kaki di
perpustakaan. Sepi! Tak biasanya perpustakaan begini. Ada apa?
Aku
langsung menuju rak buku-buku budaya. Aku mencari buku-buku referensi skripsiku
nanti. Rencananya, skripsiku nanti akan kuberi judul ”Haiku on the world
perception of Japanese literature – culture”.
Kubawa
beberapa buku yang berhubungan dengan temaku. Kebanyakan, buku-buku kumpulan
haiku – puisi Jepang, yang ditulis oleh sastrawan atau penulis asing – bukan
Jepang. Salah satunya adalah (alm.) Wing Kardjo. Sastrawan Indonesia yang
pernah mengajar di Jepang. Sastrawan Indonesia yang pernah mengeluarkan sebuah
buku kumpulan haiku ciptaannya sendiri.
Tiga
buah buku kubiarkan terbuka di meja. Satu-persatu kubaca dan kuanalisa. Kucari
beberapa kesamaan yang mungkin ada di antara mereka, dan kecenderungan yang
menonjol dari karya-karya mereka.
Waktu
berjalan, dan terus berjalan. Aku larut dalam penelitian. Sepinya kondisi
perpustakaan yang tak biasa ini, sedikit menguntungkanku. Tapi, di sisi lain
aku rugi! Kalau ada apa-apa denganku bagaimana? Apa akan ada yang tahu? Siapa
yang akan menolongku? Ih, ngeri!
Aku
tergugah. Kutegakkan dudukku. Kutoleh sekeliling. Sepi. Masih seperti tadi.
Tiada orang yang membaca di dekatku. Tiba-tiba, bulu kudukku berdiri. Aku
bergidik. Ada apa ini? Kok jadi serem, ya?
Perlahan,
hawa sekelilingku mendingin. Suasana sepi menambah kengerian. Selintas, aku
teringat pada burung kertas yang bisa hilang begitu saja tadi siang. Ih, kok
tambah ngeri, ya? Kenapa ini?
Aku
harus pergi! Aku harus pulang! Aku harus keluar dari sini! Serem! Ngeri! Sepi!
Takut! Sendiri, lagi!
Kututup
buku-buku yang terbuka dengan tergesa-gesa. Kutumpuk, dan kuangkat dengan dua
tangan. Aku segera menuju tempat peminjaman buku di bagian depan. Aku ingin
segera pergi dan meninggalkan tempat ini.
Ayo!
Pergi! Pergi! Pulang! Yang penting pergi dari sini! Pergi dari sini!
Setengah
berlari, aku bergegas. Belum pernah aku diliputi kengerian yang begitu sangat
seperti ini. Tak ada pikiran lain di benakku, selain cepat keluar dan segera
pergi dari sini.
Cepat!
Cepat! Ngeri, nih! Serem, nih! Takut, nih! Ayo pergi! Ayo pergi!
Tiba-tiba,
kakiku terantuk sesuatu. Aku tersandung! Sepertinya, aku terlalu sibuk
memegangi buku agar tak jatuh karena terburu-buru, sehingga aku akhirnya tak
sempat memperhatikan jalanan.
GUBRAK!
Aku
terjatuh. Bukuku berhamburan dan berserakkan di mana-mana. Gaduh.
“Kau
tidak apa-apa? Maaf, aku tidak tahu jika ada yang lewat!”
Kutoleh
sumber suara itu. Seorang pria sedang berjongkok di dekatku. Mukanya
menyiratkan kecemasan dan rasa bersalah. Tapi, ia tampan juga!
“Aku
tidak apa-apa. Aku saja yang kurang hati-hati.” jawabku dalam bahasa Jepang.
Sudah lancar sekarang!
“Sini!
Biar kubantu membereskan buku-bukumu!
Pria
itu langsung berjalan ke arah buku-bukuku yang berserakkan. Ia memungutinya
satu-persatu dan kemudian menumpuknya. Aku mencoba berdiri. Sakit juga gara-gara
jatuh! Tapi, kehibur juga! Yang nabraknya cakep juga, sih!
“Ini
buku-bukumu. Sekali lagi, aku minta maaf.”
“Arigato
gozeimas! Terima kasih! Kau tak perlu minta maaf sebenarnya. Aku juga yang
salah.”
“Ah,
tidak apa. Aku juga yang ceroboh tidak tahu kau sedang repot dengan buku-buku
yang sebegini banyak.”
Aku
tersenyum mendengarnya. Ia sopan juga!
“Aku
Hiroshi Takagi. Tapi, teman-temanku lebih sering memanggilku Aoshi. Nama
pendekku, kata mereka. Kau juga boleh memanggilku begitu. Aku mahasiswa teknik.
Salam kenal!”
Ia
menganggukkan kepalanya. Tersenyum. Sweet!
“I-iya.
Aku Ghita Amadela. Aku kuliah Sastra Jepang. Aku mahasiswa dari Indonesia.
Salam kenal juga!”
Aku
salah tingkah. Kok? Apa karena Aoshi yang cute ini? Atau, jangan-jangan ada
sebab yang laen? Apa, ya? Kok bisa?
“Indonesia?
Wah, nama negaramu itu sedang jadi bahan obrolan hangat di Fakultas kami!”
“Ya,
aku tahu. Rencananya, akan ada insinyur yang datang, ‘kan?”
“Benar!
Dari mana kau tahu?”
Aku
tersenyum. Muka Hiroshi tampak terkejut.
“Kau
kenal Yamada Kusuya?”
“Ya.
Dia mahasiswa terbaik tahun lalu. Memang, apa hubunganmu dengan dia? Jangan kau
katakan, kalau kau tahu darinya, ya!”
Aku
hanya diam. Tersenyum. Nakal. Iseng.
“Ya,
begitulah. Kami berteman. Baru kemarin dia mengabariku tentang hal yang kau
katakan tadi.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Wah,
kau hebat bisa berteman dengannya! Setahuku, ia termasuk orang yang tertutup
dan selektif dalam memilih orang-orang yang dekat dengannya untuk dijadikan
teman. Pasti, kau bukan sekedar orang biasa, ya?”
“Ah,
kau bisa saja. Biasa saja-lah! Aku bukan orang biasa seperti apa memangnya? Kau
lihat ‘kan kakiku? Masih menempel dengan lantai!”
Aoshi
terkekeh. Aku tersenyum. Entah, tapi rasa takutku hilang. Ngeriku luntur. Aku
senang bertemu Aoshi, meski sempat jatuh tadi. Abis, Aoshi cute!
“Kau
mau pergi?”
“Ya.”
“Dengan
buku-buku sebanyak itu?”
“Ya.”
“Memangnya
bisa meminjam buku sebanyak itu?”
“Tentu.
Aku meminjamnya untuk referensi skripsiku yang akan kutulis nanti.”
“Skripsi?
Berarti, sebentar lagi kau lulus dan wisuda, ya?”
“Ya,
begitulah. Masih setahun lagi, sih. Memangnya kau tidak?”
“Aku?
Lulus dan wisuda? Wah, masih jauh! Ini baru tahun keduaku kuliah di sini!”
“Oh.”
Hatiku
kecewa. Ternyata, ia masih junior! Andai saja ia setingkat, pasti ia akan
kudekati! Habis, masa’ pacaran dengan junior, sih! Gengsi, dong!
“Ghita?
Ghita?”
“Ya.
Ada apa?”
“Ah,
tidak. Aku hanya heran saja, tiba-tiba kau melamun.”
“Aku?
Melamun? Kapan? Masa’, sih?”
“Tadi,
sebelum aku memanggilmu.”
“Oh,
maaf. Akhir-akhir ini aku memang mudah sekali hilang kesadaran. Pasti ini
karena sebentar lagi aku akan menyusun skripsi dan mengajukannya. Jadi, aku
banyak pikiran!”
“Ah,
benarkah?”
“Tentu
saja!”
Aoshi
tersenyum.
“Kulihat,
buku-bukumu tadi sebagian besar adalah buku haiku. Memangnya, kau mau menulis skripsi
tentang apa? Haiku?”
“Yah,
yang pasti tidak jauh dari sana. Haiku-haiku juga!”
Kutatap
arloji. Sudah jam enam kurang. Waktunya pulang! Mukaku sepertinya berubah,
karena Aoshi langsung bertanya.
“Ada
apa?”
“Sudah
jam enam kurang. Aku harus segera pulang!”
“Pulang
ke mana?”
“Rumah.
Aku homestay dengan temanku di sini.”
“Di
mana? Biar kuantar! Hitung-hitung, ganti salahku karena telah menjatuhkanmu
tadi.”
“Ah,
tidak usah. Terima kasih. Aku bisa pulang sendiri naik kereta. Yamaguchi tidak
terlalu jauh!”
Aduh,
kok nolak, ya? Padahal ‘kan, mumpung kesempatan ditawarin, nih! Kapan lagi
kesempatan kaya’ gini? Moga-moga, Aoshi nawarin lagi. Ayo Aoshi! Tawarin lagi!
“Yamaguchi?
Benarkah? Bukankah kereta jurusan sana penuh pada jam-jam seperti ini? Ini ‘kan
jamnya orang pulang kerja dari kantor.”
“Ya,
tapi-“
Sudah!
Terima aja kalo dia nawarin lagi!
“Ayolah,
aku bukan orang jahat seperti di anime-anime atau manga-manga yang sering kau
baca. Aku orang baik-baik. Apa perlu kuperlihatkan kartu mahasiswaku?”
Aoshi
merogoh saku celananya. Ia mengambil dompet. Dari dalamnya ia keluarkan kartu
mahasiswanya dan langsung diserahkan padaku. Sejenak, kupandangi dan
kuperhatikan. Kubandingkan fotonya dengan yang asli dan sedang berdiri menunggu
di depanku. Tetep! Sama! Cute!
“Baiklah,
aku percaya. Tapi jangan coba-coba macam-macam, ya? Memikirkan selintas juga,
JANGAN!”
“Iya…iya…”
Aoshi
tersenyum. Aku mengembalikan kartu mahasiswanya. Ia langsung memasukkannya
kembali ke dalam dompetnya. Ia memasukkannya ke dalam saku.
“Satu
lagi.”
“Apa?”
“Aku
tidak baca manga, dan nonton anime. Aku tidak terlalu suka dengan hal-hal itu.
Meski, satu sisi aku senang juga melihat gambar-gambar yang berbeda daripada
lainnya.”
Aoshi
tersenyum.
“Sudahlah.
Sini aku bantu bawakan buku-buku itu! Memangnya, boleh ya meminjam sebanyak
ini?”
“Ya,
aku sudah meminta pengecualian pada pustakawannya. Aku sudah membuat surat
izin.”
“Oh,
ya sudah. Mobilku di luar.”
Apa?
Mobil?
Aoshi
berjalan menduluiku ke tempat parkir. Aku mengikutinya dari belakang. Ia membawa
sebagian buku-buku yang kupinjam. Jalannya cukup cepat, sehingga aku agak
kerepotan juga mengikutinya. Mungkin, ini kebiasaan orang Jepang.
“Ghita!
Sebelah sini! Ayo kemari! Mobilku di sini!”
Aku
menuju arahnya. Aku berhati-hati agar buku-buku yang kubawa tak jatuh lagi.
Saat sampai, aku terkejut. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat.
Sebuah
mobil sedan merk Eropa seri terbaru tergeletak di sana. Aoshi menunggu sambil
membuka sebuah pintu. Walau sudah sore, tapi mobil itu berkilauan terkena
cahaya lembayung.
Wah!
Keren!
“I-ini
mobilmu?”
“Ya.
Kenapa?”
“Tidak
apa-apa. Hanya saja, sepertinya sayang menggunakan mobil sebagus ini hanya
untuk pulang pergi ke kampus.”
“Ah,
tidak juga.”
“Memangnya?”
“Aku
juga memakainya selain ke kampus.”
“Ke
mana saja?”
Aoshi
hanya tersenyum. Sangat misterius sekali! Kedua alisnya terangkat. Aku mulai
berpikiran negative tentangnya.
Mungkinkah
dia lelaki panggilan? Memangnya di Jepang sini, ada hal seperti itu?
“Sudahlah.
Tak usah kau pikirkan itu. Sekarang, ayo masuklah saja ke dalam mobil.
Perjalanan kita masih panjang. Ayo kita berangkat! Kau tak mau kemalaman di
jalan, ‘kan?”
Bagai
tersihir, aku menurut saja. Tapi, hatiku sebenarnya enggan. Kenapa ini?
Kusimpan
buku-buku yang kupinjam di kursi belakang, dan aku duduk di kursi depan. Aoshi
masuk. Ia duduk di kursi pengemudi. Kupasang sabuk pengaman.
“Siap
berangkat?”
“Ayo.”
“Nanti,
kalau sudah masuk daerah tempat tinggalmu, kau jadi penunjuk jalannya, ya?
Jangan sampai, nanti kita nyasar.”
“Oke.”
Aoshi
menyalakan mobilnya. Perlahan, kami bergerak meninggalkan perpustakaan dan
kawasan kampus.
Entah,
tapi perasaanku jadi tidak enak lagi. Ada apa, ya? Apa karena Aoshi? Memangnya
kenapa? Dia ‘kan cute! Tapi…
Sudah
gelap ketika Aoshi mengantarku sampai di rumah. Kulihat arloji. Jam delapan.
Lama juga perjalananku. Sama seperti naik kereta! Tapi, tentunya ini lebih aman
dan tentu saja, GRATIS!
“Sudah
sampai. Jadi ini homestay-mu? Bagus juga untuk ukuran rumah yang jadi
homestay.”
“Ya.
Memang.”
Aoshi
diam. Ia memperhatikan rumah.
“Baiklah.
Terima kasih atas tumpangannya. Maaf sudah merepotkan!”
Kubuka
sabuk pengaman. Turun. Kubuka pintu belakang. Kuambil buku-buku.
“Sini!
Biar kubantu!”
Kutatap
Aoshi yang sudah membuka pintu sebelahnya. Ia mengambil sebagian buku-buku yang
belum sempat kuraih.
“Ah,
kau tidak usah repot seperti itu. Harusnya kau-“
“Sudahlah!
Aku ikhlas!”
“Tapi-“
Aoshi
sudah menutup pintu sebelum aku selesai bicara. Mau tak mau, aku pun menutup
pintu dan membawa beberapa buku yang teraih olehku. Kususul Aoshi yang sudah menunggu
di gerbang.
“Silakan.”
Aoshi
membukakan pintu gerbang, meski tangannya penuh dengan buku-buku. Sepertinya,
ia mencoba menarik perhatianku atau membuatku terkesan. Tapi aneh, rasa kagumku
tak lagi sama seperti tadi sore. Kini, aku lebih banyak curiga padanya. Ada
apa, ya? Apa karena ia…
“Ghita-chan,
kau pulang dengan siapa?”
Aku
terkejut. Hikaru sedang berada di teras saat aku masuk ke pekarangan. Aoshi
berhenti di belakangku.
“Uh…mmm…dia…”
“Halo!
Aku Hiroshi Takagi. Tapi, lebih sering disebut Aoshi. Salam kenal!”
Aoshi
maju dan memperkenalkan dirinya pada Hikaru. Lho, kok Aoshi langsung maju, ya?
Dia ini, sopan atau cari perhatian Hikaru saja, ya? Atau jangan-jangan…
“Halo
Aoshi. Aku Hikaru Shirogawa. Salam kenal juga.”
“Oh,
pasti kau sahabat homestay-nya Ghita, ya?”
“Ya.
Benar. Ghita-chan sudah cerita, ya?”
“Ya,
begitulah.”
Aku
hanya diam memperhatikan percakapan mereka. Lho, kok jadi gini? Bukannya Aoshi
tadi bersamaku? Kok sekarang justru mengambil perhatian Hikaru? Ternyata, Aoshi
buaya juga! Tapi, kenapa aku jadi begini?
“Baiklah.
Aku simpan buku-buku ini!”
Aku
berjalan memotong pandangan Aoshi dan Hikaru. Tapi, mereka tak mempedulikanku.
Mereka tetap berpandangan seolah-oleh aku tak pernah lewat. Kesal, kusimpan
buku di kursi dengan agak kasar.
BRAK!
Hening.
Hikaru dan Aoshi masih tetap berpandangan.
“Aoshi?”
Tak
ada jawaban.
“Aoshi?”
Masih
sama.
“Aoshi!”
“Y-ya!
Ada apa?”
“Bukunya.
Ke sini.”
“Ba-baiklah!”
Aoshi
memandangku sebentar. Lalu, ia kembali menatap Hikaru. Ia berjalan mendekatiku
tanpa melepas pandangannya pada Hikaru. Hikaru sendiri tetap memandangnya. Ada
apa ini? Apa ada sesuatu? Dasar cowok!
Aku
mendehem.
“Ehm..Sekarang
jam berapa, ya?”
Adu
pandang Hikaru dan Aoshi tiba-tiba berhenti. Muka Aoshi berubah.
“Waduh!
Sekarang jam berapa, ya?”
Aoshi
segera menatap arlojinya. Ia nampak begitu terkejut, dan khawatir.
“Celaka!
Sudah jam segini! Jam delapan lebih! Aku harus segera pergi! Sudah telat!”
“Pergi?
Telat? Ke mana? Ada apa?”
“Aduh,
aku tak bisa menjawab sekarang Hikaru. Maaf, ya. Aku harus segera pergi. Maaf.
Selamat malam!”
“Ta-tapi…”
“Ya!
Hati-hati! Terima kasih sudah mengantarku, ya!”
Aoshi
tersenyum.
“Ya,
sama-sama. Permisi! Selamat malam!”
Aoshi
membungkuk. Ia segera berbalik ke mobilnya yang berada di luar dengan setengah
berlari. Tak lama, ia sudah melesat hilang di dalam kegelapan.
Mimik
Hikaru menampakkan kekecewaan. Sepertinya, ada sesuatu yang timbul di hatinya
ketika lama beradu pandang dengan Aoshi tadi. Pasti ada sesuatu! Benarkah?
Tapi, apa?
“Hikaru,
sudah malam. Kau masih mau di luar sini?”
“Ap-apa?”
Hikaru
seperti baru saja tersadar dari mimpi panjang. Ia menoleh.
“Ah,
sudahlah. Sekarang, bantu saja aku membawa buku-buku ini ke dalam!”
Aku
masuk ke dalam rumah dengan setengah tumpuk buku. Hikaru menyusul di
belakangku.
“Ghita-chan!”
“Apa?”
“Dari
mana kau mengenalnya? Dia sebenarnya siapa, sih?”
“Dia?
Bukankah tadi dia sendiri sudah memperkenalkan dirinya padamu. Namanya Aoshi,
‘kan?”
“Bukan
itu! Aku sudah tahu soal itu. Maksudku, bagaimana sampai kau bisa mengenalnya?
Dari mana?”
Aku
tersenyum. Lucu juga mendengarnya. Baru sekarang ini aku mendapati Hikaru
begitu bersemangat ingin tahu tentang seorang pria. Benarkah ada sesuatu yang
telah terjadi? Apa?
“Memangnya
kenapa? Kau suka, ya?”
Muka
Hikaru memerah.
“Aku?
Suka? Tidak!”
“Lalu,
kenapa mukamu merah seperti tomat?”
Hikaru
diam. Ia salah tingkah.
“Ah,
pasti kau suka, ‘kan? Mengakulah!”
“Tidak,
Ghita-chan.”
“Bohong…”
“Tidak!”
“Ah,
kau berbohong! Aku tahu!”
Hikaru
diam. Mukanya semakin merah padam. Ingin sekali aku tahu apa kata hatinya. Ayo
deh…Ngaku aja!
“Ya
sudah, deh. Terserah. Besok, aku gosipkan saja dengan teman-teman yang lain.”
kataku sambil berlari menaiki tangga.
“Ghita-chan!
Jangan!”
Aku
tertawa. Menyenangkan juga usil terhadap orang lain. Apalagi usil kepada Hikaru.
“Ghita-chan!”
“Kau
tidak mengantuk?”
“Memang
kenapa?”
Hikaru
mendekatiku yang sedang berbaring di lantai sambil menonton TV.
“Aku
lelah.”
“Oh.
Tidurlah di sampingku.”
Hikaru
merebahkan tubuhnya di sampingku. Malam sudah cukup larut. Wajar saja Hikaru
lelah. Perlahan, ia memejamkan matanya. Aku tetap menonton TV.
“Ghita-chan?”
“Hmm…”
“Kau
belum menjawab pertanyaanku tadi.”
“Yang
mana?”
“Dari
mana kau mengenal Aoshi? Dan, bagaimana sampai kau mengenalnya?”
“Oh,
itu. Mau kujawab yang mana dulu?”
“Yang
pertama saja dulu.”
“Memangnya
kenapa?”
“Jawab
saja.”
“Di
perpustakaan.”
“Oh.
Bagaimana bisa?”
“Kami
bertabrakan.”
“Bertabrakan?
Bagaimana bisa?”
“Ya,
begitulah. Kejadiannya terjadi begitu saja. Begitu cepat, dan sungguh
tiba-tiba. Aku sendiri tak menyangka itu akan terjadi. Karena aku tersandung
olehnya.”
“Tersandung?
Tadi, katamu kalian bertabrakan. Bagaimana? Mana yang benar?”
Diam.
Kuakui aku telah salah bicara.
“Hmm,
maksudku kaki kami bertabrakan. Begitu, Hikaru.”
“Oh.
Lalu, kenapa dia bisa mengantarmu sampai ke rumah? Bagaimana ceritanya?”
Aku
menghela napas sejenak. Ada apa ini? Tak biasanya Hikaru menanyaiku seperti
ini. Ini kali kedua ia menanyaiku atau yang lebih tepat kusebut menginterogasi.
“Tadi
dia menawarkan diri untuk mengantarku karena dia merasa bersalah telah
menyandungku.”
“Sebentar.
Menyandungmu? Tadi, kau sebut kau tersandung.”
“Ya.
Aku juga berpikiran sama sepertimu. Tapi, dia merasa kejadian itu karena
salahnya, jadi ia menawarkan diri untuk mengantarku. Apalagi, setelah melihat
buku-buku yang akan kupinjam begitu banyak.”
“Oh.
Dan, kau menerimanya begitu saja?”
Hikaru
tiba-tiba bangkit dan duduk di sebelahku. Matanya menyala-nyala. Ciee, Hikaru.
Kau pasti menyukainya, ya sampai begitu bersemangat seperti ini!
“Ya.”
Kumatikan
TV dan ikut duduk menghadapnya.
“Apa
lagi? Dua pertanyaanmu sudah kujawab.”
“Mmm….dia
dari mana?”
“Mahasiswa
Teknik.”
“Wah?
Benarkah?”
“Ya.
Tapi, dia baru tingkat dua. Junior kita.”
“Ah,
umur tak jadi masalah.”
Aku
mengernyitkan dahi.
“Lho,
emang kenapa?”
“Ah,
tidak.”
Wajah
Hikaru memerah. Matanya berkeliling. Bibirnya bergerak-gerak. Hmm, sepertinya
ada sesuatu yang ia sembunyikan. Apa, ya?
Aku
tersenyum nakal. Ingin sekali aku menggodanya. Tapi…
“Aku
lelah. Ngantuk. Aku tidur dulu, ya.”
“Ghita-chan!
Tunggu!” Hikaru memegangku.
“Ada
apa lagi?”
“Bisa
kita mengobrol lebih lama lagi?”
Hikaru
menatapku penuh harap. Aku jadi curiga. Jangan-jangan, memang ada sesuatu. Ada
apa sebenarnya?
Aku
duduk kembali di hadapannya.
“Ya.
Boleh. Ada apa?”
Hikaru
diam. Matanya berkaca-kaca. Aku tak berani bertanya. Aku diam memperhatikan.
Tak
lama, tangis Hikaru meledak. Ia menjatuhkan dirinya padaku. Ia menangis. Hikaru
menangis. Aku memeluknya. Menggenggam tangannya. Mencoba menenangkannya.
Sebenarnya,
ingin sekali kutanyakan penyebab ia menangis. Tapi, hatiku melarang. Hikaru,
ada apa? Mengapa kau menangis? Apa sebabnya? Apa ini karena Aoshi? Atau, ada
yang lainnya? Apa, Hikaru? Ada apa?
Malam
bertambah larut, tapi kantukku hilang. Aku terjaga menemani Hikaru menumpahkan
kesedihannya. Menuntaskan tangisnya. Meluapkan rasa hatinya, tanpa kuketahui
apa alasan pastinya.
Hikaru,
mengapa kau menangis?
Kuantar
Hikaru ke kamarnya. Malam sudah berganti dini hari. Sudah jam satu pagi ketika
akhirnya Hikaru berhenti menangis. Rasa penasaranku masih ada. Hikaru, mengapa
kau menangis?
Hikaru
berbaring di ranjangnya tanpa suara. Aku menyelimutinya.
“Terima
kasih.” ujarnya parau.
Aku
tersenyum.
“Tidurlah.
Kau pasti lelah.”
Aku
berbalik. Menuju pintu.
“Ghita-chan!”
Aku
berhenti. Menatap Hikaru dari jauh.
“Ada
sesuatu yang harus kukatakan padamu.”
“Oh,
ya? Apa itu?”
Diam.
Hikaru belum menjawab. Ia menunduk terlebih dulu.
“Aku
teringat pada seseorang ketika bertemu Aoshi tadi. Seseorang yang sudah lama
sekali tak kutemui. Dan, saat melihat Aoshi tadi, orang itu terbayang kembali
di benakku. Seseorang yang benar-benar ingin kutemui lagi.”
Aku
mendekat.
“Benarkah?
Siapa?”
“Ini
salah satu hal yang tak pernah kuceritakan padamu.”
“Maksudmu
apa?”
Hikaru
bangkit. Ia menegakkan tubuhnya dan bersandar pada dinding. Aku duduk di dekat
kakinya.
“Sebenarnya,
hal ini pangkal dari semua alasanku pergi dari Kobe.”
Aku
diam. Kucoba mendengarkan dengan seksama.
“Dulu,
aku pernah dekat dengan seseorang. Namanya Ryu Okada. Kami berteman dari kelas
sepuluh. Kami sering bersama. Meluangkan waktu bersama. Mengerjakan sesuatu
bersama. Bahkan, kami sering main ke rumah masing-masing.”
“Lalu?”
“Ia
mirip sekali dengan Aoshi. Cara bicaranya, gayanya, cara ia memandang, dan
postur tubuhnya. Benar-benar mirip! Bahkan, minatnya kuliah teknik serta
kemurahan hatinya untuk menolongmu dengan mengantarmu sampai rumah pun, salah
satu kemiripan lainnya. Padahal, ia belum begitu mengenalmu, ‘kan? Tapi, ia
sudah mengantarmu tanpa pamrih.”
“Di
mana dia sekarang?”
Hikaru
diam sebentar. Ia menghela napas. Sepertinya berat baginya untuk menjawab
pertanyaanku.
“Ia
pergi.”
Pergi?
“Pergi
untuk selamanya.”
“Ke
mana?”
“Ke
dunia lain.”
Aku
tersentak. Terkejut. Tak kuduga jawaban Hikaru itu.
“Benarkah?”
“Ya.
Dan penyebabnya adalah hal terakhir yang kukatakan padamu tentang kemiripannya
dengan Aoshi.”
“Saat
ia menolong orang?”
“Ya.
Terakhir kali, dia memberi tumpangan pada seseorang untuk ikut. Tapi…”
Aku
menunggu. Kubiarkan Hikaru menyelesaikan kata-katanya.
“Tapi
ternyata yang diberi tumpangannya itu justru berbuat jahat padanya.”
“Bagaimana
ia bisa meninggal?”
“Di
sebuah persimpangan, mobil mereka kehilangan kendali dan menabrak pembatas
jalan. Itu semua karena Ryu tak mau memberikan kendali mobil pada orang itu.
Lalu, dari arah depannya sebuah truk datang dengan kecepatan tinggi.”
Air
mata menitik keluar dari mata Hikaru. Ia mencoba menahan tangisnya, tapi
percuma.
“Andai
saja waktu itu Ryu memberikan kendali, mungkin takkan seperti ini.”
Diam.
Pipi Hikaru mulai basah.
Aku
diam sebentar. Menahan emosi. Tapi, aku ingin tahu lebih banyak!
“Kapan
itu terjadi?”
“Beberapa
saat sebelum lulus kelas dua belas. Tepat di akhir musim semi. Saat Sakura
mulai berguguran.”
“Oh.
Tapi, setahuku kau justru bersemangat jika Sakura muncul selama tiga tahun
belakangan ini. Kenapa?”
“Karena,
meski dia meninggal saat musim semi, aku justru mengingatnya dalam kenangan
indah. Karena, saat Sakura bermekaran inilah, aku justru mengingatnya setelah
mungkin melupakannya selama setahun. Aku merindukannya.”
“Tidakkah
itu membuatmu sedih?”
“Pada
awalnya, ya. Tapi lama kelamaan tidak. Karena justru dengan momentum Sakura
inilah, aku bisa mengenangnya. Meski, seharusnya ia memberi Sakura-ku dengan
kepahitan.”
Aku
manggut-manggut saja mendengarnya.
“Oh,
pantas saja kau menyambut hadirnya Sakura dan musim semi dengan gembira sekali
pada awalnya, tapi kemudian kau larut dalam kegamangan dan kegalauan.”
“Ah,
benarkah seperti itu?”
“Ya.”
“Kau
pasti bercanda. Itu hanya akal-akalanmu saja untuk membalasku, ‘kan?”
“Lho,
apa yang harus kubalas?”
“Kau
‘kan sering sekali melamun. Sudah lupa, ya?”
“Enak
saja kau!”
Hikaru
tersenyum. Air matanya hilang seketika. Senang rasanya melihatnya begini.
Oh,
jadi itu sebabnya ia berubah akhir-akhir ini!
“Lalu,
bagaimana ceritanya sampai kau meninggalkan Kobe?”
“Itu
keinginannya.”
“Hah?
Bagaimana bisa?”
“Surat.
Aku membaca suratnya.”
“Surat?
Ia mengirimimu surat?”
“Ya.”
Aku
bergidik. Seram!
“Bukan
setelah ia meninggal tentunya. Tapi, dari surat-surat yang kami simpan dan
janjikan untuk dibaca bersama setelah kami lulus. Surat Keinginan.”
“Oh.”
Aku
tenang. Lega. Syukurlah!
“Bagaimana?”
“Suatu
waktu di kelas sebelas, kami membuat sebuah kotak dan kami isi dengan surat
berisikan keinginan-keinginan kami setelah lulus. Dan, kami menguburnya di
sebuah tempat.”
“Wah,
romantis sekali.”
“Tapi
sayang, ia keburu meninggal. Jadi, ia tak bisa membaca suratku.”
“Tapi,
setidaknya kau sudah bisa membaca suratnya ‘kan?”
“Ya.”
“Bagaimana
isinya?”
“Keinginannya
adalah, setelah lulus aku bersamanya harus pergi dari Kobe. Kami harus kuliah di
luar Kobe. Tapi…”
Hikaru
tak melanjutkan kata-katanya. Cerianya kembali hilang. Kesenduan kembali
meliputi.
Hikaru
sesenggukan. Ia memelukku. Meletakkan kepalanya di pundakku. Kubelai rambutnya
perlahan.
“Sst…Tenanglah,
Hikaru. Tenanglah. Maafkan aku, Hikaru. Maaf jika aku justru membuatmu harus
mengingatnya.”
Hikaru
tak menjawabku. Ia terus menangis.
Di
luar, Kirana bersinar lembut. Bertemani bintang yang kerlap-kerlip. Menyuguhi
perjalanan malam yang tiada berakhir.
KRIING!
Sambil
terpejam, kugapai meja.
KLIK!
Dering
wekerku berhenti. Duh, aku masih ngantuk!
Kubuka
mata. Kutatap langit-langit kamarku. Sepertinya, aku baru tidur sebentar saja
setelah mengobrol panjang lebar dengan Hikaru malam tadi. Kok sudah pagi lagi,
sih? Males, nih!
Kusingkirkan
selimutku. Aku turun dari ranjang. Enggan, kumasuki kamar mandi. Langkahku
terseret-seret. Mataku serasa masih lengket dan ingin tetap terpejam.
Kubasuh
muka. Kutatap cermin.
“Ohayougozaimasu!
Selamat pagi diriku!”
Gadis
di cermin tersenyum. Hambar. Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya seperti lemas. Ia
sepertinya masih mengantuk. Ya! Aku masih ngantuk! Tidur aja! Nggak usah
bangun, sampe siang!
Kubuka
keran bak mandi. Biar terisi dengan air hangat. Aku sedang ingin mandi rendam
pagi ini.
Kupaksakan
berjalan kembali ke dalam kamar. Sambil menunggu bak mandi terisi penuh, aku
bermaksud untuk membereskan perlengkapan kuliahku. Kuambil tas, dan kubongkar.
Sesosok
benda terjatuh saat aku mengambil buku catatan kuliah dari dalam tas. Benda itu
tergeletak di ranjang. Di samping tas. Burung kertas. Apa? Lagi?
Kuambil
burung kertas itu. Warnanya sudah lusuh. Lipatannya sudah tak rapi. Mungkin,
sudah lama ia terselip di dalam tasku. Tapi, bagaimana bisa? Mungkinkah
kebetulan? Sudah dua kali aku menemukannya! Burung kertas kapan ini?
Bak
mandiku sudah mulai penuh terisi. Aku bangkit. Kulempar burung kertas itu ke
atas ranjang. Aku menuju kamar mandi. Tapi, apa burung kertas itu masih di
ranjangku setelah aku mandi nanti? Bagaimana kalo dia pergi lagi seperti waktu
itu? Lalu, waktu itu bagaimana dia bisa menghilang?
Kuhentikan
langkahku tepat di ambang pintu kamar mandi. Aku berbalik. Kutatap burung
kertas di atas ranjangku itu. Ia masih tergeletak tak berdaya di sana. Apa dia
akan menghilang juga? Harus aku bawa, atau tidak?
Kuambil
burung kertas itu, dan kubawa ke kamar mandi. Kusimpan ia di lemari cermin.
Lalu, aku membuka bajuku dan berendam di bak. Pasti, dia tidak akan bisa
menghilang lagi sekarang!
Air
mandiku terasa nikmat. Aku merendamkan seluruh tubuhku sampai leher. Hangatnya
pas!
Kupejamkan
mata. Kunikmati resapan air di tubuhku. Kubiarkan tubuhku merasakan pijatan
alami air hangat. Sudah lama aku tak merasa begini. Tak lama, aku terlelap.
Matahari
bersinar hangat. Menemani dudukku di atas hamparan hijau. Hmm, sepertinya aku
pernah melihatnya. Tapi kapan, ya? Aku lupa! Sepertinya sudah lama sekali!
“Ta?”
Suara
ini! Sepertinya aku pernah mendengarnya! Aku mengenali suaranya!
“Pram?”
Ya!
Suara itu suaranya Pram!
Kutatap
Pram yang terduduk di sampingku. Wajahnya masih sama seperti saat terakhir
melihatnya di bandara. Tapi, kini wajahnya lebih dewasa. Ada beberapa
perubahan. Tapi, kok aku bertemu Pram? Apa ini mimpi?
“Ta,
kok diem, sih?”
“Ap-apa?
Aku diem?”
“Ya.”
“Emang
iya?”
Pram
mengangguk. Ia tersenyum. Khas. Seorang Pram. Kenapa aku bertemu Pram? Apakah
ini nyata?
“Sudah
lama, ya?”
“Apanya?”
“Sejak
terakhir kita bertemu.”
Hah?
“Apa,
Pram? Aku nggak ngerti.”
“Sudahlah.
Kau akan mengerti. Bangunlah dari mimpimu.”
Apa?
Mimpi?
Pram
berdiri. Ia berjalan menjauh ke arah yang berlawanan.
“PRAM!
Apa maksudmu? Kau mau ke mana?”
Pram
tak berhenti. Ia hanya berjalan, dan terus berjalan. Pram menjauh. Pram
meninggalkanku.
Kucoba
berlari. Kucoba mengejar. Tapi, kakiku terasa sangat berat. Aku tak bisa
berlari. Aku tak bisa mengejar Pram. Nafasku sesak. Seakan tenggelam. Ada apa
ini?
“PRAAMM!”
Tetap.
Pram tak menolehku.
“PRAAMM!
PRAAMM!”
Kubuka
mata. Sekelilingku hanya air. Aku tenggelam!
Kujulurkan
tanganku. Kucari-cari pegangan. Aku harus segera muncul ke permukaan! Aku butuh
udara! Aku harus bernapas! Sesak!
Kuraih
sesuatu. Kucengkeram erat. Kutarik tubuhku keluar dari air sampai terduduk.
Napasku terengah-engah.
“Uhuk!”
Air
keluar dari mulutku. Napasku masih terengah-engah. Sesak.
Kutatap
sekitar. Kulihat sekeliling. Aku masih berada di kamar mandi! Aku masih berada
di bak mandi! Aku di rumah! Di rumah?
Aku
bangkit. Kusambar mantel mandi yang tergantung dekat bak mandi. Kututupi
tubuhku. Kuhampiri wastafel. Kubiarkan paru-paruku bernafas lega.
Kubuka
keran. Kubiarkan saja airnya mengalir. Kutatap sosok di dalam cermin. Mukanya
pucat. Rambutnya basah, acak-acakan. Dadanya naik turun.
“Ada
apa denganku ini? Kenapa bisa seperti ini?”
Sekejap,
aku teringat pada sesuatu di dalam lemari cermin itu. Segera kubuka, dan
kucari-cari. Burung kertas itu tidak ada! Dia tidak ada di sini! Bagaimana
bisa?
Kuacak-acak
isi lemari. Kucari burung kertas yang tadi kusimpan sebelum mandi. Ke mana dia
pergi? Ke mana? Bagaimana caranya? Bagaimana? Kenapa ia pergi? Kenapa? Kenapa?
Letak
isi lemari itu tak lagi beraturan seperti semula. Semua isinya kini amburadul.
Kacau. Ke mana burung kertas itu? Ke mana?
Sejak
kereta berangkat dari stasiun, aku hanya diam. Termangu. Melamun. Bengong. Aku
masih heran dengan burung kertas yang bisa hilang secara tiba-tiba dari dalam
lemari cermin itu. Sudah dua kali aku menemukan hal-hal seperti itu. Bagaimana
dia hilang? Pertanda apa ini?
Juga,
ada hal lain yang terus berkecamuk dalam pikiranku selain burung kertas itu.
Pram. Pram? Ya, Pram. Kenapa tadi ia muncul dalam bayanganku? Apa arti semua
ini? Adakah Pram akan hadir kembali dalam hidupku? Adakah Pram di dalam
rombongan insinyur itu? Apa? Rombongan insinyur?
Keretaku
berhenti di stasiun dekat kampus. Aku turun. Langkahku pelan. Hambar. Gontai.
Tak bersemangat. Stasiun dipenuhi orang-orang yang berjalan serba cepat.
Terburu-buru.
Jalanan
luar stasiun begitu padat. Sudah biasa. Tapi, kali ini berbeda. Aku begitu tak
bergairah untuk segera menuju kampus. Aku malas. Ada apa? Pikiranku penuh.
Pusing!
Aku
menatap langit. Mendung. Pasti akan turun hujan. Tak kupedulikan orang-orang
yang lalu lalang di sekitarku. Aku hanya ingin mengurangi beban pikiranku.
“Ta.”
Suara
itu! Pram! Pram?
“Pram?”
Kutatap
sekeliling. Hanya kesibukan orang-orang keluar masuk stasiun yang kulihat. Tak
ada Pram.
“Pram?”
Aku
mencari-cari. Aku menyelidik setiap sisi. Tak ada Pram.
“Pram?”
Baca Selanjutnya...