Bittersweet
Rain
Sandra Brown
Bab 1
ANDA yakin?" Dokter itu mengangguk muram. Seragam operasinya
yang berwarna hijau masih bersih. Ia tidak cukup lama berada di ruang operasi,
tidak sampai membuatnya keringatan. "Maafkan saya, Mrs. Lancaster.
Penyakitnya sudah menjalar ke mana-mana."
"Tak ada cara untuk menyembuhkannya?"
"Kecuali untuk mengurangi rasa sakitnya, tidak ada." Si
dokter menyentuh lengan Mrs. La'ncaster dan melirik pria yang berdiri di
samping wanita itu dengan penuh arti. "Ia takkan mampu ber-tahan lama.
Maksimal beberapa minggu."
"Ya, saya paham...." Mrs. Lancaster menyeka matanya
dengan tisu yang basah dan kusut.
Iba hati si dokter melihat wanita itu. Ketika keluarga pasien
menjadi histeris saat mendengar kondisi buruk si pasien, ia merasa mampu
me-nenangkan mereka. Namun sikap berani perem-puan tersebut, yang penampilannya
sangat feminin dan rapuh, ketika menerima kabar tadi membuatnya merasa seperti
dokter yang belum berpengalaman dan canggung. "Andai suami Anda
memeriksakannya lebih cepat, barangkali...."
Mrs. Lancaster menyunggingkan senyum getir, kehilangan harapan.
"Tetapi ia tidak mau. Sudah saya bujuk dia untuk memeriksakan perutnya
yang tidak enak. Ia berkeras itu cuma masalah pencernaan."
"Kita semua tahu Roscoe keras kepala," pria yang berdiri
di samping Mrs. Lancaster menyela. Dengan lembut Granger Hopkins
menggenggam-kan jari-jari Caroline Lancaster di lengannya. "Apakah ia
boleh menjenguknya?"
"Beberapa jam lagi," sahut si dokter. "Pengaruh
obat biusnya baru akan hilang nanti sore. Bagai-mana kalau Anda berdua pulang
saja dulu dan beristirahat?"
Caroline mengangguk. Dibiarkannya Granger, pengacara yang juga
sahabatnya, menggandengnya menuju lift. Mereka menunggu lift dalam diam.
Caroline merasa agak bingung, tapi tidak terkejut. Hidupnya tidak pernah
berjalan mulus-mulus saja dan tanpa masalah. Mengapa ia begitu ber-pegang pada
harapan bahwa operasi besar Roscoe hanya akan membuktikan suaminya itu cuma
mengidap usus buntu?
"Kau tak apa-apa, kan?"
Granger bertanya lembut ketika pintu lift menutup dan mereka aman dari tatapan
menyelidik orang-orang di sekeliling mereka.
Mrs. Lancaster menarik napas panjang. "Sebaik yang mampu
dirasakan perempuan yang mengetahui suaminya akan meninggal. Segera."
"Maafkan aku."
Caroline menatap Granger dan tersenyum. Hati Granger luluh. Senyum
Caroline, yang sering bagai minta maaf untuk kekurangan-ke-kurangan yang tak
kasat mata, mampu meng-gugah perasaan pria maupun wanita. "Aku kenal siapa
dirimu, Granger. Tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya aku
punya sahabat seperti dirimu."
Mereka berjalan melintasi lobi rumah sakit yang baru direnovasi.
Beberapa karyawan rumah sakit dan pengunjung sekilas melirik Caroline, tapi
kemudian cepat-cepat membuang pandang. Wajah-wajah yang dipalingkan itu
dipenuhi rasa ingin tahu tetapi tetap penuh rasa hormat. Semua orang sudah
tahu. Saat warga terpandang di kota sekecil
Winstonville sakit berat, beritanya akan tersebar cepat ke seluruh penjuru kota.
Granger menemani Caroline sampai ke mobil dan membukakan pintu
untuknya. Caroline ma-suk ke mobil tapi tidak langsung menghidupkan mesinnya.
Ia duduk, pandangan matanya jauh ke depan, tenggelam dalam pikirannya, cemas,
sedih. Begitu banyak yang harus diurusnya. Dari mana ia mesti mulai?
"Rink harus diberitahu."
Nama itu menghunjam tubuh Caroline bak pemecah es, dingin, tajam,
dan menusuk. Nama tersebut seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya.
Nama laki-laki itu menggemu-ruh di dalam benaknya. Perasaan sakit saat
men-dengar nama itu membuat Caroline merasa sekujur tubuhnya seperti lumpuh
seketika.
"Caroline, kaudengar apa yang kukatakan? Aku bilang—"
"Ya, aku dengar."
"Sebelum masuk ke ruang operasi, Roscoe memintaku segera
menghubungi Rink bila hasil pemeriksaan dokter tentang penyakitnya buruk."
Mata yang berwarna asap itu menatap si pengacara. "Roscoe
memintamu menghubungi Rink?"
"Ya. Ia dengan tegas meminta aku mengontak Rink."
"Aneh. Kukira permusuhan di antara mereka takkan pernah
terdamaikan."
"Roscoe sekarat, Caroline. Kurasa ia tahu, begitu masuk rumah
sakit ia takkan pernah meninggalkannya. Ia ingin melihat putranya se-belum
meninggal."
"Mereka tak pernah berjumpa atau bicara pada satu sama lain
selama dua belas tahun, Granger. Aku tak bisa memastikan apakah Rink bersedia
datang."
"Rink pasti datang kalau tahu situasinya seperti mi.
Akankah ia datang ke sini? Oh, Tuhan, apakah laki-laki itu akan
datang ke sini? Apakah ia akan bertemu Rink kembali? Bagaimana pe-rasaannya
bila mereka benar-benar bertemu? Bagaimana rupanya sekarang? Peristiwa itu
sudah lama berlalu. Dua belas tahun yang lalu. Jari Caroline mencengkeram
kemudi mobil Lincoln-nya yang empuk. Telapak tangannya basah. Caroline merasa
sekujur tubuhnya juga basah.
"Jangan terlalu mencemaskannya," ujar Granger, yang
merasakan keresahan yang me-nyergap Caroline. "Karena kau tidak kenal
Rink, biar aku yang menelepon dan menyampaikan berita ini padanya."
Caroline tidak ingin mengoreksi pendapat Granger yang
mengganggapnya tidak mengenal Rink. Bahwa mereka saling mengenal dengan baik
merupakan rahasia selama dua belas tahun. Ia tidak ingin menyingkap rahasia itu
saat ini. Ia malah menumpangkan tangannya di tangan Granger yang diletakkan di
jendela pintu mobilnya. "Terima kasih untuk semuanya."
Wajah Granger bersahaja dan biasa saja, mirip muka anjing jenis
basset, panjang dan murung. Pipinya menggelayut seperti tas kulit kosong yang
tergantung di kedua sisi rahangnya. Waktu Caroline mengelus pipinya, wajah
Granger merah padam seperti remaja. Ia sudah keriput dan bungkuk, gerakannya
lamban, bicaranya lembut dan ramah, tetapi penampilan dan perilakunya itu
mengelabui banyak orang. Di balik wajahnya yang biasa itu tersembunyi otak yang
cerdik dan jujur. "Aku senang bila bisa menolongmu. Apa lagi yang bisa
kubantu?"
Caroline menggeleng. Ia lega Granger bersedia menelepon Rink. Mana
mungkin ia sanggup melakukan hal itu? "Aku harus memberitahu Laura
Jane." Bola matanya yang keabu-abuan berkaca-kaca. "Menyampaikan
berita seperti ini pada Laura bukan hal mudah."
"Kau yang paling mampu melakukannya." Granger mengelus
tangan Caroline lalu melang-kah mundur. "Nanti sore kutelepon lagi. Bila
perlu, aku bersedia mengantarmu kembali ke rumah sakit."
Caroline mengangguk, menyalakan mesin mo-bil, dan memasukkan gigi.
Lalu lintas kota
padat ketika ia melaju. Roscoe, suaminya, dijadwalkan dioperasi pagi dini hari
tadi. Siang begini dunia sedang sibuk-sibuknya. Orang-orang membereskan
urusannya sebagaimana biasanya, mereka tidak menyadari dunia Caroline Dawson
Lancaster untuk kesekian kalinya kembali akan terjungkal.
Pria yang disayanginya, yang semula majikan-nya, kemudian menjadi
suaminya, akan mening-gal. Masa depannya, yang selama ini tampaknya aman,
kembali akan mengalamai kekacauan. Ke-matian Roscoe tidak hanya akan membuatnya
kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya, tetapi juga kehilangan
kehidupan baru-nya.
Caroline mengemudikan mobil melewati Lancaster Gin. Mereka akan
panen raya kapas tahun ini. Mandor-mandor pabrik harus segera diberitahu
perihal keadaan Roscoe. Ia yang harus memberitahukannya, karena selama beberapa
bu-lan ini, sejak kesehatan Roscoe tak memungkin-kannya menjalankan bisnis,
ialah yang melakukan semuanya. Para mandorlah
nantinya yang akan meneruskan berita tersebut kepada para kar-yawan. Dalam
waktu singkat, seluruh warga kota
akan tahu Roscoe Lancaster sakit berat.
Pernikahan Caroline Dawson dengan Roscoe Lancaster
menjadi peristiwa yang paling hangat digosipkan di seluruh penjuru kota, karena pria yang
menikahinya itu tiga puluh tahun lebih tua daripada dirinya. Mereka mengatakan
putri keluarga Dawson yang melarat berhasil
menaik-kan status sosial keluarganya, tinggal di The Retreat, naik mobil Lincoln baru dan mengilap,
dan selalu berpakaian bagus. Hebat! Memangnya siapa dia? Seingat mereka,
Caroline hanyalah gadis berpakaian lusuh yang bekerja di Wool-worth sepulang
sekolah. Kini setelah menjadi Mrs. Roscoe Lancaster, istri orang terkaya di kota, ia berlagak betul!
Sebenarnya, Caroline menghindari warga kota karena tidak tahan melihat cara mereka
me-mandang dirinya, pandangan yang dirasanya pe-nuh prasangka, sorot mata penuh
tuduhan bahwa ia memakai kekuatan magis untuk membuat Roscoe menikahinya
setelah bertahun-tahun men-duda.
Tak lama lagi orang-orang itu pula yang akan menemuinya untuk
menyampaikan penghor-matan padanya. Caroline memejamkan mata se-saat, tubuhnya
gemetar membayangkannya. Ha-nya ingatan akan The Retreat yang mampu meringankan
kepedihannya. Sampai saat ajal menjemputnya pun, membayangkan rumah itu walau
sekilas tetap akan menggetarkan hatinya. Sejak pertama kali Caroline
melihatnya, ketika masih kecil, mengendap-endap memandangi ru-mah besar itu
dari celah-celah pepohonan, rumah itu sudah menawan hatinya.
Pohon-pohon ek yang rindang tumbuh menge-lilingi rumah.
Cabang-cabang pohonnya yang kokoh, yang penuh ditumbuhi lumut keabu-abuan
keriting yang menjuntai, terjulur menge-lilinginya seperti tangan-tangan kuat
yang selalu siap memberi perlindungan. Rumah itu terletak di tengah, seperti
perempuan yang penuh pesona, yang memakai rok lebar menggelembung. Din-ding batanya
dicat putih bersih. Pilar bergaya Corinthian tegak menjulang di bagian depan,
tiga pilar di setiap sisi pintu depan. Pilar-pilar itulah yang menyangga lantai
dua rumah dengan teras yang luas di sekelilingnya. Seperangkat meja-kursi dari
rotan yang berwarna putih menghiasi teras. Meja-kursi itu hanya dimasukkan pada
musim dingin, pada bulan-bulan yang cuacanya terlalu dingin dan basah. Besi
tempa putih, indah seperti renda pakaian dalam perempuan, memagari balkon. Daun
jendela berwarna hijau daun mengapit jendela berukuran besar yang mengilap
seperti cermin di bawah sinar matahari.
Pada musim panas, serangga-serangga beter-bangan dengan riang
mengelilingi bunga-bunga yang bermekaran, warna mereka sangat mencolok sehingga
menyakitkan mata. Tidak ada tempat di muka bumi ini yang memiliki rerumputan
sehijau dan setebal rumput yang tumbuh di sekeliling The Retreat.
Keheningan menyelimuti rumah bak kabut sihir yang mengelilingi
puri dalam dongeng. Sepanjang pengetahuan Caroline, rumah itu me-rupakan
perwujudan semua yang didamba orang di dunia ini. Kini dia menjadi penghuni
rumah tersebut. Setelah peristiwa pagi tadi, Caroline sadar ia hanya menghuni
rumah itu untuk sementara waktu.
Caroline menghentikan mobil di halaman yang berbatu-batu, yang
dibentuk melingkar di depan rumah. Sejenak Caroline berusaha menenangkan
pikiran dan mengumpulkan seluruh kekuatan, yang mungkin dibutuhkannya beberapa
jam lagi. Petang ini takkan menjadi petang yang menye-nangkan.
Ruang depan menjadi terasa remang-remang setelah sinar matahari
yang membutakan di luar. The Retreat memang didesain dengan gaya rumah pertanian di zaman Perang Saudara
Amerika. Di bagian tengah ada foyer yang membentang dari pintu depan sampai
belakang. Di salah satu sisinya dibangun ruangan perjamuan resmi dan
perpustakaan, yang digunakan Roscoe sebagai ruang kerja. Di sisi lainnya ada
ruang tamu resmi dan tidak resmi, yang dipisahkan dari foyer dengan pintu geser
berukuran besar yang menghilang ke dalam dinding. Seingat Caroline, pintu itu
tidak pernah dipakai. Tangga besar meliuk naik dengan anggun menuju lantai dua,
tempat empat kamar tidur.
Udara di dalam rumah sejuk, tempat berlindung dari udara musim
panas yang lembap. Caroline melepas jas, menyangkutkannya pada gantungan
mantel, lalu menarik blus sutra yang lengket di punggungnya yang basah.
"Well? Bagaimana kabarnya?"
Pengurus rumah tangga, Haney, yang bekerja di rumah itu sejak
mendiang istri Roscoe, Marlena Winston, menikah dengan Roscoe Lancaster,
berdiri di ambang pintu melengkung yang menuju ruang makan. Sambil berjalan
dari dapur yang letaknya berseberangan dengan ruangan itu, ia mengeringkan
tangannya yang terampil, kasar, dan besar, sesuai dengan ukuran bagian tubuhnya
yang lain, dengan handuk tipis.
Perlahan Caroline menghampirinya lalu me-meluknya. Lengan pengurus
rumah tangga yang gemuk itu balas mendekap tubuh Caroline yang ramping.
"Buruk?" tanyanya lembut sambil mengelus-elus punggung Caroline.
"Yang terburuk. Kanker. Dia takkan pulang ke rumah
lagi."
Dada Haney yang besar bergetar karena me-nahan tangis. Kedua
perempuan itu saling meng-hibur. Haney tidak suka pada Roscoe, kendati ia sudah
bekerja pada pria itu lebih dari tiga puluh tahun. Kesedihan yang dirasakannya
ter-utama ditujukan pada orang-orang yang di-tinggalkan Roscoe, termasuk jandanya
yang masih muda.
Semula Haney mencurigai dan menolak ke-datangan nyonya baru di The
Retreat. Tetapi ketika melihat Caroline tidak mengubah tatanan rumah sama
sekali, tetap membiarkannya sebagai-mana ketika almarhumah Marlena masih hidup,
mulailah ia menyukai Caroline. Caroline kan
tidak bisa berbuat apa-apa bahwa ia berasal dari keluarga miskin. Tetapi Haney
tidak ingin ber-prasangka padanya gara-gara asal-muasai keluarga-nya. Apalagi
Caroline menunjukkan sikap penuh kasih sayang dan lembut terhadap Laura Jane.
Itu sudah cukup bagi Haney untuk menganggap Caroline punya hati malaikat.
"Haney? Caroline? Ada
apa?" Keduanya ber-balik dan melihat Laura Jane berdiri di anak tangga
bawah. Dalam usia dua puluh dua tahun, putri Roscoe itu kelihatan masih seperti
gadis remaja saja. Rambutnya yang cokelat dibelah tengah dan tergerai lurus ke
bawah. Rambut itu membingkai wajahnya yang lembut. Kulitnya seputih porselen.
Matanya besar dan berwarna cokelat, dengan bulu mata yang panjang. Tubuh-nya
berkembang sejalan perkembangan pikiran-nya. Laura Jane bak kuntum bunga yang
belum mekar sepenuhnya. Lekuk tubuh perempuannya mulai tampak, tetapi takkan
pernah sempurna. Seperti pikirannya yang berhenti tumbuh, begitu pun tubuhnya.
Laura Jane takkan pernah beru-bah seiring berlalunya waktu.
"Operasi Daddy sudah selesai? Ia akan pulang hari ini?"
"Selamat pagi, Laura Jane," sapa Caroline sambil
menghampiri anak tirinya, yang lima
tahun lebih muda darinya. Digandengnya lengan gadis itu. "Mau menemaniku
jalan-jalan di luar? Udara cerah hari ini."
"Mau. Tetapi kenapa Haney menangis?" Haney tampak tengah
menyeka mata dengan kain handuk.
"Ia sedih."
"Kenapa?"
Caroline menarik tubuh gadis muda itu ke arah pintu depan dan
menggandengnya menuju ke teras. "Karena Roscoe. Sakitnya parah, Laura
Jane."
"Aku tahu. Ia selalu mengeluh sakit perut."
"Kata dokter, perutnya tidak bisa disembuhkan lagi."
Mereka berjalan menyusuri rerumputan taman yang terawat rapi.
Dua minggu sekali, setiap musim, didatangkan sekelompok tukang
kebun untuk merapikan ta-man The Retreat. Laura Jane memetik sekuntum bunga
daisy dari rumpunnya yang tumbuh di dekat jalan setapak batu yang penuh lumut.
"Daddy kena kanker?"
Terkadang kecerdasan gadis ini mengejutkan mereka. "Ya,
benar," sahut Caroline. Ia tidak ingin menutup-nutupi keadaan ayahnya. Itu
tin-dakan yang keji.
"Aku banyak mendengar soal kanker di tele-visi," katanya
sambil menghentikan langkah dan menatap Caroline. Kedua perempuan yang ham-pir
sama tinggi itu saling memandang. "Daddy bisa meninggal karena kanker."
Caroline mengangguk. "Ia memang akan me-ninggal, Laura Jane.
Kata dokter, ia bisa me-ninggal dalam waktu seminggu atau lebih."
Bola mata yang cokelat itu tetap tak berkaca-kaca. Laura Jane
mendekatkan bunga daisy ke hidungnya dan menciumnya. Kemudian ia me-noleh pada
Caroline lagi. "Ia akan ke surga, kan?"
"Kurasa begitu... Ya, ya, pasti, ke surga."
"Kalau begitu Daddy akan bersama Mama lagi. Sudah lama Mama
berada di sana.
Pasti Mama senang berjumpa dia. Dan aku masih tetap punya kau, Haney, dan Steve."
Ia melirik ke arah kandang kuda. "Dan Rink. Rink selalu mengirimiku surat setiap minggu.
Katanya ia selalu menyayangi dan merawatku. Apakah Rink akan melakukannya,
Caroline?"
"Tentu saja." Caroline mengatupkan bibir, me-nahan
tangis. Akankah Rink pernah menepati janji? Bahkan terhadap adik perempuannya?
"Tetapi mengapa Rink tidak mau tinggal ber-sama kita?"
tanya Laura Jane.
"Mungkin ia akan segera ptilang." Caroline tidak ingin
memberitahu Laura bahwa tidak lama lagi Rink memang akan tiba di rumah sampai
ia melihat sendiri Rink muncul.
Laura Jane jadi tenang. "Steve menungguku. Kuda betinanya
melahirkan semalam. Ayo kita lihat."
Diraihnya tangan Caroline, lalu ditariknya me-nuju kandang kuda.
Caroline iri melihat kegem-biraan Laura dan berharap ia pun bisa menerima
kematian Roscoe dengan pikiran sesederhana putri Roscoe itu.
Udara di kandang kuda hangat, berbaur de-ngan bau kuda, kulit, dan
jerami yang tajam. "Steve," panggil Laura Jane riang.
"Di sini," jawab suara bernada rendah.
Steve Bishop bekerja sebagai manajer kandang kuda keluarga Lancaster.
Mengembang-biakkan kuda-kuda keturunan murni termasuk salah satu kesukaan
Roscoe, tapi ia tidak terlalu memeduli-kan perawatan kuda. Bishop muncul dari
lorong salah satu kandang kuda. Tubuhnya tidak terlalu .tinggi, tetapi sangat
tegap. Wajahnya persegi dan kasar, tetapi terkadang terpancar ekspresi yang
melembutkan kekasarannya. Ia membiarkan rambutnya tumbuh panjang, seperti
biasanya se-helai bandana diikatkan di kepalanya, dan topi koboi dari jerami
menutupi kepalanya. Celana jinsnya sudah tua dan kumal, sepatu botnya penuh
debu, kemejanya penuh bercak keringat. Tetapi ia tersenyum berseri-seri ketika
melihat Laura Jane berlari mendekatinya. Hanya saja, sorot kepedihan dan
keputusasaan tak pernah lenyap dari matanya, kendati bibirnya tersenyum.
Wajahnya kelihatan lebih tua daripada usianya, yang baru tiga puluh tujuh
tahun.
"Steve, kami ingin melihat anak kuda itu," kata Laura
Jane terengah-engah.
"Di sana."
Steve menoleh ke arah kandang kuda yang baru ditinggalkannya.
Laura Jane masuk ke kandang kuda. Steve menatap Caroline dengan
pandangan bertanya. "Kanker," ujar Caroline menjawab pertanyaan Steve
yang tak terucap. "Tinggal menunggu waktu."
Steve menyumpah pelan sambil memandang perempuan muda yang
berlutut di tumpukan jerami, mengelus-elus anak kuda. "Kau sudah
memberitahunya?"
"Ya. Ia bisa menerimanya lebih baik daripada kita
semua."
Steve menggangguk dan tersenyum sendu pada Caroline. "Ya.
Pasti."
"Oh, Steve. Anak kuda betina ini cantik sekali ya?"
Steve menepuk bahu Caroline dengan penuh kesadaran, kemudian masuk
ke dalam kandang. Caroline mengikutinya, dan mengawasinya saat pria itu dengan
gerakan kaku berlutut di sebelah Laura Jane. Perang Vietnam membuat Steve ke-hilangan
separo kaki kirinya. Ia tidak kentara memakai kaki palsu, kecuali bila ia harus
ber-lutut, seperti saat itu.
"Ia cantik sekali, kan?
Dan induknya kelihatan sangat bangga pada anaknya." Steve mengelus surai
kuda betina itu, tetapi matanya tetap tertuju pada Laura Jane. Caroline terus
memerhatikan-nya, ketika Steve menjulurkan tangan untuk menjumput jerami yang
menempel di rambut Laura Jane. Jari-jarinya mengelus pipi Laura Jane yang
sangat halus. Laura Jane menatap Steve dan mereka saling tersenyum.
Sejenak Caroline tertegun menyaksikan ke-mesraan di antara kedua
orang itu. Apakah mereka saling mengasihi? Caroline bingung men-dapati
kenyataan ini. Caroline bersikap taktis, ia berniat meninggalkan tempat itu,
tetapi Steve melihatnya. "Mrs. Lancaster, bila ada yang bisa saya
lakukan..." Steve tak melanjutkan kata-katanya.
"Terima kasih, Steve. Untuk sementara ini lakukan saja apa
yang menjadi tugasmu seperti biasa."
"Baik, Mrs. Lancaster." Steve tahu, Carolinelah yang
menolongnya bisa menjadi karyawan Roscoe. Wanita itu masih karyawan Roscoe ketika
Steve Bishop melamar pekerjaan sebagai manajer kandang kuda, dengan
memanfaatkan air muka penuh kegetiran sebagai senjatanya di hadapan Roscoe.
Rambutnya diekor kuda sampai pung-gung, rompinya yang terbuat dari bahan denim
dipenuhi lencana perdamaian dan tambalan slogan antiperang dan anti-Amerika.
Dengan air mukanya yang masam dan tampak suka ber-kelahi, Steve menantang
Roscoe untuk berani memberikan pekerjaan, kesemparan padanya, se-mentara banyak
orang lain yang menolak.
Caroline tahu akal muslihat Steve dan bisa menebak bagaimana
karakter pria itu yang se-benarnya. Ia orang yang putus asa. Caroline otomatis
merasa dekat dengannya. Caroline tahu bagaimana sakitnya hidup dengan predikat
ter-tentu, tahu bagaimana rasanya bila orang menilai diri kita dari penampilan
dan latar belakang kehidupan yang tidak bisa kita tolak. Karena veteran perang
itu mengatakan pernah bekerja di peternakan kuda di California sebelum perang, Caroline membujuk
Roscoe agar bersedia mem-pekerjakannya.
Roscoe tak pernah menyesali keputusannya menerima Steve. Steve
memotong pendek rambutnya dan mengubah penampilannya, seakan hendak mengatakan
tak perlu lagi ia memamer-kan simbol-simbol pemberontakannya. Ia bekerja giat,
sepenuh hati, dan membuktikan kemahiran-nya dalam merawat kuda-kuda keturunan
murni. Pria itu hanya butuh dukungan untuk me-mantapkan rasa percaya dirinya.
Caroline merenungkan semua itu ketika kem-bali ke rumah. Steve dan
Laura saling mencintai. Ia menggeleng, tersenyum, saat memasuki se-rambi.
Telepon berdering, secara otomatis ia mengangkatnya sebelum Haney.
"Halo?"
"Caroline, ini Granger."
"Ya?"
"Aku sudah bicara dengan Rink. Ia akan datang secepatnya,
mungkin malam ini.
Banyak hal yang harus diselesaikan petang itu, banyak orang yang
harus diberitahu. Roscoe tidak punya sanak saudara kecuali putra dan putrinya,
karena itu masalah kerabat tak perlu dipikirkan. Tetapi penduduk kota, juga warga Mississippi,
ingin tahu penyakit Roscoe. Caroline berbagi tugas dengan Granger untuk
meng-hubungi mereka lewat telepon.
"Haney, sebaiknya segera siapkan kamar Rink. Dia akan datang
malam ini."
Mendengar berita itu, pengurus rumah tangga tersebut tampak
seperti ingin menangis. "Puji Tuhan, Puji Tuhan. Aku sudah lama berdoa
agar anakku yang satu itu mau pulang. Ibunya yang di surga pasti menari-nari
hari ini. Pasti ia senang sekali. Yang dibutuhkan kamar itu hanya seprai baru.
Aku selalu membersihkannya, kalau-kalau suatu hari ia kembali menempatinya.
Tuhan, Tuhan, aku ingin sekali segera berjumpa dengannya."
Carolie berusaha tidak memikirkan saat ketika ia harus berjumpa
anak kesayangan itu, berbicara dengannya. Ia menyibukkan diri dengan setum-puk
tugas yang harus diselesaikannya.
Ia juga tidak memikirkan kematian Roscoe yang semakin dekat. Itu
akan dipikirkannya nanti, saat ia sendirian. Tidak juga waktu ia berkunjung ke
rumah sakit petang hari itu dan duduk di samping ranjang suaminya, ia tidak
membiarkan benaknya dipenuhi pikiran Roscoe takkan pernah meninggalkan tempat
itu, Suaminya masih di bawah pengaruh obat bius, tetapi Caroline merasa
tangannya ditekan pelan waktu ia menggenggam tangan Roscoe dan meremasnya
sebelum pamit.
Saat makan malam, ia memberitahu Laura Jane tentang kabar
kepulangan Rink. Gadis itu melompat dari kursi, menyambar tangan Haney, dan
menari-nari mengelilingi ruangan. "Ia me-mang berjanji suatu hari akan
pulang, bukan, Haney? Sekarang Rink pulang. Aku ingin mem-beritahu Steve."
Laura langsung lari keluar lewat pintu belakang menuju kandang kuda, ke tempat
tinggal Steve.
"Gadis itu akan mempermalukan dirinya sen-diri bila ia tidak
membiarkan pemuda itu sen-dirian."
Caroline tersenyum penuh arti. "Aku tidak berpendapat
begitu." Haney menengadah dan menaikkan alis karena penasaran, tetapi
Caroline tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengambil gelas es teh lalu berjalan
ke teras depan. Waktu duduk di kursi goyang bercat putih, ia menyandarkan
kepala pada bantalan kursi bersarung kain kembang-kembang dan memejamkan mata.
Inilah saat yang paling disukainya ketika menghuni The Retreat,
waktu hari menjelang malam, ketika sinar lampu di dalam rumah menyelinap ke
luar dari celah-celah jendela, yang kelihatan seperti kemilau permata.
Bayang-bayang memanjang dan berwarna-warni, saling menyatu sehingga tak ada
sudut atau bentuk yang jelas.
Warna langitnya sangat khas, gradasi ungu yang cantik. Pepohonan
menjulang di latar depannya. Kodok mengorek di sungai. Suara jangkerik menggema
di udara tak berangin dan lembap dengan nada tinggi melengking. Tanah di delta
itu menyebarkan bau yang subur. Setiap kuntum bunga menghamburkan harum yang
unik dan memabukkan.
Setelah lama beristirahat, Caroline membuka mata. Ketika itulah ia
melihat pria tersebut.
Ia berdiri tak bergerak di bawah dahan pohon ek yang menjulur.
Jantung Caroline seperti berhenti berdetak dan pandangannya kabur. Ia tidak
tahu apakah sosok pria itu sungguhan atau hanya ilusi. Kepalanya pening,
dicengkeramnya gelas es teh erat-erat supaya tidak lolos dari cengkeraman
jemarinya yang kaku dan dingin.
Pria tersebut bergerak menjauh dari dahan pohon dengan gerakan
seperti harimau dan da-lam diam, makin lama makin dekat sampai akhirnya ia tiba
di anak tangga batu yang me-nuju teras.
Ia hanya salah satu dari banyak bayangan yang ada, tetapi siluet
maskulinnya jelas terlihat ketika ia berdiri dengan kaki terbuka lebar. Secara
fisik, waktu tampaknya bermurah hati padanya. Ia tidak lebih kurus daripada
saat per-tama kali Caroline berjumpa dengannya. Ke-gelapan malam menyembunyikan
wajah pria itu dari pandangan Caroline, tetapi Caroline dapat melihat kilatan
giginya yang putih ketika ia mulai tersenyum.
Senyumnya ramah, sebagaimana juga nada bicaranya.
"Well, kalau tak salah, kau Caroline Dawson." Ia
meletakkan sebelah kakinya yang mengenakan sepatu bot di anak tangga dan
membungkukkan badan, satu tangan bertopang di lutut. Ia me-natap Caroline,
sinar lampu dari pintu utama menerpa wajahnya. Dada Caroline terasa sesak oleh
perasaan sakit... dan cinta. "Ya, tapi sekarang sudah menjadi Lancaster, bukan?"
Wajah itu! Wajah yang selalu muncul dalam mimpi-mimpi dan
khayalannya. Wajah tetap pa-ling memesona yang pernah dilihatnya. Tampan ketika
berusia dua puluhan, dan makin tampan dalam usia tiga puluhan. Rambut hitam,
yang bagai menggambarkan keliaran jiwanya dengan helai-helainya yang tak bisa
dikendalikan. Sorot matanya, yang memikat Caroline sejak pertama kali
melihatnya, menggugah perasaannya lagi. Orang yang tidak punya imajinasi akan
me-nyebutnya cokelat muda. Padahal warnanya ke-emasan, seperti warna madu
murni, liquor paling mahal, seperti batu ratna cempaka berkilau.
Terakhir kali ia berjumpa pria itu, mata tersebut penuh gairah.
Besok... Besok, sayangku. Di sini. Di tempat kita ini. Oh, Tuhan, Caroline,
cium aku lagi. Kemudian: Besok, besok. Hanya saja ia tidak muncul keesokan
harinya, dan selamanya.
"Lucu," komentarnya dengan nada yang mem-buat Caroline
berpikir sebaliknya, "kita menyan-dang nama keluarga yang sama."
Tak ada tanggapan untuk yang satu itu. Ingin rasanya Caroline
berteriak bahwa mereka bisa memakai nama keluarga yang sama beberapa tahun yang
lalu andai pria itu bukan penipu, andai ia tidak mengkhianatinya. Ada beberapa hal yang
lebih baik tidak diungkapkan. "Aku tidak melihat mobilmu."
"Aku terbang, mendarat, dan berjalan kaki kesini.
Landasan pacu kira-kira satu setengah kilo-meter jauhnya.
"Oh. Mengapa?"
"Mungkin karena ingin tahu bagaimana sam-butan yang akan
kuterima."
"Ini kan
rumahmu, Rink."
Ia memaki. "Yeah, tentu rumahku."
Caroline membasahi bibir dengan lidah dan berharap punya
keberanian untuk tetap meng-hadapinya. Ia takut kakinya tak mampu me-nopang tubuhnya.
"Kau tidak menanyakan kabar ayahmu."
"Granger sudah memberitahu aku."
"Kalau begitu kau tahu ia sekarat."
"Ya. Dan ia ingin bertemu aku. Rupanya keajaiban tak pernah
lenyap."
Komentarnya yang menyakitkan itu membuat Caroline bangkit dari
duduk tanpa berpikir dua kali. "Ia sakit keras, Rink. Bukan seperti yang
kaukenal dulu."
"Andai masih tersisa satu tarikan napas dalam tubuhnya pun,
ia persis seperti aku mengingatnya."
"Aku tak mau berdebat denganmu tentang hal itu."
"Aku bukan berdebat."
"Dan aku takkan membiarkan kau mengecewa-kannya atau Laura
Jane atau Haney. Mereka ingin bertemu denganmu."
"Kau tidak akan membiarkan? Astaga, astaga. Kau betul-betul
menganggap dirimu nyonya rumah The Retreat, ya?"
"Tolonglah, Rink. Beberapa minggu ke depan segalanya akan
cukup sulit tanpa...."
"Aku tahu, aku tahu." Tarikan napas panjang-nya
terdengar sampai ke tempat Caroline berdiri tegang di teras, tangannya mengepal
erat. Ia meletakkan gelas es teh di pagar teras karena takut menjatuhkannya.
"Aku juga tidak sabar hendak bertemu mereka," katanya dan melirik ke
arah kandang kuda. "Aku lihat Laura Jane keluar dari rumah itu beberapa
saat yang lalu, tetapi aku tidak ingin muncul tiba-tiba dalam gelap dan
mengejutkannya. Aku mengingatnya sebagai gadis kecil. Tak kusangka ia sudah
dewasa sekarang."
Ingatan akan Laura Jane dan Steve yang berlutut di tumpukan jerami
di kandang kuda, jari-jari Steve mengelus pipi Laura, melintas di benak
Caroline. Ia tidak tahu apa pendapat Rink bila tahu hubungan asmara adik perem-puannya itu. Ia jadi resah
menerka-nerka. "Ia perempuan dewasa sekarang, Rink."
Caroline merasakan tatapan mata Rink pada dirinya, menelusuri,
menganalisis, menilai. Tu-buhnya seperti dilumuri brendi yang menyentuh setiap
inci. "Dan kau," katanya lembut. "Kau juga perempuan dewasa
sekarang, bukan, Caroline? Perempuan dewasa."
Caroline sama sekali tidak berubah. Kecantikan gadis lima belas tahun yang
dikenalnya kini mendewasa. Ia berharap bertemu Caroline yang gendut, kumal,
kusut, berambut kusam, dan berpaha besar. Ternyata ia masih ramping, dengan
pinggang yang seolah akan patah bila ditiup angin. Dadanya berisi dan lembut,
namun tetap tegak, bulat, dan mengundang. Sialan! Seberapa sering ayahnya
menyentuhnya?
Ia menaiki anak tangga perlahan-lahan, seperti pemangsa yang
kelaparan tetapi hendak menyiksa korban sebelum melahapnya. Matanya yang
ke-emasan, berkilat dalam kegelapan, nanar menatap Caroline. Senyum lebar di
bibirnya menyiratkan pemahaman yang licik, seakan pria itu tahu apa yang ada
dalam benak Caroline yang ingin di-lupakannya, bagaimana bibir pria itu
menyentuh bibirnya, lehernya, dadanya.
Caroline berbalik. "Aku panggilkan Haney. Mungkin
ia...."
Tangan Rink menyambar pinggang Caroline, membuat langkahnya
terhenti. Ia memaksa Caroline menghadap ke arahnya "Tunggu
seben-tar," katanya tenang. "Setelah dua belas tahun, tidakkah kau
merasa kita bisa saling menyapa dengan lebih akrab?"
Tangannya yang bebas menyentuh tengkuk Caroline dan mendorong
wajah wanita itu ke wajahnya. "Ingat, kita sekarang keluarga,"
bisik-nya dengan nada mengejek. Kemudian bibirnya mencium bibir Caroline, kasar
dan penuh ke-marahan. Diciuminya bibir Caroline dengan liar, seakan hendak
menghukumnya karena malam-malam ketika ia memikirkan Caroline, Caroline-nya
yang polos, yang berbagi tempat tidur, tubuhnya, dengan ayahnya.
Caroline menyarangkan tinju ke dada pria itu. Terdengar suara
mengerang keras. Lututnya lemas. Ia berusaha memberontak. Ia memberon-tak lebih
keras. Karena ia ingin memeluk laki-laki itu, mendekapnya erat, merasakan
kembali getaran yang pernah dirasakannya ketika berada dalam pelukannya.
Tetapi ini bukanlah pelukan, ini penghinaan. Ia bergulat sekuat
tenaga untuk membebaskan bibirnya.
Ketika ia berhasil melepaskan diri, Rink me-masukkan tangan ke
saku celana jinsnya dan tersenyum mengejek penuh kemenangan melihat ekspresi
marah dan bibir merah Caroline. "Salam, Mom," dengusnya.
Bab 2
CAROLINE merasa napasnya sesak. Dadanya turun-naik menahan amarah
dan perasaan terhina. "Kasar sekali bicaramu. Bagaimana kau bisa sekejam
itu?"
"Bagaimana kau bisa menikah dengan laki-laki tua bajingan
yang kebetulan ayahku itu?"
"Ia bukan bajingan. Ia sangat baik padaku."
Tawa Rink pendek. "Oh, jadi ia sangat baik padamu. Karena
mutiara di telingamu itu? Berkat berlian yang gemerlap di jarimu? Kau sekarang
orang terhormat di dunia ya, Caroline si gadis sungai? Kini kau penghuni rumah
mewah The Retreat. Tidakkah kau ingat, kau pernah me-ngatakan padaku kau
bersedia melakukan apa pun agar bisa menghuni rumah ini?" Rink agak memiringkan
badan ke arah Caroline ketika mengucapkan kata-kata itu sambil mendengus.
"Biar kutebak apa yang kaulakukan pada ayahku sampai ia mau
menikahimu."
Caroline menampar muka Rink keras-keras. Itu dilakukan Caroline
tanpa berpikir panjang.
Sedetik yang lalu Rink melontarkan penghinaan-nya, detik
berikutnya Caroline mendaratkan tela-pak tangannya di pipi Rink. Membuat
telapak tangannya terasa panas. Ia berharap demikian pula pipi Rink.
Rink melangkah mundur sambil tersenyum sinis. Senyum yang membuat
amarah Caroline lebih menggelegak daripada ucapannya yang me-nyakitkan.
"Apa pun yang kulakukan pada ayah-mu, jauh lebih baik daripada apa yang
kaulaku-kan padaku selama dua belas tahun ini. Ayahmu nelangsa, sendirian di
rumah ini, menyesali dirimu.
Tawa Rink kembali terdengar. "Menyesali? Indah sekali,
Caroline. Menyesali." Rink menekuk salah satu lututnya, sehingga berat
badannya bertumpu pada kaki yang satu lagi dengan sikap angkuh. "Mengapa
aku sulit membayangkan ayahku menyesali sesuatu? Apalagi kepergianku."
"Aku yakin ia ingin kau tinggal di sini."
"Ia bahagia kalau tidak berurusan denganku, begitu juga
sebaliknya," jawab Rink kasar. "Ja-ngan bermanis-manis lagi. Kalau
kaupikir Roscoe sayang padaku, kau cuma berkhayal."
"Aku tidak tahu apa penyebab pertengkaran kalian dulu. Yang
jelas, sekarang ia sakit parah, Rink. Ia sekarat. Janganlah mempersulit situasi
yang sudah sulit."
"Siapa yang punya gagasan menghubungi aku, kau atau
Granger?"
"Roscoe."
"Granger bilang begitu. Tetapi aku tidak per-caya."
"Tetapi begitulah adanya."
"Kalau begiru, ia punya alasan lain."
"Roscoe ingin melihat putranya sebelum me-ninggal!"
teriak Caroline. "Itu alasan yang cukup kuat!"
"Tidak untuk Roscoe. Ia manusia licik, mani-pulatif,
bajingan. Andai ia ingin aku di sisinya menjelang ajalnya, percayalah, ia pasti
punya alasan."
"Tidak pantas kaubicara seperti itu tentang ayahmu padaku.
Ayahmu suamiku."
"Itu masalahmu."
"Caroline? Siapa—Oh, Tuhan. Rink!" Haney menghambur
keluar melewati pintu kasa lalu memeluk Rink erat-erat. Rink membalas pelukan-nya.
Caroline berkaca-kaca ketika melihat ke-getiran dan kesinisan di wajah Rink
berganti dengan senyum riang. Matanya yang keemasan memancarkan kebahagiaan,
giginya yang putih berkilat di balik senyumnya yang lebar.
"Haney! Oh, aku sangat merindukanmu."
"Seharusnya kau lebih sering mengirim surat padaku," gerutu Haney sambil
menegakkan tu-buh dan pura-pura marah.
"Maafkan aku," jawab Rink singkat, sementara matanya
tetap menyiratkan kebandelan seperti dulu, saat Haney menangkap basah ia
mencuri kue dari stoples. Dan ia selalu berhasil meloloskan diri. Seperti yang
dilakukannya sekarang lni.
"Jadi kau sudah bertemu Caroline," kata Haney, sambil
menatap keduanya dengan mata berbinar-binar.
"Oh, ya. Aku sudah bertemu Caroline. Kami sedang
mengobrol."
Perempuan tua itu tidak melihat lirikan mata yang sekilas
dilemparkan Rink kepada Caroline. "Makanmu pasti tidak benar, aku yakin.
Kerja keras mencari uang, muncul di berbagai surat kabar terus, tetapi badanmu tetap saja
seperti orang kurang makan. Ayo masuk. Aku sudah menghangatkan makan
malammu."
"Dan pecan pie. Baunya tercium dari sini," goda Rink,
sambil mendorong tubuh Haney ke pintu.
"Aku membuatnya bukan khusus untukmu saja.
"Jangan begitu, Haney. Kita kan sudah kenal lama."
"Kebetulan juga kami masak ayam untuk makan malam."
Pada minggu-minggu pertama kepindahannya sebagai nyonya rumah yang
baru di The Retreat ini, Caroline merasa dirinya seperti tamu tak diundang.
Tetapi bulan-bulan berlalu. Laura Jane bisa menerimanya sebagai sahabat. Haney
pun mulai menyukai dirinya. Tetapi saat ini, melihat Rink di rumah ini,
mendengar derap sepatu botnya di lantai kayu dan suaranya yang meng-gema di
ruangan yang berlangit-langit tinggi, kembali Caroline merasakan dirinya
seperti orang asing. Rink-lah pemilik rumah ini. Bukan diri-nya.
Ketika mengikuti mereka sampai ke dapur, Caroline melihat Haney
menyuruh Rink duduk di meja bundar dari kayu ek yang penuh ber-macam-macam
hidangan. Rink mengamati ruangan itu. "Tak ada yang berubah," kata
Rink hangat.
"Dapurnya kucat lagi beberapa tahun yang lalu," ujar
Haney. "Tetapi kuberitahu ayahmu aku tak akan mengganti warna catnya. Aku
ingin segalanya tetap sama seperti ketika kau masih tinggal di sini."
Rink menelan, dan menggeser-geser makanan di piringnya dengan
garpu. "Aku tidak akan tinggal di rumah ini selamanya, Haney. Hanya sampai
Daddy... kembali pulih seperti semula."
Tangan Haney yang sibuk bekerja langsung berhenti. Ia menatap Rink
seperti menatap anak laki-laki momongannya. "Aku tak ingin kau pergi dari
rumah ini lagi, Rink. Ini rumahmu."
Mata Rink melirik Caroline sesaat, lalu kem-bali pada piring
makanannya. "Tak ada gunanya lagi aku tinggal di sini," ujar Rink
marah sebelum menyuapkan makanan ke mulut.
"Siapa bilang? Masih ada Laura Jane," Caroline
mengingatkan Rink dengan suara lembut. Karena tidak mau hanya berdiri di dekat
pintu, Caroline memaksakan diri melangkah masuk ke dapur. Caroline tidak ingin
Rink tahu kedatangan pria itu di rumah ini membuatnya merasa terancam di
rumahnya sendiri. Ia toh belum menjadi janda Roscoe. Sebagai istri, Caroline
merasa pu-nya hak tetap tinggal di rumah ini. Caroline berjalan ke lemari es,
mengambil segelas teh es yang sebetulnya tak diinginkannya.
"Diberkatilah dia, Rink," ujar Haney sambil mengelap
gelas yang sudah mengilap bersih. "Tiap hari ia menyuruhku memeriksa kotak
pos, kalau-kalau ada surat
darimu. Demi dia, kau tidak boleh meninggalkan rumah ini, kendati kau
bertengkar hebat dengan ayahmu."
"Aku benci tidak bisa tinggal di sini untuk dia. Apakah ia
baik-baik saja?" "Tentu, tentu. Sangat cantik." "Bukan itu
maksudku."
Haney meletakkan gelas di meja. "Aku tahu yang
kaumaksud," ujar Haney datar. "Ya, Laura baik-baik saja. Aku tahu
dari pertanyaan-per-tanyaanmu tentang dia di dalam surat-suratmu bahwa kau
tidak dapat membayangkan bagai-mana keadaan Laura, Rink. Laura memang tidak
pandai secara akademis, tetapi banyak hal yang dipelajarinya dari
sekelilingnya. Kau memang tidak ada di sini untuk melindunginya, tetapi
perasaan posesifmu sekuat induk beruang terhadap anaknya. Laura tumbuh menjadi
perem-puan cantik. Ingat. Ia sudah dewasa sekarang, barangkali tak bisa lagi
diperlakukan seperti benda rapuh yang mudah. pecah. Ia perempuan muda yang
cantik. Bila kebetulan warga setempat berjumpa dengannya, sedikit yang
menyadari ia berbeda."
"Tetapi ia berbeda," tukas Rink.
"Tidak terlalu," sela Caroline. "Ia tahu
perkem-bangan dunia, tetapi emosinya tidak stabil. Aku lebih mencemaskan
kelabilan jiwanya ketimbang perkembangan mentalnya. Andai orang yang
di-cintainya mengecewakannya, sakit hatinya pasti sulit disembuhkan."
Mata Rink tak beralih sedikit pun dari wajah Caroline ketika ia
mengelap mulutnya dengan serbet dari bahan katun. Dilemparkannya serbet itu,
lalu menarik kursinya dari meja. "Terima kasih untuk ceramahnya, Kakak
Caroline. Akan selalu kucamkan hal itu."
"Aku bukannya bermaksud—"
"Begitulah yang kaumaksud," potong Rink sambil mengambil
teko kopi, menuang isinya ke dalam cangkir.
"Rink Lancaster,
tidak pantas kau bersikap begitu pada Caroline." Haney terkejut melihat
sikap bermusuhan kedua orang di hadapannya. Belum lima menit mereka berkenaJan, tetapi sudah
saling bermusuhan. Jelas Rink tidak setuju ayahnya mengambil wanita muda
seperti Caroline sebagai istri. Namun Rink sendiri sudah dua belas tahun
meninggalkan rumah. Apakah ada pengaruh pernikahan Roscoe bagi dirinya?
Ke-cuali kalau menyangkut The Retreat. "Mana tata krama yang ibumu dan aku
ajarkan? Ingat, Caroline istri ayahmu. Ia harus kauhormati se-bagaimana
mestinya."
Rink, yang terus menatap Caroline, mencibir sinis. "Ibu
tiriku. Aku selalu lupa hal itu."
"Itu Laura Jane datang," seru Haney sambil memandang
kedua orang yang ada di dapur tersebut. "Jangan kacaukan hatinya, Rink.
Cukup satu kejutan yang harus ia terima hari ini dan ia berhasil mengatasinya
dengan baik."
Suara Laura Jane yang lembut menembus pintu kasa sebelum ia
membukanya. Laura berdiri tertegun. Tubuhnya yang ramping seperti patung dewi
Yunani, diam tak bergerak di ambang pintu ketika melihat kakak laki-lakinya.
Sesaat ia bengong, baru kemudian tampak berseri-seri, keceriaan terpancar di
matanya, di pipinya, dan akhirnya seulas senyum ceria tersungging di bibir-nya.
"Rink," panggilnya lirih.
Ia langsung menghambur mendekati Rink, melingkarkan tangannya yang
kurus di leher kakak laki-lakinya itu dan membenamkan wajah di leher kemeja
Rink. Rink balas memeluk Laura, mengangkatnya, lalu mengayun-ayunnya ke de-pan
dan ke belakang sambil tetap mendekapnya. Matanya dipejamkannya rapat-rapat
untuk menekan emosi yang menguasai perasaannya. Laura Jane-lah yang pertama
melepaskan pelukan. Dengan jemarinya yang kelihatan rapuh seperti tanpa
"semangat hidup, dielusnya wajah kakak laki-lakinya, rambutnya, bahunya,
seakan hendak meyakinkan diri bahwa kakaknya benar-benar ada di hadapannya.
"Kau jangkung sekali," komentar Laura. "Dan
tegap." Laura tertawa, memegang otot lengan Rink.
"Kau cantik dan begitu dewasa." Rink menga-mati tubuh
Laura, gadis muda yang cantik dan halus. Kemudian keduanya tertawa bahagia
ka-rena bisa berjumpa. Kembali mereka berpelukan.
"Daddy akan meninggal, Rink," ujar Laura Jane serius
ketika akhirnya mereka saling me-lepaskan pelukan. "Caroline sudah
memberitahumu...”
"Ya," jawab Rink pelan sambil menelusuri dagu adik
perempuannya itu dengan jari telun-juknya.
"Tetapi sekarang kau sudah ada di rumah. Haney, Caroline, dan
Steve... Oh, ya ampun! Aku lupa memperkenalkannya padamu." Laura berbalik
ke arah manajer kandang kuda itu, yang mengantarnya pulang dan sejak tadi
berdiri di depan pintu kasa. Laura Jane meraih tangan-nya dan menariknya maju.
"Steve Bishop, ini kakakku, Rink."
Steve melepaskan jarinya dari genggaman tangan Laura untuk
menyalami Rink, yang memandangnya dengan sorot mata penuh selidik. "Mr.
Lancaster, apa kabar?"
"Panggil Rink saja," jawab Rink, menjabat tangan Steve
kuat-kuat. "Sudah berapa lama bekerja di sini?"
"Setahun lebih sedikit."
Rink melirik adik perempuannya lalu kembali memandang si manajer
kandang kuda. "Laura Jane pernah menyebut namamu dalam suratnya."
"Salah satu kuda betina melahirkan kemarin, Rink," Laura
Jane memberitahu Rink dengan suara riang. "Steve yang menolongnya
melahir-kan."
"Saya harus kembali untuk melihat keadaan mereka," kata
Steve.
"Tinggallah di sini sebentar, minum teh dan menikmati kue-kue
kecil bersama kami," ajak Haney.
Sejenak Steve menatap Rink, lalu memalingkan wajah. "Terima
kasih. Saya harus segera melihat anak kuda yang baru lahir itu."
"Besok pagi aku akan menjenguknya, Steve: Boleh?" Laura
Jane bertanya sambil menggeng-gam tangan Steve lagi.
"Tentu saja," jawab Steve lembut sambil ter-senyum
melihat kepolosan sikap Laura. "Ia pasti rindu sekali padamu bila kau
tidak menjenguknya.
Steve melepaskan genggaman tangan Laura dan keluar lewat pintu
belakang. "Selamat malam, Steve," ucap Laura.
"Selamat malam, Laura," jawab Steve. Kemu-dian Steve menyentuh
pinggir topi koboinya sebagai salam hormat kepada yang lain, meng-hilang di
kegelapan malam dengan langkah ter-pincang-pincang.
Rink menatap kepergiannya lalu menutup pintu. Haney sibuk memotong
kue pecan pie dan menyendokkan es krim vanila ke atasnya.
"Aku tidak mau, Haney. Terima kasih," ujar Caroline.
Lewat ekor matanya, ia melihat Rink memandanginya. "Hari ini aku letih
sekali. Ku-ra$a aku mau isdrahat dulu."
"Ada
yang kaubutuhkan?" tanya Haney, pri-hatin.
"Tidur nyenyak," jawab Caroline. Dicon-dongkannya
badannya ke arah Laura Jane, lalu diciumnya pipinya. "Selamat malam. Besok
pagi kita sama-sama ke rumah sakit dan kau bisa menemui ayahmu."
"Ya, aku mau. Selamat malam. Kau juga gembira Rink pulang, kan, Caroline?"
"Ya, tentu saja." Caroline menegakkan tubuh dan bertemu
pandang dengan Rink. "Haney sudah menyiapkan kamarmu. Selamat malam,
Rink."
Sebelum Rink sempat menjawab, Caroline su-dah keluar pintu,
meninggalkan ruang makan menuju loteng. Ternyata berat buat Caroline untuk
berada dalam satu ruangan dengan Rink. Selain itu, Rink, Laura Jane, dan Haney,
yang mengasuh mereka sepeninggal Marlena, perlu waktu bersama mereka tanpa
dirinya.
Suara langkah kakinya di lorong atas teredam karpet Oriental yang
terhampar di sepanjang lorong. Dua lampu di sisi ranjang menerangi kamar
tidurnya. Salah satu lampu itu dimatikan-nya. Berada dalam kegelapan terasa
lebih nyaman bagi Caroline malam itu; seakan kegelapan mam-pu menyembunyikan
sesuatu yang tidak ingin dilihatnya, tak ingin dipikirkannya. Caroline ber-diri
di dekat jendela besar yang menghadap ke halaman belakang The Retreat yang luas
4an dataran landai ditumbuhi rerumputan yang mengarah ke sungai. Bulan separo
tampak di langit, tetapi ia dapat melihat pantulannya di permukaan air dari
kejauhan. Segalanya terasa begitu damai.
Caroline hanya butuh ketenteraman. Tiga pu-kulan berat
menghantamnya hari ini. Ia tahu suaminya akan meninggal. Steve bersikap lebih
daripada sekadar teman terhadap Laura Jane, bahkan lebih daripada mengasihani.
Dan Rink, yang kini pulang.
Sambil menarik napas dalam, ia menjauhi jendela dan membuka
pakaiannya. Setelah bathtub dipenuhi air hangat, Caroline berendam di dalam
bathtub yang penuh busa wangi sambil memejamkan mata. Saat itulah dibiarkannya
dirinya menangis. Untuk Roscoe. Selama ini Roscoe frustrasi gara-gara
penyakitnya, tetapi laki-laki itu berkeras tidak mau memeriksakan diri ke
dokter. Buat pria yang penuh vitalitas seperti Roscoe, kenyataan dirinya
diserang penyakit sulit diterima. Barangkali akan jauh lebih baik bila maut
segera menjemputnya. Memaksa Roscoe yang selalu penuh semangat dan ambisi
berbaring tak berdaya dan hanya bisa mengeluh kesakitan di ranjang rumah sakit
selama berbulan-bulan juga sangat tidak manusiawi.
Caroline berendam di bathtub beberapa lama sampai air matanya
mengering dan air mandinya dingin. Ia ingin cepat-cepat tidur. Seisi rumah
sudah senyap. Terdengar suara ketukan pelan di pintu kamarnya ketika ia menarik
bedcover ran-jang. Caroline terlonjak karena terkejut.
Dari pintu kamar yang dibukanya sedikit, Caroline melihat sosok
seseorang di bawah cahaya remang-remang, berdiri di lorong rumah yang sunyi.
"Ada
apa?"
"Aku mau bicara denganmu."
Rink langsung menerobos masuk. Karena tidak ingin menimbulkan
kegaduhan, Caroline tak pu-nya pilihan lain kecuali membiarkan pria itu masuk
dan menutup pintu kamarnya. Rink ber-diri di tengah kamar, pelan-pelan
berbalik, memerhatikan semua perabot yang ada di dalam kamar. Ia melangkah ke
dekat jendela, tangannya menyentuh tirai, seperti mengingat-ingat suasana kamar
itu di masa lalu. Diamatinya barang-barang antik yang ada di meja rias. Ia
melirik ke arah cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Apakah ia mencari
sosok anak laki-laki kecil seperti dulu?
"Dulu ini kamar tidur ibuku," ucap Rink akhirnya.
Tangan Caroline yang berkeringat saling meng-genggam di pinggang.
"Ya, aku tahu. Kamar yang cantik. Salah satu yang kusuka di rumah ini.
"Cocok untukmu," komentar Rink, sambil mengamati
pantulan tubuh Caroline yang berdiri di belakangnya di cermin.
"Sebagaimana cocok untuk ibuku. Kamar ini sangat perempuan."
Ketika Rink tak juga mengalihkan pandangan dari dirinya, sadarlah
Caroline akan pakaian yang membungkus tubuhnya. Pakaian tidur beri-kut jubah
luarnya itulah yang jelas membuat tatapan mata Rink yang penuh hasrat tersebut
tertuju padanya. Caroline sadar ia belum menge-nakan apa-apa di balik baju
tidur, meskipun tubuhnya tertutup dari dada sampai ujung kaki. Dan yang paling
meresahkannya adalah mengetahui Rink menyadari hal itu juga.
Tatapan matanya yang tajam berhenti di dadanya, di pinggangnya, di
bawah pinggangnya. Seperti merespons perintah tanpa kata-kata, bagian-bagian
tubuh itu bangkit dan bereaksi. Dada Caroline menegang. Pangkal pahanya bagai
merekah. Caroline memaki-maki tubuhnya, menyumpahi diri, tetapi juga tak
berdaya menekan dorongan hasrat yang menggebu-gebu, mengaliri setiap simpul
saraf tubuhnya karena sorot mata keemasan itu.
Rink menggenggam segelas bourbon, lalu me-neguknya dengan penuh
kenikmatan. Ia betul-betul menikmati cairan minuman keras yang membakar
tenggorokan itu mengalir turun me-nuju perutnya. "Rupanya Daddy tetap
menyukai wiski mahal," komentar Rink. "Dan perempuan cantik. Kau
kelihatan sangat cantik di dalam kamar ini, Caroline, apalagi dengan sinar
lampu remang-remang yang menimpa rambutmu." Kembali Rink mengamati sekujur
tubuh Caroline lewat cermin, kemudian berbalik dan menjauh.
Rink melangkah ke arah kursi malas di pojok kamar dan merebahkan
diri di kursi itu. Tetapi rupanya kursi tersebut dirancang untuk tubuh
perempuan, bukan Rink. Ujung sepatu botnya menggantung. Dengan satu tangan
dipeganginya botol minuman keras yang diletakkannya di pe-rur, sementara
tangannya yang satu lagi diletak-kan di bawah kepala, sambil matanya tetap
memandangi Caroline bak burung rajawali yang mengincar mangsa. Caroline berdiri
resah di tempat yang sama dengan ketika Rink memasuki kamar.
"Ibu dan Daddy tidak pernah tidur bersama di kamar ini,"
kata Rink enteng, tetapi Caroline tidak tertipu. Tak pernah Rink mengatakan
se-suatu tanpa alasan. "Masih segar dalam ingatanku peristiwa hari itu,
ketika Daddy meminta ibuku tidak mempersoalkan keinginannya pindah ke kamar
tidurnya sendiri setelah Laura Jane lahir. Berjam-jam lamanya Ibu menangis.
Sejak itu Daddy tidak pernah tidur bersama Ibu lagi." Kembali Rink meneguk
wiskinya dan tertawa keras. "Kurasa Daddy tak pernah memaafkannya
gara-gara Laura Jane."
"Ia mengasihi Laura Jane," protes Caroline. "Ia
selalu berusaha melakukan yang terbaik buat Laura."
Kembali tawa Rink meledak, kali ini lebih keras lagi. "Oh ya?
Ia memang pandai melakukan hal-hal seperti itu. Melakukan hal yang dipikirnya
baik untuk seseorang."
Caroline memaksa dirinya bergerak. Ia melang-kah ke arah ranjang
lalu duduk di pinggirnya, mengencangkan tali pinggang baju tidurnya. "Jadi
masalah ini yang hendak kaubicarakan denganku?"
"Tentang suami-istri yang tidur seranjang?' tanya Rink,
sambil menaikkan salah satu alis matanya. "Atau tentang Laura Jane?"
Jelas Rink mencari gara-gara. Di mana kelem-butan laki-laki ini?
Kelembutan yang pernah ditunjukkan pria itu kepadanya ketika mereka berjumpa
sembunyi-sembunyi atau ketika mereka saling mencurahkan isi hati? Rink seperti
orang asing baginya, padahal dulu ia begitu akrab dengannya.
Kemeja Rink tidak dikancing, terbuka. Dada-nya kelihatan bergerak
naik-turun tiap kali ia menarik napas. Caroline masih ingat penampilan Rink
ketika ia pertama kali melihatnya, air sungai menitik turun di dadanya yang
bidang dan rambut hitamnya yang kusut. Perutnya masih keras dan rata sekarang,
tetap berotot. Sebaris rambut hitam membelah tubuh itu menjadi dua bagian yang
sempurna, sebelum akhirnya ter-tutup garis pinggang celana jinsnya. Di balik
celana jins yang ketat itu membayang kejantanan-nya.
Dengan gugup Caroline cepat-cepat mem-buang pandangan dari tubuh
Rink. "Mengapa kau ingin membicarakan masalah itu denganku? Aku tidak
ingin terlibat dalam pertengkaran antara kau dan ayahmu."
Rink merasa kata-kata Caroline lucu dan ia tertawa geli beberapa
saat, sambil tetap dengan asyik menghabiskan wiski. Kemudian ia bangkit dari
kursi malas dan berjalan menghampiri Caroline. Sinar lampu kamar yang
satu-satunya itu memantulkan bayangan hitam tubuh Rink. Ia menakutkan,
berbahaya, dan memikat. Caroline berusaha tidak menunjukkan perasaan takutnya
terhadap Rink. Bukan takut mem-bayangkan apa yang akan dilakukan Rink ter-hadap
dirinya, tetapi takut terhadap respons yang muncul dari dalam dirinya bila Rink
benar-benar melakukan sesuatu.
"Aku butuh mobil besok pagi. Aku menemui-mu untuk meminjam
mobil."
"Oh, boleh," sahut Caroline sambil menarik napas lega.
"Kuambilkan kuncinya." Caroline bangkit dari ranjang, berusaha sebisa
mungkin tidak bersinggungan dengan tubuh Rink ketika bangkit. Namun ketika ia
melewati Rink, sesaat pahanya menyentuh paha Rink dan ia merasakan ototnya
berkontraksi. Caroline cepat-cepat bergerak menjauh menuju lemari tempat ia
menyim-pan tas. Dengan jari-jari gemetar, Caroline men-cari-cari kunci
mobilnya, yang akhirnya ditemukannya dan langsung diletakkannya di telapak
tangan Rink. "Mau ke mana kau pagi-pagi?"
"Aku ingin menemui dokternya sebelum ber-temu Daddy. Aku akan
kembali menjelang siang untuk mengantarmu dan Laura Jane ke rumah sakit, bila
kau bersedia."
"Ya, boleh saja. Tetapi pagi-pagi ada urusan yang harus
kuselesaikan lebih dulu." "Urusan di pemintalan kapas?"
"Ya, aku harus memeriksa pembukuannya." "Ya, kudengar soal itu
dari Granger. Katanya, kau banyak membantu pekerjaan Daddy sebelum menikah
dengannya." Rink maju selangkah lebih dekat. Napasnya yang hangat dan
berbau bourbon mahal menerpa wajah Caroline.
"Granger berlebihan." Caroline berusaha memiringkan
tubuh, tetapi dengan sengaja Rink juga memiringkan tubuh. Yang terjadi, taktik
yang semula dilakukan untuk menghindari Rink malah membuat tubuh mereka lebih
rapat.
"Aku tidak yakin. Aku berani bertaruh kau sangat diperlukan
Daddy dalam banyak hal, bukan?"
Mata Caroline berkilat marah ketika melirik Rink. "Mengapa
kau menyindirku terus-menerus, Rink?"
"Karena aku selalu tergelitik untuk melihat reaksimu dengan
mengganggumu, itulah alasan-nya. Caroline, yang begitu muda, begitu manis,
begitu sederhana, begitu... polos." Kata-kata itu meluncur deras dari
bibir Rink bak air yang mengucur dari keran yang terbuka.
Caroline mengangkat tangan, tetapi Rink me-nangkap tangan itu dan
memelintirnya ke bela-kangnya, menarik tubuh Caroline mendekat ke tubuhnya.
Dada Caroline menempel di dada Rink yang bidang. Ibu jari kaki Caroline
ber-singgungan dengan ujung sepatu bot Rink. Wajah Rink hanya beberapa inci
dari wajahnya. Ketika ia berbicara, setiap kata yang meluncur dari bibirnya
diucapkan dengan penuh amarah.
"Pernah kubiarkan kau menamparku, tetapi bila kau berani
menamparku lagi, kau akan menyesali perbuatanmu."
"Apa yang akan kaulakukan? Balas menampar-ku?"
Rink tersenyum mengejek. "Oh, tidak akan. Bukan begitu caraku
membalasnya. Aku akan melakukan sesuatu yang sangat tidak kausukai." Rink
merapatkan tubuh Caroline ke tubuhnya yang bereaksi, membuat Caroline seketika
me-ngerti maksud ucapan Rink. Rink menundukkan kepalanya lebih dekat.
"Atau kau menyukainya, Caroline? Hmm?" Gesper ikat pinggang Rink
menyentuh pakaian tidur Caroline, menggores perutnya. "Di mata setiap
orang kau memang Mrs. Roscoe Lancaster. Tetapi bagiku kau tetap Caroline
Dawson. Gadis muda yang melintas hutan untuk bekerja di musim panas... sambil
perlahan-lahan membuatku gila."
Caroline menatap Rink. Sorot matanya menan-tang. Penuh amarah, bak
awan badai yang berembus dari Teluk yang membawa hujan, angin, dan petir.
Rambut Caroline yang tadi dipuji Rink tergerai dari wajahnya ke punggung.
"Jadi kau masih ingat, Rink. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah kau
masih punya ke-nangan akan hal itu."
Sesaat mata Rink membelalak, kemudian me-nyipit. Ia menatap wajah
Caroline dengan panas, lama berhenti di bibirnya, kemudian turun dari leher ke
buah dadanya, yang kini agak menyem-bul dari balik baju tidurnya, lalu kembali
ke atas lagi. Sorot matanya memancarkan per-golakan, pertanda terjadi
pergulatan di dalam diri Rink.
"Ya," jawab Rink kasar. "Ya, brengsek! Aku masih
mengingatnya."
Caroline dibebaskan begitu mendadak sehingga ia terhuyung dan
bersandar di meja riasnya. Ketika keseimbangan tubuhnya kembali, Rink melangkah
keluar dari kamar dengan sikap murka.
Sialan! Ia berharap ia tidak ingat semua kenangan manis itu.
Di kamarnya, Rink membuka kemeja, mengisi gelas dengan minuman
keras dari botol yang dicurinya di lemari minuman keras ayahnya, lalu
merebahkan diri di kursi malas yang selalu diletakkan di dekat jendela.
Diteguknya wiski itu, tetapi karena minuman itu sudah kehilangan rasa,
diletakkannya gelas tersebut dengan jengkel. Ia membungkuk, membuka sepatu bot,
lalu me-lemparkannya ke permadani sehingga menimbul-kan suara gedebuk perlahan.
Sambil bersandar, kepalanya di bantalan kursi yang empuk,
dibiarkannya pikirannya menerawang ke masa lalu, ke suatu musim panas ketika ia
berusaha kabur dari pemintalan kapas, pengawasan ayahnya, dan panas matahari
Mississipi yang menyengat. Ia pergi ke tepi sungai, tanpa pakaian selembar pun
terjun ke sungai yang airnya dingin. Ketika ia naik ke darat kembali, sewaktu
sedang mengeringkan tubuh dan memakai celana jins, ia melihat perempuan itu....
"Astaga!" teriak Rink. Jari-jarinya meraba-raba hendak
menutup ritsleting celana jins. "Sudah berapa lama kau di situ?" Rink
ingin tertawa melihat reaksinya. Kalau Rink hanya terkejut melihatnya, gadis
itu seperti lumpuh.
Rink tidak mengira gadis itu akan menjawab, tetapi kemudian dengan
tergagap ia berkata, "Aku... aku baru saja sampai di sini."
"Hmmm, baguslah, karena aku tadi berenang telanjang bulat.
Bila kau datang lebih cepat, kita berdua bisa malu."
Senyum Rink lebar dan penuh percaya diri, penuh keangkuhan. Meski
si gadis yang memakai kaus kaki pendek dan sepatu murahan itu masih terkejut
dan gemetar, ia berusaha membalas ter-senyum dengan malu-malu. "Kuharap
aku tidak mengganggumu," katanya dengan kesopanan yang, dalam situasi
seperti ini, membuat Rink geli.
"Tidak, aku sudah selesai. Udara panas sekali. Aku jadi ingin
berenang."
"Ya, udaranya memang panas. Karena itulah aku mengambil jalan
pintas ini. Di sini lebih teduh ketimbang di jalan raya."
Sejak awal Rink sudah tertarik pada gadis itu. Bukan hanya karena
wajahnya yang cantik, tetapi juga karena penampilannya yang berbeda. Roknya
yang terbuat bahan katun bersih dan licin, tetapi sudah ketinggalan zaman.
Blusnya juga terbuat dari bahan katun berwarna putih, menebarkan aroma sabun
cuci, bukan wewangian Youth Dew, yang sepertinya dipakai semua gadis masa itu.
Di balik blus gadis tersebut, Rink melihat garis-garis branya yang
putih, yang pastilah sangat tidak nyaman. Gadis-gadis umumnya memakai model
yang disebut push-up bra—bra untuk menaikkan payudara, yang bertujuan, Rink
yakin, membuat teman kencan mereka tergila-gila.
Ia mengalihkan pandangannya dari payudara si gadis, merasa malu
pada dirinya sendiri karena membuat analisis seperti yang dilakukannya
ter-hadap gadis-gadis yang dikenalnya. Ia hanya gadis kecil. Lima belas? Enam belas? Paling-paling. Ia
tampaknya takut sekali padanya.
Tetapi ya ampun, gadis itu cantik sekali. Kulitnya bersih; matanya
kelabu bagai kabut yang melayang rendah di rawa-rawa; tubuhnya indah, molek,
menunjukkan lekuk feminin. Ram-butnya mengilap, seperti kayu mahoni yang
di-pernis. Tiap kali angin meniup pepohonan di atas kepalanya, sinar matahari
menerpa rambut-nya seperti kilatan cahaya di rambut yang lebat itu.
"Kau mau ke mana?"
"Ke kota.
Aku kerja di toserba Woolworth."
Rink tidak pernah mengenal gadis yang harus bekerja pada musim
panas. Umumnya mereka menghabiskan musim panas dengan berjemur di dekat kolam
renang, milik pribadi atau milik umum, sampai bertemu seseorang yang mereka
kenal dan merencanakan pesta untuk malam harinya.
"Namaku Rink Lancaster."
Ia menatap Rink dengan sorot mata aneh. Rink mengira karena ia
telanjang bulat. Gadis itu berusaha menekan rasa ingin tahunya, tetapi matanya
terus berkelebat ke dada Rink, perutnya, dan ritsleting celana jinsnya yang
belum tertutup. Biasanya itu justru menaikkan rasa percaya diri Rink,
meyakinkannya bahwa dengan mudah gadis itu bisa ditaklukkannya. Ia menganggap
reaksi seperti itu sebagai pemberitahuan si gadis tertarik padanya dan bisa
diajak kencan. Tetapi sorot mata gadis tersebut yang demikian polos justru
menjengkelkan hatinya. Dengan tatapan matanya yang selalu tertuju ke ritsleting
celana-nya, Rink resah menyadari hasrat yang tak di-inginkannya makin menggebu
saat itu.
Untuk menunjukkan sikap santunnya, ia maju selangkah hendak
menyalaminya. Sesaat gadis itu terkejut, tetapi kemudian ia pun menyambut
tangan Rink dengan malu-malu. "Caroline Dawson," jawabnya dengan
suara gemetar, sambil menatap mata Rink.
Mereka berpandangan.
Waktu bergulir, serangga berderik di atas ke-pala mereka, pesawat
menderu di langit tinggi, air mengalir membasahi batu-batuan di tepi su-ngai
yang berlumut. Sesudah beberapa lama baru-lah keduanya bergerak dan melepaskan
tangan masing-masing.
"Dawson?'
Rink mengulang nama keluarga si gadis dan heran mendengar suaranya sendiri jadi
sama seperti sepuluh tahun yang lalu, sebelum terjadi "perubahan".
"Putri Pete Dawson?"
Gadis itu menunduk dan Rink melihat bahu-nya terkulai. Bodoh!
Mengapa ia mengajukan pertanyaan dengan nada tidak percaya seperti itu? Setiap
orang kenal siapa Pete Dawson. Se-panjang hari kerjanya main kartu, minta uang
pada orang bodoh yang kebetulan bertemu atau berbicara dengannya, sampai ia mendapat
uang cukup untuk membeli minuman yang bisa di-nikmatinya sampai keesokan hari.
"Ya," jawab gadis itu lembut. Kemudian, meski agak
gemetar, ia mengangkat kepala dengan sikap percaya diri yang membuat Rink lega
kembali, dan berkata, "Aku harus segera pergi, kalau tidak nanti aku
terlambat kerja."
"Aku senang berkenalan denganmu."
"Aku juga."
"Hati-hati berjalan di hutan." Gadis itu ter-tawa.
"Apa yang lucu?"
"Kau memperingatkanku agar berhati-hati, se-mentara kau
sendiri berenang di sungai." Gadis itu menunjuk sungai. "Mungkin saja
di sana ada ular berbisa, dan siapa yang tahu
ada makhluk-makhluk lain apa di sana.
Mengapa kau tidak berenang di kolam renang di kota saja?"
Rink mengangkat bahu. "Aku merasa kepanasan."
Ia kepanasan. Tuhan, ia merasa sangat ke-panasan. Ketika tertawa,
gadis itu menengadahkan kepalanya ke belakang, menampakkan lehernya yang putih,
mulus, dan begitu mengundang. Rambutnya mengilap menutupi leher dan bahu. Bau
sabun cuci dan tepung kanji mulai tercium lebih wangi di hidung Rink daripada
parfum mahal mana pun. Bau itu begitu membaur dengan aroma kulitnya yang segar.
Tawanya yang renyah dan tulus menyentuh hati Rink. Tawa itu mengelus bagian
hatinya yang sakit luar biasa.
Ya, Rink kepanasan. Terbakar karena cuaca yang panas. "Pukul
berapa kau pulang kerja?" Rink sama terkejutnya seperti Caroline ketika
mendengar pertanyaan yang mendadak meluncur keluar dari mulutnya tersebut.
"Pukul sembilan." Dengan hati-hati Caroline mulai
melangkah mundur.
"Malam hari? Kau pulang sendirian malam hari?'
"Ya. Tetapi aku tidak lewat hutan. Aku hanya lewat di sini
pada siang hari."
Sejenak Rink membayangkannya. Gadis ini berbeda dengan gadis-gadis
yang pernah dikenal-nya, di kota
Winstonville ini atau di Ol'Miss.
"Aku akan terlambat kerja," ujar Caroline dan makin
menjauhkan diri, namun Rink me-rasakan keengganan dalam diri gadis itu.
"Ya, tentu. Jangan sampai terlambat. Sampai nanti,
Caroline."
"Sampai jumpa, Rink."
Banyak yang tak terucapkan dengan kata-kata pada waktu mereka
berpisah. Rink ingin mereka bertemu lagi. Caroline tak pernah membayangkan
mereka bisa berjumpa lagi.
Rink masuk ke mobil convertible-nya. tanpa lewat pintu. Ia
langsung melaju pulang ke ru-mahnya, The Retreat, dengan kecepatan tinggi dan
masuk ke kamarnya, naik dua anak tangga sekali langkah, dan....
Kini, sebagaimana sebelumnya, bayangan Caroline memenuhi benaknya.
Rink ingat memasuki kamar yang sama di suatu sore dua belas tahun yang lalu.
Dilemparkannya pakaiannya ke lantai tetapi ternyata pakaian itu jatuh ke kursi
yang sama. Ia duduk santai di kursi yang sama saat ini, dengan bayangan
perempuan yang sama memenuhi benaknya. Caroline masih menyimpan misteri, masih
sulit dipabami, menghantui dan menguasai-nya.
Dan kini, seperti waktu itu, ia sadar, upaya apa pun yang ia
lakukan tak mungkin bisa mengobati luka hatinya, tak bisa meredam gejo-lak
hasratnya yang membara.
Bab 3
HARI masih pagi ketika ia terbangun. Caroline ingin tidur lebih
lama, tidak ingin bangun, tak ingin menghadapi rangkaian krisis berupa penyakit
yang diderita Roscoe dan bertemu Rink yang kini kembali tinggal di
Winstonville.
Ia mendengar suara pintu depan di lantai bawah dibuka dan ditutup
kembali dengan per-lahan sekali. Disibakkannya penutup ranjangnya, lalu
berjalan menyusuri lorong yang menuju teras rumah di lantai dua. Sinar matahari
belum lagi menerangi pucuk pepohonan, namun cahaya-nya yang berwarna jingga
sudah mewarnai langit di ufuk timur. Sebuah bintang dan bulan separo tampak
jelas di langit yang bersih. Kabut ber-gulung naik, meninggalkan permukaan
rumput yang berembun. Lagi-lagi udara akan lembap hari ini.
Tepat di bawah lantai ia berdiri, Caroline melihat Rink memasuki
serambi. Rink tampak terpaku di anak tangga paling bawah dan melempar pandangan
ke sekeliling rumah, yang Caroline tahu pasti tempat yang sangat disayangi
Rink. Tempat yang sangat berarti buat Rink, sepenting tarikan napasnya.
Caroline merasa iba, membayangkan Rink, yang memaksakan diri ber-tahun-tahun
tinggal jauh dari rumah yang sangat disayanginya.
Dengan langkah pelan Rink menuju mobil yang diparkir di depan
rumah. Ia mengenakan celana jins dan mantel bergaya sport, gaya ber-pakaian yang terlalu mewah untuk
koboi pekerja, tetapi cocok buat Rink. Celana jinsnya belel modis, dikanji dan
disetrika licin. Caroline terus mengamati Rink yang merogoh saku depan,
mencari-cari kunci mobil.
Rink membuka pintu mobil lebar-lebar. Saat itulah tanpa disengaja
ia melihat Caroline yang memandanginya dari teras rumah di lantai dua. Rink
menopangkan tangan pada atap mobil, balas menatap Caroline.
Caroline tetap berdiri terpaku, tidak berbicara, tidak pula
memberi salam pada Rink, hanya matanya yang bicara. Mereka saling menatap.
Saiing memandang. Beberapa saat lamanya, di pagi hari yang berlangit keemasan,
mereka saling menatap. Di keremangan sinar matahari pagi sosok mereka seperti
tidak nyata, di luar jang-kauan waktu. Dalam keakraban yang hening itu mereka
melepaskan semua pertahanan diri. Keduanya hanyut mengikuti suara hati mereka.
Tak ada apa pun lagi di dunia ini yang mampu menyelamatkan keduanya.
Sampai akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Rink memasuk
mobil Lincoln-nya dan melaju pergi. Dengan perasaan sedih Caroline kembali ke
kamar dan berganti pakaian. Dipandanginya dirinya di depan cermin,
ber-tanya-tanya, "Bagaimana bisa terjadi seperti ini?"
Satu-satunya pria yang pernah dicintainya, atau pria yang hampir
pernah dicintainya, hanyalah Rink Lancaster. Sesaat mereka menikmati sesuatu;
yang sangat istimewa dan langka. Paling tidak, begitulah buat Caroline.
Dibiarkannya dirinya berkhayal mendapatkan sesuatu yang kecil ke-mungkinannya
bisa diraihnya. Ia tolol sekali waktu itu, begitu memercayai cerita Rink di
musim panas itu. Padahal kata-kata Rink tidak punya arti apa-apa. Dirinya
hanyalah sekadar| mainan baru buat Rink.
Namun nasib yang tak bisa ditebak menentu-kan lain—dia menikah
dengan ayah Rink. Ayah Rinkl Ketika Roscoe melamarnya untuk menjadi istri,
lamaran itu bak jalan untuk mewujudkan; mimpi-mimpinya. Untuk mendapatkan
kehor-matan, uang. Orang-orang yang selama ini me-rendahkannya, menghinanya
selama hidupnya, harus menghormatinya.
Rink sudah pergi, takkan pernah muncul kem-bali. Mengapa tak
pernah terlintas dalam benak-nya ada kemungkinan Rink akan kembali? Bagaimana
perasaannya bila Rink benar-benar kembali? Benarkah selama ini ia bersikap
jujur terhadap dirinya? Apakah ia menikah dengan Roscoe ka-rena ingin
membahagiakan Roscoe, membantu mengurus bisnisnya, menjadi teman Laura Jane,
bukan karena ingin membuat Rink cemburu dan sedih sebab laki-laki itu
meninggalkan diri-nya seenaknya? Tidakkah ini hanya pembalasan untuk perasaan
sakit hati yang harus ditanggung-nya ketika Rink meninggalkannya? Tidakkah
diam-diam ia berharap Rink mendengar kabar pernikahannya, teringat peristiwa di
musim panas dua belas tahun yang lalu, menyulut murka dalam hati Rink?
Caroline tersenyum getir saat melihat pantulan dirinya di cermdn.
"Ia hanya geli, Caroline. Ia cuma geli dan jijik."
Haney sudah ada di dapur ketika Caroline turun beberapa saat
kemudian untuk minum kopi. "Selamat pagi."
"Pagi sekali kau bangun," komentar Haney dari balik
punggungnya.
"Aku harus membayar gaji karyawan, ingin kuselesaikan
secepatnya supaya bisa beristirahat." Caroline menyeruput kopi. "Kau
juga bangun lebih pagi daripada biasanya."
"Aku ingin menyiapkan sarapan istimewa un-tuk Rink."
"Ia sudah pergi, Haney."
Haney berbalik dan menatap Caroline, seakan memintanya menegaskan
kembali apa yang di-dengarnya. "Sudah pergi?"
"Ya, kira-kira sejam yang lalu."
Haney menggelengkan kepala, sambil berdecak. "Tidak teratur
makannya dia itu. Aku sibuk membuat sarapan, ia malah keluar lebih cepat,
bahkan sebelum aku sempat menghidangkan-nya.
Caroline meletakkan tangannya di pundak Haney, menghiburnya.
"Mengapa tidak diberikan kepada Laura Jane? Minta Laura memanggil Steve ke
sini untuk menikmatinya bersamanya. Aku yakin mereka akan senang."
"Baiklah," sahutnya, sambil menggerutu. "Te-tapi
suasana tetap lain kalau tanpa Rink. Tidak ada yang sama lagi di rumah ini
sejak Rink menikah dengan perempuan itu dan meninggal-kan kota ini."
Haney betul dalam hal itu, batin Caroline sambil berjalan ke pintu
belakang menuju kamar kerja Roscoe. Dengan perasaan sakit ia menge-nang
peristiwa yang terjadi hari itu, hari Rink tidak muncul di tempat pertemuan
mereka. Hari itu, di tempat kerjanya, dengan perasaan hancur Caroline mendengar
kabar tentang Rink Lancaster yang akan menikah dengan Marilee George, gadis
dari keluarga terkemuka di kota Winstonville. Dunia Caroline pun berubah.
Caroline memeriksa pembukuan cepat-cepat tanpa berpikir. Waktu ia
menelepon ke pabrik pemintalan kapas, mandor jaga pagi melaporkan segalanya
berjalan lancar.
"Tetapi ada satu mesin yang tidak beres. Na-mun Anda tak
perlu mencemaskannya pada saat seperti sekarang ini."
"Aku yakin kau mampu mengatasinya, seperti biasa, Barnes.
Selama Roscoe masih hidup, tang-gung jawab tetap ada pada Roscoe, aku akan
memberikan laporan kepadanya."
"Baik, Ma'am," jawab mandor itu sebelum menutup telepon.
Caroline tahu beberapa karyawan laki-laki di pabrik tidak suka
menerima perintah dari perem-puan, terutama perintah darinya, putri Pete
Dawson. Namun, andai pun perkiraannya itu benar, mereka tidak akan pernah
berani meng-ungkapkan pendapat mereka itu. Mereka sangat takut pada Roscoe.
Tetapi apa yang akan terjadi bila Roscoe tiada?
"Ada masalah?"
Caroline seketika mendongak dan melihat Rink di ambang pintu.
Caroline sadar alis mata-nya berkerut karena dilanda perasaan cemas, tapi ia
berusaha menenangkan diri. "Masalah kecil. Kau kan paham keadaan di pabrik
pemin-talan kapas ini."
"Sebetulnya, aku tidak tahu." Rink menjawab sambil
melangkah masuk. Jaket sport disampirkan di pundak, ditahan jari telunjuknya.
Tiga kancing pertama kemejanya dibiarkan terbuka, memperlihatkan lehernya yang
kecokelatan dan bulu dadanya yang hitam lebat. "Aku meninggalkan kota
kelahiranku ini sebelum banyak terlibat dengan urusan di pemintalan." Kini
Rink berdiri di dekat mejanya. Tubuhnya dicondongkan ke depan, sampai wajahnya
sejajar dengan wajah Caroline. "Bagaimana kalau kauberitahu aku, boss
ladyr
Tersulut perasaan marah, Caroline langsung bangkit, menyebabkan
kursi berodanya meluncur ke belakang. Mereka berhadapan seperti dua petinju
yang siap bertanding di arena, menanti-kan bunyi bel untuk memulai
pertandingan.
"Rink, Haney memintaku datang ke sini untuk memberitahumu. Ia
menyiapkan sarapan untuk-mu dan ia ingin kau memakannya." Dengan riang
Laura Jane memasuki ruangan dan me-meluk Rink, kakak laki-lakinya.
"Selamat pagi, Caroline. Aku juga diminta membawakan sarapan untukmu.
Haney berpesan kau tidak boleh menolaknya."
Mereka tidak jadi berdebat lagi, tetapi Rink tidak membiarkan
Caroline lolos begitu saja. Ia menjulurkan tangan ke hadapan Caroline.
"Caroline." Caroline ridak punya pilihan lain, kecuali membiarkan
tangannya digenggam tangan Rink dan membiarkan dirinya dituntun ke meja makan.
Namun Rink tidak melepaskan geng-gaman tangannya meski mereka sudah berada di
ruang makan. Kalau Rink menggenggam tangan Laura Jane, itu tidak jadi masalah.
Tetapi bila telapak tangan Rink bersentuhan dengan telapak tangannya, jari-jarinya
mencengkeram kuat jemarinya seakan ia miliknya, bulu roma Caroline jadi
bergidik.
Kendati makanan yang dihidangkan Haney sangat istimewa, Caroline
tidak dapat menikmati-nya. Rink kelihatan tidak terlalu senang melihat Steve
duduk di samping Laura Jane. Steve ber-kali-kali melemparkan pandang resah ke
sekeliling ruangan, seperti mengisyaratkan ingin segera di-izinkan meninggalkan
ruang makan. Sikap per-musuhan antara Rink dan Caroline demikian kentara,
meskipun mereka tetap bersikap sopan. Haney tidak habis mengerti, ia malah
tersinggung karena ketegangan di antara kedua orang itu menghancurkan segala
upayanya untuk menjadi-kan saat itu sebagai hari istimewa menyambut kepulangan
kembali Rink ke rumah.
"Mengapa semua marah-marah?" tanya Laura Jane tiba-tiba.
Semua mata tertuju padanya, terkesima. Hanya Laura Jane yang
kelihatan gembira, menikmati kehadiran orang yang dikasihinya. Tetapi
komen-tarnya memang benar, dan ia bisa menangkap ketegangan yang terjadi di
meja makan.
Caroline-lah akhirnya yang membuka suara, "Kami semua
mengkhawatirkan kondisi Roscoe," katanya lembut, sambil mengulurkan
tangan, mengelus tangan Laura Jane.
"Tetapi Rink sudah di sini. Juga Steve." Laura menatap
Steve dengan mesra. "Kita harus ber-gembira."
Laura Jane membuat yang lain merasa malu pada diri mereka sendiri.
Rink tidak lagi menatap Steve dengan pandangan curiga atau kelihatan tegang
setiap kali mendapati Steve menatap Laura Jane. Ia dan Caroline berhenti saling
menatap penuh permusuhan; keduanya bahkan mengobrol tentang orang-orang yang
dikenal Rink beberapa tahun yang lalu. Caroline memberitahu Rink siapa saja
yang menikah, siapa yang bercerai, siapa yang makin kaya, dan siapa yang
menjadi miskin.
Begitu selesai makan, Steve berdiri, mengucap-kan terima kasih
pada Haney, kemudian langsung berjalan ke arah dapur. "Tunggu sebentar,
Steve," panggil Laura Jane. "Aku ikut, aku ingin me-nengok anak kuda
itu."
"Kita akan pergi ke rumah sakir, Laura Jane," kata Rink
singkat.
"Tetapi aku ingin melihat anak kuda itu. Aku sudah janji pada
Steve akan menengoknya di kandang pagi ini."
Steve langsung menangkap maksud Rink. "Laura Jane, ayahmu
akan kecewa bila kau tidak menjenguknya. Anak kuda itu tidak akan pergi
kemana-mana," canda Steve. "Kau bisa men-jenguknya kapan saja kau
mau."
"Baiklah, Steve," Laura menyetujui dengan suara lirih.
"Aku akan menemuimu begitu kem-bali."
Steve mengangguk, sekali lagi berterima kasih pada Haney dan
cepat-cepat berlalu. Ia tidak menatap Rink ketika meninggalkan ruangan.
Caroline buru-buru bangkit. "Aku akan ber-siap-siap, Rink.
Laura Jane, mau dandan dulu sebelum pergi?"
"Ya, kurasa."
Mereka turun ke lantai bawah kembali be-berapa menit kemudian.
Rink sudah menunggu mereka di teras. Haney berdiri di sampingnya, memegang vas
berisi bunga-bunga mawar yang baru dipotong. "Haney akan menyusul dengan
mobilnya, karena ia ingin membawa bunga ma-war untuk Daddy. Dan ia ingin pulang
dari rumah sakit lebih dulu. Laura Jane, kau ikut mobil Haney saja, pegangi vas
bunganya supaya airnya tidak tumpah."
"Biar aku saja yang memeganginya." Caroline buru-buru
menawarkan diri. Tatapan mata Rink yang tajam padanya mengisyaratkan sikap
tidak setuju.
"Aku ingin bicara denganmu selama perjalanan." Tanpa
bisa dibantah, Rink mengantar Caroline dengan mobil Lincoln-nya, sementara
Haney me-laju dengan mobil station wagon, yang sebenarnya milik The Retreat
tetapi dipercayakan kepadanya.
"Apakah kau bertemu dokternya tadi pagi?" tanya
Caroline, memecah keheningan.
"Ya. Ia menceritakan apa yang disampaikannya padamu dan
Granger."
"Apakah... apakah dokter memberitahukan ka-pan...
"Bisa terjadi kapan saja."
Mereka melaju di jalan tol, menuju pusat kota, sebelum Rink
menyinggung hal lain, "Siapa Steve?"
"Steve Bishop." Caroline langsung bersikap defensif. Ia
yakin tahu apa yang bakal terjadi dan tidak ingin hal itu terjadi.
Rink mencibir kesal. "Bisa memberi penjelasan lebih mendetail
lagi?"
"Ia veteran Perang Vietnam."
"Karena itukah jalannya pincang? Cedera se-waktu
perang?"
"Ia kehilangan kaki kirinya dari lutut ke ba-wah."
Caroline mengatakan hal itu sambil me-malingkan wajah ke arah Rink. Rink terus
meng-arahkan pandangan ke jalan, namun Caroline melihat tangan Rink
mencengkeram kemudi dan i otot-otot tangannya menonjol. Air mukanya te- f gang,
menyiratkan kekerasan hati, tak tergoyah-kan. Dan keangkuhan. Keangkuhan vang
ber-lebihan.
Caroline tahu Rink ingin tidak menyukai Steve. Mengetahui Steve
cacat seumur hidup akan membuatnya sulit melakukannya. "Ketika I melamar
pekerjaan, ia bersikap getir dan agak kasar. Tetapi aku yakin itu cuma cara
yang digunakannya untuk mempertahankan diri meng-hadapi penolakan. Sebetulnya
Steve pribadi yang sangat berhati-hati, pekerja keras, dan jujur."
"Aku tidak suka kedekatannya dengan Laura."
"Mengapa?"
"Kau masih perlu bertanya?" tanya Rink, sam-bil
memalingkan kepala. "Tidak sehat dan ber-bahaya, itu sebabnya. Laura Jane
tidak punya urusan untuk berkeliaran di dekat laki-laki lajang sepanjang
waktu."
"Aku tidak melihat salahnya. Laura Jane juga lajang."
"Dan masih lugu soal seks. Sangat lugu. Aku tidak yakin Laura
Jane paham perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan mengapa ada
per-bedaan."
"Ia pasti tahu!"
"Baiklah, kalau begitu makin kuat alasan buat Laura Jane
untuk tidak perlu sering bersama Steve. Karena aku yakin Steve mengerti
per-bedaan itu."
"Kurasa Steve baik terhadap Laura. Ia sangat baik hati dan
penyabar. Ia memang pernah terluka, bukan hanya secara fisik. Steve tahu
bagaimafia rasanya menjadi orang yang terbuang dan merasa ditolak seperti yang
dirasakan Laura Jane selama ini."
"Bagaimana bila ia memanfaatkan rasa suka Laura? Secara
seksual...."
"la tidak akan melakukan hal seperti itu."
Rink mendengus. "Pasti begitu. Ia kan laki-laki dan Laura
Jane perempuan cantik, sementara banyak kesempatan bagi mereka untuk hal
itu."
"Sepertinya kau tahu banyak."
Kata-kata tajam itu meluncur keluar dari bibir -Caroline tanpa
bisa ditahannya. Rink mengerem mobil di halaman parkir rumah sakit dengan
mendadak, lalu berbalik menghadap ke arah Caroline. Air mukanya menunjukkan
kemurkaan, seperti juga Caroline. Caroline sudah memulai, jadi sekarang tak ada
gunanya bertindak setengah-setengah.
"Kau jelas sangat paham soal memanfaatkan gadis lugu,
membohonginya, membuat janji-janji yang tidak akan pernah kautepati."
"Maksudmu soal janji di musim panas itu?"
"Ya! Aku heran, bisa-bisanya kau menjalin hubungan denganku
tapi menghamili Marilee. Kau pasti kehabisan tenaga. Atau kauanggap aku hanya
sebagai pemanasan sebelum menikmati hal yang lebih menyenangkan?"
Rink membiarkan Caroline bicara panjang-lebar sebelum membuka
pintu mobil dan me-nutupnya kembali keras-keras. Saat itulah Caroline baru
menyadari Haney dan Laura JaMe sudah berdiri menunggu di pintu masuk rumah
sakit dan memandangi mereka. Caroline merasakan jari-jemarinya dingin ketika ia
mengepalkannya, tetapi ia mencoba tetap bersikap tenang ketika Rink membukakan
pintu mobil dan membantunya keluar. Ia berusaha menunjukkan sikap tenang saat
mereka bersama-sama memasuki lobi rumah sakit lalu menaiki lift.
Perawat yang bertugas di lantai kamar Roscoe memberitahu mereka
boleh masuk sekaligus asal tidak terlalu lama. "Ia tidak bisa tidur.
Ke-sakitan," kata perawat itu kepada mereka dengan sedih.
"Mungkin sebaiknya aku masuk lebih dulu dan memberitahu
Roscoe kalian datang men-jenguknya," kata Caroline. Tak ada yang
ke-beratan. Rink bersikap dingin dan menjauhkan diri. Haney, tidak seperti
biasanya, berdiam diri. Laura Jane membelalak dan tampak ingin kabur.
Caroline mendorong pintu kamar rumah sakit yang berat dan
melangkah memasuki kamar. Rumah sakit memberikan kamar yang paling besar dan
paling mahal. Karangan bunga ber-deret-deret di sepanjang kusen jendela dan di
meja teve. Caroline tidak suka mengakuinya, tapi Roscoe memang tidak disukai
orang-orang yang pernah berurusan dengannya. Tetapi banyak yang menghormati
atau takut padanya, terbukti dari tumpukan kartu ucapan cepat sembuh dan
deretan %arangan bunga yang dikirim untuk-nya.
Roscoe tidak tampak menakutkan sekarang ketika ia membuka mata dan
melihat kedatangan Caroline. Kulitnya abu-abu kekuningan, pucat seperti mayat.
Lingkaran hitam tampak di seputar matanya. Bibirnya biru. Tetapi matanya tetap
tajam dan berbinar-binar sebagaimana biasanya. "Selamat pagi."
Caroline membungkukkan ba-dan ke arah Rocoe, menggenggam tangan Roscoe dan
mencium keningnya. "Kata perawat kau tidak tenang sepanjang malam. Sama
sekali tidak bisa istirahat?"
"Tak usah mengatur-ngatur aku, Caroline." Roscoe menarik
tangannya. "Aku akan segera pergi ke alam keabadian untuk
beristirahat." Roscoe tertawa dengan susah payah. "Atau untuk
dibakar, aku yakin demikian. Kau sudah menyelesaikan semua pembayaran
gaji?"
"Ya," jawab Caroline, sambil melangkah mundur dan
menerima penolakan Roscoe atas per-hatian yang diberikannya dengan penuh
penger-tian. Roscoe sakit parah. Bisa dipahami kalau ada sikapnya yang tidak
menyenangkan. "Pagi ini. Aku akan mengantarkan ceknya ke pemintalan petang
nanti."
"Bagus. Aku tidak ingin mereka mengira aku sudah mati."
Roscoe meletakkan salah satu tangannya di perut dan meringis kesakitan, sambil
menyumpah-nyumpah.
Ketika rasa sakit Roscoe mereda, Cardline ber-kata lembut,
"Kau bersedia menerima tamu lain?"
"Siapa?"
"Laura Jane dan Haney."
"Haney! Perempuan munafik. Ia sangat mem-benciku sejak
pertama kali mengenalku. Ia mengira aku menikahi Marlena karena uangnya dan
ingin memiliki The Retreat. Ia menyalahkan aku sebagai orang yang menyebabkan
Rink kabur dari rumah. Ia menimpakan kesalahan padaku atas setiap kejadian yang
tidak beres dalam keluarga ini."
Caroline pura-pura menentang Roscoe. "Mengapa kau tidak memecatnya
beberapa tahun yang lalu?"
Roscoe tertawa keras-keras dan baru berhenti ketika rasa sakit
kembali menyerangnya. "Karena aku suka bertengkar dengannya. Ia
mempertajam otakku. Sekarang ia menjengukku untuk menge-jekku yang terkapar di
ranjang ini. Ha!" Caroline pernah menyaksikan sikap Roscoe yang seperti
ini, tetapi ia tidak pernah memedulikan-nya dan membiarkannya sampai semua
berlalu. Caroline menyesali Roscoe yang memilih bersikap seperti itu selama
hari-hari terakhir mereka ber-sama. "Sudahlah, Roscoe. Tak usah
marah-marah: Haney memetik bunga mawar dari taman untuk-mu."
Roscoe mendengus menyetujui bertemu Haney, pengurus rumah
tangganya. "Laura Jane tidak perlu datang ke sini. Tempat ini pasti sangat
menakutkan anak bodoh itu. Apakah ia tahu aku tidak akan pulang ke rumah
lagi?"
Caroline membuang pandang, menghindari ta-tapan mata Roscoe yang
tajam menembus. "Ya. Aku memberitahu dia kemarin."
"Apa katanya?" :
"Ia bilang kau akan pergi ke surga dan bersama-sama
Marlena."
Roscoe tertawa sampai sakit kembali menye-rangnya. "Hmmm,
hanya orang tolol yang berpikir demikian."
Kata-kata yang diucapkan Roscoe sungguh menyinggung perasaan
Caroline, tetapi ia berusaha tetap tenang. Hampir tak pernah ia mendebat Roscoe
tentang apa pun, bahkan termasuk cara Roscoe menyelesaikan masalah. "Boleh
ku ajak mereka masuk?"
"Ya, ya," jawab Roscoe, sambil melambaikan tangan dengan
gerakan lemah. "Lebih baik kita. segera menyelesaikannya."
"Ada seorang lagi, Roscoe."
Suara Caroline yang tenang membuat mata Roscoe kembali menatapnya
nanar. Roscoe me-mandang Caroline dengan tatapan mata tajam,, menyelidik,
membuat Caroline merasa tidak enak. "Rink? Rink yang datang?"
Caroline mengangguk. "Begitu Granger me-. neleponnya." ·
"Bagus, bagus, aku ingin berjumpa putraku, untuk menyampaikan
beberapa hal padanya se-belum ajalku tiba."
Hati Caroline dipenuhi perasaan gembira. Ini-lah saat bagi kedua
laki-laki keras kepala itu untuk menyelesaikan pertengkaran di antara me-reka.
Cepat-cepat Caroline berjalan ke pintu; tidak sempat menangkap sorot mata
dingin dan licik yang terpancar dari mata Roscoe ketika melihat Caroline
melangkah keluar dari kamar-nya.
Laura Jane yang pertama kali masuk ke kamar. Ia lari menghambur ke
ranjang dan melingkarkan tangan di leher ayahnya, memeluknya erat-erat.
"Aku rindu Daddy pulang ke rumah," katanya. "Kita punya seekor
anak kuda. Cantik sekali."
"Hmmm, baguslah, Laura Jane," jawab Roscoe, lalu dengan
lembut mendorong badan Laura Jane menjauh darinya. Caroline mengamati,
ber-harap sekali saat itu Roscoe membalas luapan sayang spontan yang
diperlihatkan putrinya kepadanya. "Memetik bunga mawar, kulihat,"
Roscoe menggumam dengan nada marah sambil melirik pengurus rumah tangganya
dengan alis berkerut.
Haney kerap jadi sasaran kemarahan Roscoe selama bertahun-tahun.
Ia tidak akan termakan kata-kata Roscoe sekarang. "Ya. Ini hanya se-bagian
dari mawar yang ada. Yang lainnya di-letakkan di ruang makan."
Roscoe mengagumi keberanian Haney. Sudah tiga puluh tahun mereka
perang dingin, dan Roscoe menganggap Haney sebagai lawan yang seimbang baginya.
"Persetan dengan bunga-bunga itu. Kau tidak bawa makanan untukku?"
"Kau tahu, kau tidak boleh menyantap ma-kanan yang bukan
berasal dari rumah sakit."
"Apa bedanya?" teriak Roscoe. "Hah? Coba
jawab."
Roscoe menatap perempuan-perempuan itu se-orang demi seorang
dengan tatapan marah, baru kemudian memalingkan kepala ke arah putranya dengan
sorot mata berapi-api. Beberapa saat kedua pria itu saling menatap. Tak ada
yang bergerak. Akhirnya dada Roscoe bergerak per-lahan, memperdengarkan suara
tawa rendah, de-ngan nada yang agak parau. "Masih marah padaku,
Rink?"
"Aku sudah melupakan kemarahan itu beberapa tahun yang lalu,
Sir."
"Itukah sebabnya kau pulang kembali? Berdamai dengan orang
tua ini sebelum ia meninggal. Atau ingin menghadiri pembacaan surat
wasiatnya?"
"Aku tidak punya kepentingan dengan surat wasiat itu."
Dengan bijaksana Haney maju selangkah. Ia kbawatir pertemuan ini
berubah menjadi tidak menyenangkan. "Aku akan mengajak Laura Jane pulang
sekarang. Laura Jane, cium Daddy, ayo kita pulang." Gadis itu dengan patuh
melakukan apa yang diperintahkan Haney.
Roscoe tidak memedulikan kepergian mereb. Matanya tetap tertuju
pada putranya. Caroline dibiarkan sendirian bersama dua generasi Lancaster yang
hidup terpisah selama bertahun-tahun itu.
"Kau tampak tampan, Rink," kata Roscoe menganalisis.
"Keras dan licik juga. Kelicikanmu tidak kelihatan di foto-foto penuh
senyum yang muncul di surat kabar, tetapi aku melihatnya."
"Aku punya guru yang hebat." Tawa yang sama, tawa yang penuh
kelicikan, kembali menggema di dalam ruangan. "Kau benar sekali, sonny,
kau memang punya guru yang hebat. Satu-satunya orang yang tahu cara bertahan
hidup di dunia ini. Bersikap licik ter-hadap setiap orang dan tak seorang pun
bisa mengalahkanmu." Roscoe memberi isyarat dengan sikap tidak sabar,
"Kalian berdua, duduk."
"Aku lebih suka berdiri, terima kasih," jawab Rink.
Caroline duduk di bangku yang tersedia. Tak pernah ia melihat air muka Roscoe
semasam itu. Pantas saja Rink terpaksa meninggalkan ru-mah. Ia tahu persaingan
di antara mereka, tetapi tak terbayangkan situasinya seperti ini.
"Dari berita-berita yang kubaca, perusahaan penerbanganmu
membuatmu kaya raya."
"Rekanku dan aku sejak semula melihat pe-luang untuk Air
Dbcie. Sampai saat ini kami memang sudah melampaui target."
"Kau punya filosofi bagus. Mengangkut pe-numpang, menurunkan
penumpang, tarif rendah, pesawat tak pernah berhenti terbang. Kau meraup untung
sementara penerbangan lain tak sanggup bertahan di bisnis penerbangan."
Andaipun Rink terkejut mendengar ternyata ayahnya mengikuti kesuksesan
perusahan pener-bangannya, ia tidak memperlihatkannya. "Seperti yang
kukatakan, kami senang dengan kesuksesan ltu.
Perawat masuk ruangan dengan membawa baki berisi jarum suntik.
"Saya ingin menyuntikkan obat penghilang rasa sakit, Mr. Lancaster."
"Suntikkan saja jarum itu ke bokongmu sen-diri, jangan ganggu
bokongku," teriak Roscoe pada si perawat.
"Roscoe," ujar Caroline, terkejut dengan ke-kasarannya.
"Dokter yang memerintahkannya, Mr. Lancaster," jawab
perawat itu tegas.
"Aku tak peduli omong kosong dokter. Ini hidupku, hanya ini
yang kumiliki, dan aku tidak ingin mendapat suntikan penghilang rasa sakit. Aku
ingin merasakan segalanya. Mengerti? Sekarang, cepat keluar dari sini."
Si perawat mengatupkan bibir, menunjukkan sikap tidak setuju,
tetapi ia keluar juga dari kamar.
"Roscoe, ia hanya melakukan...."
"Tak usah mengatur-atur aku, Caroline!" Tak pernah
Roscoe bicara dengan nada seperti itu pada Caroline sebelumnya. Caroline segera
mun-dur, seperti habis. ditampar. Ia diam, mengatup-kan bibir. "Jika yang
kudapat darimu hanyalah perasaan iba yang menyebalkan, kau tak usah datang
lagi."
Sambil menarik napas panjang, Caroline me-nyambar tas lalu
meninggalkan kamar dengan sikap penuh wibawa. Begitu pintu kamar tertutup
kembali, Rink berbalik ke arah ayahnya.
"Kau memang manusia brengsek." Mata Rink yang keemasan
tampak berapi-api. Setiap otot di tubuhnya yang atletis menegang karena
me-nahan marah. "Kau tidak berhak bicara padanya seperti itu, aku tak peduli
betapa parah sakitmu."
Roscoe tertawa geli, suara tawanya seperti tawa iblis, sejahat
ekspresi yang terpancar di wajahnya. "Aku punya hak. Dia istriku.
Ingat?"
Rink mengepalkan tinjunya di paha. Ia tidak tahan untuk tidak
mendengus marah sebelum meninggalkan kamar itu.
Mula-mula Rink tidak melihat Caroline. Terapi kemudian ia melihat
Caroline di ujung lorong. Ia tersandar di dinding, memandang jauh ke luar
jendela. Rink mendekatinya dari belakang. Ia mengangkat tangan hendak
menyentuhnya, sejenak berhenti untuk mempertimbangkan tin-dakannya, tetapi
kemudian berpikir, Persetan, lalu ia pun meletakkan tangannya di pundak
Caroline. Serta merta Caroline bereaksi, diam terpaku.
"Kau tidak apa-apa?"
Oh, Tuhan, batin Caroline. Mengapa ia mengajukan pertanyaan itu,
dengan suara yang khas tersebut? Nada bertanyanya, pertanyaan yang diajukan
Rink persis seperti yang pernah diajukannya pada suatu waktu dulu. Kata-kata
yang sama, kalimat yang sama, kepedulian yang me- ' nyentuh perasaan, dengan
getar suara parau yang sama pula. l
Perlahan Caroline menoleh sedikit dan me-mandang Rink dari balik
pundak. Matanya ber-kaca-kaca. Bisa jadi air matanya karena peng-hinaan yang
dilontarkan suaminya. Namun se-sungguhnya bukan karena alasan itu. Air mata
Caroline air mata penuh kenangan. Caroline menatap mata Rink, terlambung ke
kenangan lama, ke masa dulu, ke malam pertama itu....
Sinar lampu mobil menyorot di belakangnya; Caroline mempercepat
langkah. Ia sebenarnya tidak suka berjalan kaki sendirian ketika pulang.
Memang, ia bisa menunggu ayahnya, tetapi siapa pun tahu ia tak bisa dipastikan
kapan pulang. Selain itu, dalam kondisinya sekarang, ayahnya juga tidak bisa
menolong andai seseorang menyerangnya.
Caroline serasa hampir mati menanggung malu petang itu ketika Rink
Lancaster tahu ia putri laki-laki yang terkenal sebagai pemabuk di kota itu.
Rink akan tahu mereka tinggal di rumah reyot; ibunya menjadi kuli cuci agar ada
yang bisa dihidangkan di meja makan dan mereka mampu membeli pakaian bekas
layak pakai dari langganannya untuk Caroline.
Caroline langsung tahu siapa Rink sebenarnya,
Setiap orang di kota itu kenal keluarga Lancaster. Ia sering
melihat Rink dari kejauhan, ketika pria itu melaju dengan mobil sport merahnya
dengan kecepatan tinggi, atapnya terbuka, me-nyebabkan angin mempermainkan
rambutnya yang hitam. Biasanya ada gadis duduk di sebelah-nya, tangan kirinya
tersampir di bahu Rink. Suara radionya berdentam nyaring. Rink mem-bunyikan
klakson mobil keras-keras dan me-lambaikan tangan pada setiap orang yang dikenal-nya,
termasuk Sheriff, yang memaklumi pelang-garan yang jelas-jelas dilakukan Rink,
yang me-larikan mobil dengan kecepatan lebih daripada semestinya. Setiap orang
kenal Rink Lancaster, bintang football, kapten regu basket, juara lari, serta
ahli waris rumah The Retreat dan pabrik pemintalan kapas terbesar di lima
county.
Sosok Rink memenuhi benak Caroline selama jam-jam kerjanya di
Woolworth. Saat ini Caroline tergesa-gesa berjalan pulang agar segera bisa naik
ke tempat tidur untuk melamun tentang Rink dan apa yang dikatakan pria itu
padanya hari itu. Tentulah Rink tidak akan ingat padanya....
"Hai, Caroline." Mobil itu melintas dari bela-kang
Caroline dan berhenti di sisinya. Dengan takjub Caroline memandang wajah Rink
yang tersenyum padanya sambil memiringkan tubuh ke arah kursi penumpang di
sebelahnya dan membukakan pintu mobil. "Ayo naik. Aku antar kau ke
rumah."
Caroline melihat ke kiri dan kanan, seperti orang yang baru saja
melakukan kesalahan. "Ku-rasa sebaiknya jangan."
Rink tertawa. "Mengapa?" Karena pria seperti Rink
Lancaster tidak akan mengajak gadis seperti Caroline Dawson ber-keliling naik
mobil sport, itulah sebabnya. Na-mun Caroline tidak mengatakannya. Ia tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Debar jantung-nya terasa sampai ke tenggorokannya,
membuat-nya tak mampu berkata-kata.
"Ayolah, naik," bujuk Rink dengan senyum yang amat
memesona. Caroline pun duduk di jok kulit dan menutup pintu mobil. Bangku mobil
yang empuk itu menghanyutkannya ke alam kemewahan, dan ia harus berusaha keras
menahan keinginanhatinya mengelus kelembutan jok mobil tersebut. Alat-alat di
dasbor mobil seperti memancarkan beribu kelip warna-warni ke arah Caroline.
"Kau suka milk shake cokelat?" Baru sekali Caroline
mencicipinya selama hidupnya. Ketika ibunya baru gajian dan mereka makan siang
di sebuah kedai di kota, ibunya membelikan milk shake cokelat untuk mereka
nikmati berdua dalam rangka merayakan hari istimewa itu. "Ya."
"Aku tadi berhenti di Dairy Mart. Kau pilih saja
sendiri." Rink memiringkan kepala ke arah gelas kertas yang terselip di
antara tempat duduk.
Gelas itu tertutup, tetapi sedotannya mencuat dari lubang di
bagian atasnya.
"Terima kasih," ujar Caroline malu-malu. Di-ambilnya
gelas itu lalu diisapnya isinya melalui sedotan. Rasanya dingin, mantap, dan
enak. Caroline tersenyum senang. Rink balas tersenyum.
Radionya tidak dibunyikan keras-keras dan atap mobilnya tidak
dibuka. Rink tidak ingin ada yang melihat ia bersama Caroline. Caroline
mengerti dan tidak keberatan. Rink datang men-jemputnya; ia membelikannya milk
shake cokelat. Itu saja sudah cukup buat Caroline.
"Bagaimana kerjamu tadi?"
"Aku menjual satu set piring makan."
"Oh ya?"
"Perabot jelek. Kurasa aku tidak bisa makan dengan piring
seperti itu."
Rink tertawa. "Tapi kau kan tidak ingin men-jual piring
seumur hidupmu?"
"Ya."
"Apa yang ingin kaulakukan?"
Kuliah, jawab Caroline dalam hati dengan perasaan putus asa.
"Entahlah. Aku suka mate-matika. Aku jadi juara dua tahun
berturut-turut."
Caroline merasa perlu menunjukkan kelebihan dirinya, bercerita pada
Rink tentang sesuatu yang membuatnya takkan lupa peristiwa malam ini, karena ia
tahu, ia sendiri tidak akan pernah melupakannya seumur hidup. Dia, Caroline
Dawson, berkeliling dengan mobil Rink Lancaster! Tetapi, apa peduli Rink? Ia
bisa memilih gadis mana pun yang ia suka, gadis yang lebih tua dan lebih
bergaya daripada dirinya. Gadis yang berpakaian lebih. indah dan suka berkumpul
di klub, gadis-gadis yang ibunya duduk dalam komite dan naik mobil mewah,
gadis-gadis yang merasa malu bicara dengan Caroline Dawson.
"Matematika, heh? Mungkin aku butuh per-tolonganmu untuk
mengerjakan tugas akademis-ku. Aku nyaris tidak lulus kuliah matematika."
"Apakah kau suka kuliah?"
"Tentu saja. Asyik sekali. Tetapi aku senang sudah
keluar."
"Kau sudah lulus?"
"Enam minggu yang lalu."
"Kuliah jurusan apa?"
"Pilihanku antara pertanian atau teknik. Aku merasa cukup
banyak tahu tentang pertanian, karena itu aku memilih teknik."
"Itu akan sangat membantu di pabrik pemin-talan
kapasmu."
"Kurasa begitu." Tanpa menanyakan arah, Rink keluar dari
jalan raya ke jalan kecil yang menuju rumahnya.
"Kau tak perlu mengantarku sampai rumah," kata Caroline
cepat-cepat.
"Di sini gelap gulita seperti dalam tero-wongan."
"Aku tidak takut, sungguh. Tolong, berhenti di sini
saja."
Tanpa membantah, Rink mengerem mobil. Caroline tidak ingin Rink
mengantarnya sampai ke rumah. Karena kalau ya, ia harus memberi penjelasan
tentang semuanya pada ibunya. Hari ini terlalu istimewa. Ia tidak ingin berbagi
ke-istimewaan hari ini dengan orang lain. Ia ter-utama tidak ingin Rink
berjumpa ibunya di rumahnya yang reyot.
Setelah mesin mobil dimatikan, segalanya jadi senyap. Rink
mematikan lampu mobil dan me-nurunkan atapnya. Sinar rembulan yang putih
keperakan menimpa wajah mereka. Sementara angin yang bertiup semilir
mempermainkan rambut mereka.
Rink merentangkan tangan ke sandaran tempat duduk Caroline. Lutut
Rink menyentuh lutut Caroline ketika ia berputar hendak menatap Caroline. Rink
tidak menggeserkan lututnya. Caroline dapat mencium aroma cologne yang dipakai
Rink, melihat bayang-bayang kumis halus yang tumbuh. Rink bukan anak-anak lagi,
ia laki-laki dewasa. Caroline belum pernah berken-can, belum pernah berduaan
saja dengan pria.
Menyadari Rink tak bicara sepatah kata pun, Caroline melanjutkan
menyedot minuman. Rink mengamatinya dengan saksama. Caroline melihat Rink
memerhatikan bibirnya yang menyedot minuman. Terdengar suara keras ketika
akhirnya minumannya habis. Ia menatap Rink dengan perasaan malu.
Rink tersenyum. "Enak milk sbake-nya?"
"Enak sekali. Terima kasih." Caroline memberi-kan gelas
kosongnya kepada Rink, yang lalu menyelipkannya ke bawah bangku.
Ketika tegak kembali, Rink agak memiringkan tubuh sehingga wajah
mereka berhadapan. Ma-lam itu percakapan mereka berakhir karena rasa ingin tahu
yang besar. Caroline mengamati Rink dengan teliti, begitu juga pria itu.
Caroline melihat tatapan Rink menjelajahi seluruh wajah, rambut, leher, dan
dadanya, dan hal itu membuat Caroline merasa tubuhnya panas dan seperti
dijalari perasaan nikmat yang aneh, yang mem-buat tubuhnya bagai melayang.
Namun ada pe-rasaan berat yang menggelayuti bagian bawah tubuhnya. Semacam hawa
panas, yang tak pernah dirasakannya namun terasa nikmat; perasaan ter-larang
tetapi terasa menyenangkan, perasaan yang kini mulai menjalari pembuluh
nadinya.
Rink meletakkan ibu jarinya di bibir bawah Caroline, menelusuri
bibir bawah itu dengan jarinya yang berkuku terawat rapi. Caroline me-rasa
seperti akan mati kehabisan napas. Men-dadak ia merasa tidak bisa bernapas.
"Kau cantik sekali," kata Rink dengan suara parau.
"Terima kasih."
"Berapa usiamu?"
"Lima belas."
"Lima belas." Rink memaki pelan dan me-malingkan wajah
dari Caroline. Namun, seakan tak mampu mengendalikan dorongan hatinya, kembali
ia memandangi Caroline. "Aku memikir-kanmu sepanjang hari sejak bertemu
denganmu di hutan itu." Tangannya mengelus pipi Caroline sekarang, dan ibu
jarinya mengelus bibir bawah-nya.
"Begitukah?"
"Mmm," Rink bergumam. "Sepanjang petang hanya kau
yang ada dalam benakku."
"Aku juga memikirkanmu."
Pernyataan Caroline kelihatan menyenangkan hati Rink. Ia tersenyum
sambil memiringkan tubuh. "Apa yang kaupikirkan?"
Pipi Caroline memerah, ia merasa lega ke-gelapan menyembunyikan
wajahnya yang merah padam karena disergap perasaan malu. Untuk menghindari
tatapan Rink, Caroline mengarahkan pandangannya ke leher Rink, ke bagian yang
tak tertutup kemeja. "Banyak hal," jawab Caroline dengan suara parau,
sambil mengangkat bahu, seakan yang dipikirkannya bukan hal pen-ting.
"Banyak hal?" Rink tersenyum. Namun itu hanya sekadar
senyum sekilas, yang tidak mampu mengalihkan tatapannya dari wajah Caroline.
"Apakah kau memikirkan...." Rink tampak men-cari kata-kata yang
tepat.
"Bermesraan?" adalah kata yang muncul dalam benak
Caroline. Itu yang dipikirkan anak ingusan ketika kencan, bukan? Bukankah itu
yang dibisik-kan di kelompok gadis sebayanya, yang tidak pernah mengajaknya
bergabung?
Namun ternyata bukan itu yang hendak diucapkan Rink. Ia berkata,
"Apakah kau memikirkan kita... bersama? Mungkin saling menyentuh?"
"Menyentuh?" ulang Caroline dengan napas sesak.
"Berciuman?"
Bibir Caroline membuka, tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari
bibirnya. Ia tidak men-dengar suara apa-apa, kecuali debar jantungnya sendiri.
"Kau pernah dicium?"
"Beberapa kali," jawab Caroline, berbohong. "Kau
masih terlalu kecil," gumam Rink, sambil menutup mata sejenak sebelum
akhirnya mem-bukanya kembali. "Apakah kau takut bila aku menciummu? Apakah
aku boleh menciummu?"
"Aku tidak takut padamu, Rink."
"Dan yang lain?" desak Rink lembut sambil mengelus
rambut Caroline.
"Aku... kurasa aku ingin kau... menciumku."
"Caroline..." bisik Rink sambil bergerak men-dekat. Caroline
merasakan napas Rink menerpa wajahnya dulu dan ia memejamkan mata. Kemu-dian
bibir Rink menyentuh bibirnya—lembut, tak bergerak, ragu-ragu. Ketika Caroline
tidak menarik bibirnya, Rink memiringkan kepala, lalu menekan lebih keras.
Berkali-kali bibir Rink bertemu bibir Caroline, mengecup
sekilas-sekilas—ciuman-ciuman kecil, yang malah mem-buat Caroline terbakar
keinginan menggebu yang muncul dari dalam dirinya, sesuatu yang tickk ia
ketahui namanya. Bahkan kalau ia menyebut-nya sebagai "bermesraan"
pun, istilah itu tidak tepat. Karena siapa pun bisa melakukan hal itu, tetapi
perasaan seperti ini bukanlah perasaan yang bisa dialami setiap orang.
Rink memegangi wajah Caroline dengan kedua tangannya dan
menyentuhkan bibirnya yang kali ini membuka di bibir Caroline. Caroline
merasa-kan lidah Rink yang basah setarikan napas jauh-nya dari bibirnya,
kemudian lidah itu mendarat di bibirnya, menjilatinya dengan lembut.
Rink mendesah lembut sebelum akhirnya lebih menekankan lidahnya ke
bibirnya. Mata Caroline membeliak karena terkejut. Badannya kaku. Na-mun,
kenikmatan yang dirasakannya karena apa yang dilakukan Rink mengalahkan
penolakan dirinya, bibirnya pun membuka. Lidah Rink menyelinap masuk di antara
bibirnya. Lidah itu menyentuh ujung lidahnya, mengelus, menjilat, lalu masuk
makin jauh ke dalam mulutnya.
Ketika tangan Rink mendekap tubuhnya erat-erat, Caroline
mencengkeram kemeja bagian de-pan Rink. Caroline merasakan perasaannya tak
karuan, ia merasa tubuhnya limbung karena hal yang belum ia kenal—terangsang.
Dorongan hen-dak merapatkan tubuhnya ke tubuh Rink begitu menggebu sampai
hampir tak dapat dikendalikan-nya. Ia menikmati tetapi sekaligus takut pada
hasrat yang dibangkitkan Rink dalam dirinya.
Rink mundur dengan penuh sesal, mencium bibir CaroUne yang basah
dengan lembut, kemu-dian menjauhkan diri. Dengan berat hati ia berusaha menjaga
jarak di antara mereka. Tangan-nya ditarik dari punggung Caroline, kembali
diletakkan di kedua pipi Caroline. Mata Caroline masih terpejam. Saat membuka
matanya yang berat, Caroline merasa sekujur tubuhnya seperti disergap perasaan
lemas. "Kau tidak apa-apa?"
Kini, di lorong rumah sakit yang dingin ini, Caroline menjawab
pertanyaan Rink seperti dua belas tahun yang lalu, seperti peristiwa di malam
yang sejuk itu—setelah mereka berciuman untuk pertama kalinya. "Ya, Rink,
aku tidak apa-apa." Rink juga tampaknya terperangkap dalam ke-nangan itu.
Dipandanginya Caroline beberapa saat, sebelum akhirnya buru-buru berbalik dan
berkata, "Sebaiknya kita segera berangkat."
Bab 4
IA cantik sekali." "Kau juga cantik."
Tangan Laura Jane yang mengelus leher anak kuda itu terhenti,
matanya yang hitam teduh menatap Steve, yang bicara dengan suara sangat lembut.
"Apa kau sungguh-sungguh menganggap-ku cantik?"
Ekspresi yang diperlihatkan Laura Jane mem-buat Steve memaki-maki
dirinya sendiri. Gadis itu terlalu rapuh, menelan bulat-bulat segalanya.
Seharusnya ia tidak mengungkapkan apa yang melintas dalam pikirannya. Perasaan
Laura Jane sangat halus, dan dapat hancur berkeping-keping dengan mudah.
Steve bangkit dari hamparan jerami yang me-nutupi lantai kandang
kuda dengan bertumpu pada satu kakinya yang utuh. "Kau sangat can-tik,"
ulang Steve, menegaskan, lalu memalingkan wajah dari Laura Jane dan
meninggalkan kandang kuda.
Mereka harus lebih sering menjaga jarak. Laura Jane tidak mengerti
betapa berada di dekatnya, wangi tubuhnya, kehangatan kulitnya yang lem-but,
sangat besar pengaruhnya pada diri Steve. Andai gadis itu tahu respons yang
dibangkitkan-nya dalam tubuhnya, tentu ia akan merasa takut dekat dengannya.
Steve menurunkan pelana kuda dari gan-tungannya di dinding. Rink
mengatakan padanya kemarin sore ia ingin berkuda pagi-pagi sekali, dan Steve
ingin menyiapkan keperluan berkuda-nya sebaik mungkin. Ia paham apa sebabnya
Rink menunjukkan sikap tidak suka padanya secara terang-terangan. Rink bukan
orang buta. Bukan pula orang yang berperasaan tumpul. Rink menangkap kerinduan
hatinya pada Laura Jane. Steve sadar, perasaan hatinya pada Laura Jane sangat
jelas terlihat, seterang papan iklan dengan lampu-lampu neon di sekelilingnya.
Steve tidak menyalahkan Rink yang menaruh curiga pada dirinya.
Laura Jane adik kandungnya, adik yang sangat istimewa, yang membutuhkan
perhatian khusus seumur hidup. Andai Steve punya saudara perempuan seperti
Laura Jane dalam hidupnya, ia pun akan melindunginya sebaik-baiknya seperti
Rink.
Kendati demikian, ia tetap tidak bisa berhenti mencintai Laura,
bukan? Ia tidak fnencari cinta. Ia tidak mengira dirinya bisa mencintai
seseorang. Namun ternyata sekarang ia mencintai seseorang dan sangat
merindukannya saat gadis itu tidak
berada di sisinya. Saat ini Laura Jane berdiri dekat sekali
dengannya ketika ia mengoleskan sabun pelana di pelana kudanya. Setiap kali
tangannya menggosok pelana dengan kain lap, ujung sikunya hampir menyentuh
payudara Laura Jane.
Steve berusaha memusatkan perhatian pada pekerjaannya, bergulat
mengusir bayangan bagai-mana rasa payudara itu di telapak tangannya yang kasar
atau betapa halus kulit lehernya bila disentuh bibirnya.
Laura Jane, yang kelihatan agak kecewa karena Steve tidak bicara
lebih lanjut perihal kecantikan-nya, mengelus-elus anak kuda sebagai ungkapan
pamit lalu mengikuti Steve. "Kakimu sakit?"
Tanpa mengangkat muka, Steve menjawab, "Tidak. Kenapa?'
"Karena kulihat dahimu mengerenyit, seperti yang kerap
kaulakukan bila kakimu sakit."
"Aku hanya berkonsentrasi pada pekerjaanku, itu saja."
Laura Jane mendekati Steve. "Kalau begitu aku bantu kau,
Steve. Mari kubantu."
Steve menjauhkan diri dari Laura Jane, pura-pura hendak mengambil
kain lap yang lain. Darahnya bergejolak. Laura Jane begitu manis, sangat manis,
tetapi perasaan yang ditumbuhkan gadis itu dalam hatinya jauh dari manis.
Berada di dekat Laura Jane membuat Steve seperti orang liar yang dibelenggu
tapi berada di dekat perawan yang akan dikorbankan. "Tidak. Kau tidak
perlu membantuku. Aku bisa menyelesaikannya dengan cepat."
"Kaupikir aku tidak bisa mengerjakan hal seperti ini, begitu?
Memang, tak seorang pun menganggap aku mampu mengerjakan sesuatu."
Steve mengangkat kepala seketika dan me-lemparkan kain lap.
"Bukan begitu, tentu saja aku yakin kau mampu."
Steve melihat kekecewaan di wajah Laura Jane, penderitaan di
matanya yang kelam dan bagai tak berdasar. Gadis itu menggeleng, rambutnya yang
cokelat lagi halus tergerai menyentuh bahu-nya. "Semua orang menganggap
aku tolol dan tidak berguna."
"Laura Jane," ujar Steve dengan suara lirih, lalu
meletakkan tangan di bahu Laura. "Tidak pernah aku menganggapmu
begitu."
"Lalu, mengapa kau tidak memperbolehkan aku membantumu?"
"Karena ini pekerjaan yang kotor, aku tidak ingin kau terkena
kotoran."
Seperti anak kecil yang minta penegasan, Laura Jane melirik Steve.
"Hanya itu alasannya? Sungguh?"
"Sungguh."
Seharusnya Steve menarik tangannya dari bahu Laura Jane, tetapi ia
membiarkan tangannya tetap di pundak gadis itu. Laura Jane agak menengadah
sehingga cahaya lampu kandang
yang kekuningan menimpa wajahnya. Wajah Laura Jane jadi kelihatan
seperti wajah malaikat, hanya saja matanya lebih berbinar-binar. Andai tidak
mengenal Laura Jane dengan baik, barang-kali Steve akan mengira binar-binar
mata gadis itu mengisyaratkan keinginan bermesraan.
"Aku tahu aku bukan perempuan cerdas. Te-tapi aku terampil
dalam beberapa hal."
"Tentu saja, kau punya kelebihan." Oh, Tuhan! Bibir
gadis itu begitu lembut, agak basah, dan tampak kemerah-merahan ketika
mengucapkan kata-kata tersebut. Betapa ingin Steve mengecup-nya. Ingin mendekapnya
erat-erat, merapatkan tubuhnya lekat-lekat, merasakan kelembutan tu-buh yang
indah itu mendekap tubuhnya yang tinggi besar, penuh parut, dan tidak
berbentuk. Bersentuhan dengan tubuh Laura Jane bak mengoleskan obat penyembuh
bagi tubuhnya yang cedera, bagi jiwanya yang terluka.
"Banyak hal yang kuamati. Umpamanya, Rink, yang kutahu merasa
tidak bahagia. Ia memang tertawa dan berusaha kelihatan bahagia, tetapi sorot
matanya memancarkan kesedihan. Ia dan Caroline tidak pernah rukun. Apakah kau
me-nangkap hal itu?"
"Ya."
"Aku tidak mengerti apa sebabnya mereka begitu." Laura
mengernyitkan dahi, berpikir. "Atau barangkali mereka sebenarnya saling
me-nyukai, tetapi berusaha menyembunyikan perasaan itu, supaya orang-orang
tidak menganggap mereka saling menyukai."
Steve tersenyum mendengar dugaan Laura Jane. Itu pula kesimpulan
yang diambilnya setelah makan siang bersama mereka hari itu. Keduanya siap
bertengkar atau berkasih-kasihan. Steve merasa sikap mereka cenderung pada
pi-lihan yang kedua. Steve mengelus dagu Laura Jane. "Mungkin dugaanmu
benar."
Laura Jane tersenyum lalu merapatkan tubuh-nya ke Steve.
"Menurutmu, aku ini cerdas? Dan cantik?"
Mata Steve yang hitam mengamati wajah Laura Jane. "Kau
cantik."
"Kau juga tampan." Dengan jari-jarinya yang mulus, semulus
porselen, Laura Jane mengelus pipi Steve yang kasar, kemudian jari telunjuknya
menelusuri pipi Steve sampai ke ujung dagu.
Steve merasakan sentuhan tangan Laura Jane tidak sekadar pada
wajahnya saja. Sentuhan itu seperti arus listrik, mengalir sampai ke perutnya.
Steve menarik napas dalam-dalam, dan agak menjauhkan diri, menurunkan tangannya
dari bahu Laura Jane. "Jangan," cegah Steve tanpa bermaksud
menyinggung perasaan Laura Jane.
Gadis itu langsung menjauhkan diri, seperti orang habis ditampar.
"Oh Tuhan, Laura Jane, maafkan aku. Maaf-kan." Steve
menjulurkan tangan, mengelus gadis itu untuk menghiburnya, tetapi ia tidak
mampu
melakukan hal itu. Laura Jane menutup wajahnya dengan telapak
tangan dan menangis. "Tolong, jangan menangis."
"Aku memang orang yang menakutkan.' . "Menakutkan? Kau
sama sekali tidak menakut-kan." Tak pernah Steve merasa perasaannya
ter-sayat-sayat seperti saat ini. Apa beda dirinya dengan bajingan, bila ia
menyentuh gadis lugu seperti Laura Jane, meskipun ia juga kesal bila tidak
menyentuhnya. Menunjukkan perasaan ka-sihnya pada Laura sama artinya dengan
bunuh diri; Rink akan membunuhnya bila mengetahui hal itu. Tapi bagaimana ia
bisa tega melukai hati Laura Jane dengan cara seperti ini, membuat Laura Jane
merasa ditolak, tidak dikasihi, tidak diinginkan? "Kau orang yang sangat
baik," ucap Steve. "Kau orang paling baik yang pernah ku-kenal."
"Tidak, aku tidak baik." Laura mengangkat wajahnya yang
masih berlinang air mata, menatap Steve. "Aku menyayangi Rink sepanjang
hidup-ku. Kupikir, bila ia pulang ke rumah lagi, semua-nya akan beres. Kuanggap
ia orang paling kuat, laki-laki paling baik di dunia. Tetapi ketika sudah di
rumah, ternyata ia tidak demikian." Laura Jane menjilat bibirnya.
"Ternyata, kaulah pria itu." Payudara Laura Jane yang tidak terlalu
besar berguncang di balik baju musim panasnya. Air mata masih terus menitik
jatuh di pipinya. "Steve, aku lebih menyayangimu ketimbang Rink!"
Sebelum Steve sempat bereaksi, Laura Jane sudah menjatuhkan
tubuhnya ke tubuh Steve, mencium bibirnya, lalu lari keluar dari kandang kuda.
Steve merasakan jantungnya berdetak cepat, debarannya terasa
sampai ke gendang telinga. Ia merasa bahagia sekaligus sedih. Tuhan, apa yang
harus ia lakukan menghadapi hal seperti ini?
Tak ada. Jelas, tidak ada.
Steve mematikan lampu kandang kuda, lalu masuk ke tempat
tinggalnya yang terawat rapi tapi sepi, yang terletak di bagian belakang. Ia
mengempaskan diri di ranjangnya yang kecil, menutupi wajahnya dengan lengan. Ia
tidak per-nah merasa seputus asa ini sejak siuman di rumah sakit angkatan darat
waktu itu dan men-dapati ia akan pulang" dengan... salah satu kaki yang
tinggal separo.
"Oh, maafkan aku, Rink. Aku tidak tahu kau ada di sini."
"Tidak apa-apa," jawabnya dalam keremangan.
"Ini kan rumahmu."
Caroline membiarkan pintu kawat kasa di belakangnya menutup dan
duduk di kursi go-yang. Ia menarik napas, menghirup dalam-dalam udara malam
yang sejuk. Ia memejamkan mata-nya yang letih sambil menyandarkan kepala pada
sandaran kursi goyang. "Ini rumahmu, Rink. Aku hanya tamu selama—"
"Selama ayahku masih hidup."
"Ya."
Rink tidak menanggapi. Ia terlalu letih untuk berargumentasi.
"Kau tidak kembali ke rumah sakit."
"Aku sudah menelepon. Akhirnya mereka me-nyuntiknya agar ia
tidur. Kata dokter, aku tidak perlu datang. Roscoe tidak mengenali siapa pun.
Menurutku akan lebih baik bila aku tinggal di rumah, banyak urusan pabrik yang
harus di-selesaikan. Sebentar lagi akan panen kapas, segala-nya harus
dipersiapkan."
"Aku tidak suka berada di rumah sakit saat Roscoe sadar dan
menyadari telah kehilangan waktunya sehari."
Caroline mengelus dahinya seakan kepalanya sudah sakit akibat
teriakan marah yang akan dilontarkan Roscoe. "Aku juga."
"Seringkah ia memperlakukanmu seperti hari ini?”
"Tidak. Tak pernah. Aku pernah melihat ia memarahi
orang-orang. Diam-diam aku menemui dan menenangkan mereka. Hari ini pertama
kalinya aku menjadi sasaran kemarahannya."
"Kalau begitu kau beruntung," kata Rink. "Ia selalu
bersikap begitu pada ibuku, selalu, bahkan hal kecil sekalipun bisa menyulut
kemurkaannya. Keterlaluan"—Rink meninju lengan kursi—"ada saat aku
ingin sekali menghantam mulutnya yang jahat itu sekuat-kuatnya. Bahkan ketika
masih kecil pun, aku sangat membencinya karena membuat ibuku tidak bahagia
padahal ibuku sudah memberikan segalanya padanya. Segalanya." Rink melirik
Caroline. Caroline mengira Rink malu karena kelihatan sangat emosional di
ha-dapannya. "Mau kubuatkan minum?" tanya Rink
pendek.
"Tidak, terima kasih."
Rink menarik napas dalam kegelapan. "Maaf-kan, aku lupa. Kau
tidak suka minuman keraskan?"
"Meski dibesarkan di rumaii Peter Dawson? Tidak," jawab
Caroline sambil tertawa kecil. "Aku tidak suka minuman beralkohol."
"Kalau begitu aku juga tidak minum." Rink bersandar di
salah satu pegangan kursi yang didudukinya dan meletakkan gelas di lantai.
"Jangan begitu. Aku tidak keberatan kau mi-num. Aku tahu kau
bukan peminum seperti ayahku."
Komentar itu terlalu pribadi. Caroline menatap Rink kalau-kalau
pria itu menangkap sesuatu dalam kata-kata yang baru saja diucapkannya. Mata
Rink yang keemasan beradu pandang de-ngan mata Caroline dalam kegelapan yang
me-misahkan mereka. Caroline lebih dulu membuang muka.
"Kata Haney, ayahmu sudah meninggal," ujar Rink
akhirnya. Ia sama sekali tidak menyentuh gelas yang diletakkannya di lantai.
"Ya. Suatu pagi mereka menemukannya tewas di parit di tepi
jalan tol. Katanya, serangan jantung. Kurasa akhirnya ia berhasil juga
me-racuni dirinya."
"Ibumu?"
"Ia meninggal beberapa tahun yang lalu." Tak terlihat
emosi apa pun terpancar di mata Caroline, karena ia memandang jauh ke depan.
Usia ibu Caroline belum lagi lima puluh tahun. Tetapi ia bungkuk dan keriput
ketika akhirnya dengan penuh syukur meninggal karena letih dan putus asa.
Rink bangkit dari kursi, lalu duduk di anak tangga paling atas,
yang lebih dekat dengan tempat duduk Caroline. Sambil menyilangkan kaki, Rink
memiringkan tubuh dan bertumpu pada siku. Pundaknya menyentuh kerangka kursi
goyang, hampir menyentuh betis Caroline. "Coba ceritakan padaku, Caroline.
Apa yang terjadi setelah peristiwa musim panas itu, setelah aku pergi?"
Betapa ingin Caroline menjulurkan tangan dan membelai rambut Rink,
menyibakkan ram-but hitam tebal itu dengan jemarinya. Tubuh Rink tinggi lagi
ramping, sifat maskulinnya tetap terpancar biarpun ia dalam keadaan diam.
"Aku menyelesaikan SMU-ku, dan dapat bea-siswa untuk
melanjutkan ke universitas."
"Beasiswa? Bagaimana bisa?" Seketika Rink menoleh ke
arah Caroline dan kepalanya hampir saja mengenai tulang kering Caroline. Segera
Rink mundur. "Entahlah."
Rink menegakkan tubuh dan memandang Caroline dengan tatapan mata
penuh tanda ta-nya. "Entahlah?"
Caroline menggeleng. Ia tidak dapat memusat-kan pikiran.
Pikirannya berserak kacau balau bak daun-daun yang berguguran ditiup angin
musim gugur ketika disentuh Rink. Kini Rink duduk sambil bertekuk lutut, kedua
tangannya memeluk lutut. Jari-jari tangan kiri Rink yang tergantung seperti
hendak terjulur menyentuh kaki Caroline.
Rink menunggu penjelasan Caroline, sehingga Caroline terpaksa
harus memusatkan pikiran dan memberikan jawaban, membuatnya tergagap ke-tika
mulai menjawab. "Suatu hari, Kepala Sekolah memanggilku ke kantor. Itu
beberapa hari se-belum pengumuman kelulusan. Kepala Sekolah bilang aku dapat
beasiswa dari seseorang yang tidak mau disebutkan namanya. Orang itu akan
menanggung semua biaya kuliahku. Bahkan aku dapat uang tambahan lima puluh
dolar sebulan. Sampai hari ini aku tidak tahu siapa orang yang memberikan
beasiswa itu padaku."
"Ya, ampun," ujar Rink sambil menahan na-pas. Haney
pernah menceritakan padanya di salah satu suratnya yang biasanya berisi gosip,
tentang "anak perempuan Dawson" yang akan kuliah ("Kau
barangkali tidak ingat padanya. Ia beberapa tahun di bawahmu. Anak Peter
Dawson. Begitulah, gadis itu ke kota dan melan-jutkan sekolahnya, semua orang
heran bagaimana ia mampu membiayai kuliahnya"). Lama sesudah itu Rink
mendapat surat dari Laura Jane ("Daddy menceritakan padaku hari ini, ada
gadis yang bernama Caroline Dawson menikah dengan teman kuliahnya. Daddy
bilang, dulu gadis itu tinggal di sini, dan katanya kau mungkin
me-ngenalnya").
"Setelah meraih gelar sarjana, aku kembali ke kota ini,"
lanjut Caroline.
"Pernikahanmu pasti tidak bertahan lama."
Tatapan mata Rink yang penuh selidik mem-bingungkan Caroline.
"Pernikahan?"
"Dengan teman kuliahmu."
Caroline menatap Rink, seakan Rink sudah linglung. "Aku tak
mengerti arah pembicaraan-mu, Rink. Pergi kencan pun aku tak pernah, apalagi
menikah. Agar bisa dapat beasiswa terus, aku harus mempertahankan nilai
kuliahku rata-rata B. Aku menghabiskan waktu dengan terus-menerus belajar.
Bagaimana kau bisa mengira aku sudah menikah?"
Rink juga terkejut. Mungkinkah Laura Jane mengarang-ngarang cerita
itu? Tidak. Laura Jane tidak mengenal Caroline, setelah bekerja di peru-sahaan
Roscoe baru ia mengenalnya.
Roscoe.
Sepintas kecurigaan menyelinap di benak Rink. Apa yang melintas di
benaknya terlalu mengeri-kan, bahkan untuk dipikirkan sekalipun. Tetapi bila
berkaitan dengan Roscoe...
"Aku dengar kau menikah. Aku lupa siapa yang menyampai-kan
kabar itu padaku."
"Siapa pun orang itu, ia keliru. Aku tidak pernah menikah
selagi kuliah, aku hanya menikah...."
"Dengan ayahku."
Setelah terdiam lama, Caroline menceritakan apa yang terpendam
dalam hatinya selama ber-tahun-tahun. "Apa yang terjadi antara kau dan
Marilee?"
"Perang Dunia Ketiga,” jawab Rink sambil tertawa. Caroline
tidak memberi tanggapan se-patah kata pun. Ia duduk dengan sikap tegang,
jari-jarinya bertaut. "Sejak awal sudah beran-takan. Ia tidak menginginkan
bayi itu. Ia man-faatkan kehamilannya untuk menjeratku agar menikahinya, dan
setelah Alyssa lahir, kami mengurus perceraian."
"Kau pernah melihat anak itu? Alyssa?" "Tidak.
Tidak pernah," jawab Rink. Ekspresi wajahnya sulit ditebak, tapi dari nada
bicaranya jelas ia menutup topik pembicaraan. Sikapnya itu menyakitkan hati
Caroline, mengetahui Rink tidak mencintai anaknya, anak satu-satunya.
Bisa-bisanya ia punya perasaan seperti itu? Bertahun-tahun setelah kenangan
musim panas yang indah tersebut, Caroline bermimpi punya anak dari Rink. Bayi
itu akan jadi bukti istimewa yang ditinggalkan Rink buat dirinya, bagian diri
Rink untuk dicintai karena Rink tak tinggal di kota itu lagi.
"Akhirnya kami bercerai—perceraian yang me-makan waktu
bertahun-tahun—dan aku lebih memusatkan perhatian pada bisnis penerbangan yang
baru kurintis."
"Aku bangga padamu, Rink," komentar Caroline dengan
lembut dan tulus, membuat Rink menoleh.
Senyumnya getir. "Ya, tapi aku kerja seperti orang gila
supaya bisa mencapai target. Itulah satu-satunya hal yang memenuhi benakku dan
menghindarkan aku memikirkan... hal-hal lain."
"Hal lain? Rumah?"
Lama mata Rink tertuju pada Caroline. Sorot matanya tajam menusuk.
"Ya," jawabnya pendek lalu berdiri. Dengan membelakangi Caroline,
Rink menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar rumah. "The Retreat.
Laura Jane. Daddy. Pabrik kapas. Winstonville kampung halamanku. Sebetulnya aku
tidak pernah ingin meninggalkan-nya."
"Kau mempunyai kehidupan baru di Atlanta...."
"Ya." Hanya itu yang dijawab Rink. Tepat sekali, ingin
ia menambahkan. Dulu rumahnya terlalu baru, terlalu mewah. Tidak punya karakter
atau kelembutan. Pesta-pestanya terlalu kasar.
Para perempuannya... Para perempuannya terlalu glamor, terlalu
bergaya kosmopolitan, penuh ke-pura-puraan. Ia bisa masuk ke balik topeng
mereka dan begitu juga sebaliknya.
Hidup yang dijalaninya kini penuh kepalsuan. Bukan berarti ia
tidak bangga pada bisnis pener-bangan Air Dixie-nya. Ia bangga. Perusahaan
penerbangan itu jelas merupakan prestasi yang patut dibanggakan, karena untuk
mencapai sukses seperti sekarang dibutuhkan kerja keras bertahun-tahun.
Tetapi bukti kesuksesan tersebut tak punya arti apa-apa bagi
dirinya. Akar kehidupannya ada di sini, di kota ini, di tanah yang amat kaya
ini, di rumah ini. Kehidupan yang lainnya hanyalah kepalsuari. Ia tidak pernah
memaafkan ayahnya yang membuatnya kabur dari rumah ini. Tidak akan pernah.
Mendadak ia berbalik menghadap ke Caroline. "Mengapa kau
menikahinya?"
Caroline hampir takut melihat kemarahan yang terpancar di mata
Rink. "Aku tak mau mem-bicarakan kehidupan pribadiku bersama ayahmu
denganmu, Rink."
"Aku tidak ingin tahu kehidupan pribadimu. Aku hanya
bertanya, mengapa kau menikahinya. Ia kan pantas menjadi kakekmu, ya
ampun!" Rink maju, mencondongkan badan ke dekat Caroline, kedua tangannya
bertumpu pada pe-gangan kursi goyang, mengurung Caroline yang
berada di tengahnya. "Mengapa? Mengapa kau kembali ke kota
ini setelah lulus jadi sarjana? Tak ada gunanya kau tinggal di sini."
Caroline merasa lehernya kaku karena men-dongak agar bisa menatap
Rink. "Ibuku masih hidup. Aku kembali, dapat pekerjaan di bank, dan
menabung selama beberapa bulan agar bisa keluar dari rumah yang mirip kandang
babi itu, kemudian mengontrak rumah di kota. Aku ber-jumpa ayahmu di bank. Ia
sangat ramah padaku. Ketika ia menawarkan pekerjaan dipabrik pemintalan
kapasnya, aku terima. Ia melipat-gandakan gajiku, dibandingkan dengan gajiku di
bank, yang membuat aku bisa memakamkan ibuku dengan terhormat."
Napas Rink memburu, wajahnya memerah. Rambutnya yang hitam
bergelombang tergerai di dahinya. Sejak dulu kemejanya tidak pernah ia kancing
semuanya. Begitu juga sekali ini. Mata Caroline sejajar dengan dadanya yang
bi-dang. Rink sungguh pria sejati; ia tampak sangat jantan, sangat menarik
sekaligus berbahaya. Caroline ingin memejamkan mata supaya tidak melihat semua
daya tarik yang ada pada diri Rink.
"Setelah beberapa lama aku mulai datang ke The Retreat ini
untuk bekerja di sini, bukan di pemintalan kapas."
"Aku yakin kau pasti senang sekali, diundang ke The
Retreat."
"Ya!" seru Caroline defensif. "Kau tahu betapa aku
sangat menyukai rumah ini. Untuk ukuran gadis lugu yang setiap hari harus
berjalan kaki menembm hutan, rumah ini seperti istam dakm dongeng. Aku tak
menyangkal hal itu, Rink."
"Lanjutkan. Aku terpesona. Apakah ayahku seperti Pangeran
Tampan dalam dongeng kha-yalanmu?"
"Sama sekali tidak. Jauh dari itu. Setelah ibuku meninggal,
aku lebih banyak menghabis-kan waktuku di sini. Ayahmu menyerahkan ham-pir
semua urusan bisnis padaku. Laura Jane dan aku menjadi sahabat. Roscoe yang mendukung
persahabatan kami, karena Laura tidak punya teman sebaya."
Tergesa-gesa Caroline membasahi bibir. Rink menatap gerakan lidah
Caroline dengan penuh gairah. "Segalanya berlangsung perlahan-lahan.
Rasanya hubungan kami sudah sewajarnya setelah aku banyak menghabiskan waktu di
rumah ini. Ketika ayahmu melamarku untuk menjadi istri-nya, aku mengiakan. Ia
bisa mewujudkan semua mimpiku, yang tak mungkin bisa kudapat de-ngan cara
lain."
"Nama baru."
"Ya."
"Pakaian."
"Ya."
“Uang.
"Ya."
"Rumah bagus."
"Rumah yang selalu kudambakan."
"Untuk semua itukah kau jual dirimu pada ayahku?" bentak
Rink.
"Dalam beberapa hal, kurasa demikian." Reaksi yang
ditunjukkan Rink membuat Caroline me-rasa dirinya seperti manusia tidak
berharga. Na-mun ia berusaha membela diri. "Aku ingin menjadi sahabat
karib Laura Jane. Aku ingin menolong ayahmu."
"Jadi motivasinya pengorbanan."
"Tidak," kilah Caroline sambil menunduk. "Aku ingin
tinggal di The Retreat. Aku ingin orang menghormatiku karena aku istri Roscoe.
Ya, aku menginginkan semua itu. Aku dibesarkan di rumah gubuk, hidup susah
setiap hari, me-ngenakan pakaian rombeng sementara gadis-gadis sebayaku memakai
baju dan rok cantik; aku harus bekerja sepulang sekolah setiap hari, juga di
hari Minggu, sementara para gadis lain bisa pergi ke Dairy Mart, nonton
pertandingan foot-ball, sedangkan aku hanyalah anak pemabuk; kau takkan bisa
memahami semua itu, Rink Lancaster!"
Sambil menyebut nama Rink, Caroline ber-gerak hendak bangkit,
tetapi Rink bergeming dari tempatnya. Tubuh Caroline berhadapan de-ngan Rink.
Rink mencengkeram lengan Caroline. Napas keduanya memburu, keduanya seperti
habis berlari cepat.
Caroline tidak mau mengangkat kepalanya dan menatap Rink. Bila
berbuat begitu, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Maka
pandangannya hanya diarahkannya sampai ke bagian lekukan tenggorokan Rink yang
berbentuk V, mengamati denyut nadinya yang cepat. Caroline merasakan tubuh
bagian bawahnya ber-getar; lemas karena gairah. Bibirriya gemetar ketika
mengucapkan kata-kata, "Tolonglah, biarkan aku lewat, Rink, kumohon."
Rink tidak memedulikan permintaan Caroline. Ia malah membenamkan
wajahnya di leher Caroline. Seperti orang yang tak berdaya, Caroline
menengadahkan leher. Bibir Rink menciumi leher-nya, di bagian depan, di bagian
belakang, mening-galkan uap basah yang diembuskan napasnya, yang menggelitik
dan menggairahkan Caroline.
"Meski tahu kau istri ayahku, tahu alasan kau menikahinya,
mengapa aku tetap menginginkan dirimu?" Dengan gerakan makin liar karena
di-penuhi perasaan putus asa, Rink menciumi sisi lain leher Caroline. Caroline
mendongakkan ke-pala, membiarkan Rink menciuminya.
Dengan lemah Caroline melawan respons diri-nya sendiri,
"Tidak, tidak, Rink, jangan."
"Aku sangat merindukanmu sampai sakit rasa-nya." Rink
terus menciumi leher Caroline dengan penuh gairah. Bahkan giginya
menggigit-gigit kecil. "Aku menginginkanmu. Mengapa, mengapa kau orangnya,
mengapa?"
Caroline mengerang. "Oh, Tuhan, kumohon...." gumamnya
sambil menarik napas. Yang paling diinginkan Caroline saat itu, lebih dari-pada
apa pun, adalah memasrahkan diri pada Rink. Ia membutuhkan Rink sebagaimana
Rink membutuhkannya, untuk menggantikan tahun-tahun penuh kepedihan yang harus
mereka jalani. Dalam beberapa menit yang sangat berharga itu, mereka ingin melupakan
segalanya, kecuali diri mereka berdua.
Namun hal itu tak mungkin dilakukan. Ke-sadaran akan hal yang tak
mungkin itu memberi-kan kekuatan bagi Caroline untuk menahan letupan emosinya
dan kembali bergulat untuk menjauhkan diri dari Rink.
Secepat tangannya memeluk Caroline, secepat itu pula Rink
melepaskan cengkeraman dan men-jatuhkan tangannya di kedua sisi badannya. Ia
melangkah mundur, napasnya memburu dan ce-pat. Buru-buru Caroline berjalan ke
pintu depan.
"Caroline." Panggilannya menghentikan lang-kah Caroline
dan seperti perintah yang menyu-ruhnya membalikkan badan. "Aku selalu
sulit menerima hal-hal yang tidak kusukai. Aku tidak berhak melukaimu dengan
cara itu. Seharusnya aku tidak ikut campur."
Sosok Rink menjadi kabur karena air mata yang merebak di matanya.
Caroline mengerti, betapa Rink mengorbankan keangkuhan dirinya untuk mengatakan
hal itu. Caroline melempar senyum lembut, senyum yang penuh makna, yang artinya
tak mungkin diungkapkan dengan kata-kata. "Betulkah begitu, Rink?"
ujar Caroline tenang. Kemudian ia masuk dan menaiki anak tangga menuju lantai
dua.
Caroline, berbaring di ranjang dengan pakaian lengkap karena malas
mengganti pakaian, me-natap langit-langit. Merenung. Ia tidak tahu apakah esok
ia berharap bertemu Rink lagi atau tidak. Tetapi Rink ada di rumah....
"Hai."
"Sedang apa di sini?"
"Memancing." Rink memiringkan kepala ke arah tangkai
yang mencuat di permukaan lumpur di tepi sungai. Tali pancing tampak bergetar
di dalam air. Rink memang tidak terlalu serius memancing. "Kau lebih awal
daripada kemarin."
Wajah Caroline memerah, ia memalingkan wajah dari pria dengan
senyum yang amat me-nawan itu. Ketika keluar rumah setengah jam lebih awal,
Caroline mengatakan pada dirinya bahwa alasan kepergiannya bukanlah karena
ke-mungkinan Rink ada di hutan dan ia akan punya waktu untuk bercengkerama
bersama pria itu. Caroline berusaha tampil sebaik-baiknya, memakai rok dan blus
yang terbaik, menyisir rapi rambutnya setelah ia mencucinya sampai kulit
kepalanya terasa geli, memeriksa kuku-kuku tangannya.
la harus lari dalam kegelapan hutan menuju rumah setelah turun
dari mobil Rink kemarin malam. Rink menciumnya. Setelah itu Rink bersikap
lembut padanya, menanyakan apakah ia baik-baik saja. Namun ia tidak mengira
akan berjumpa lagi dengan Rink.
Ternyata sekarang Rink ada di sini, duduk di bawah pohon willow
dengan mengenakan celana jins pendek dan kaus tanpa lengan; kelihatan sangat
percaya diri dan tampan seperti bintang film. Otot-otot tangan dan kakinya yang
atletis tampak menonjol. Bulu-bulu halus di tangan dan kaki Rink memesona
Caroline, tetapi setelah memandanginya beberapa saat, perutnya terasa seperti
diaduk-aduk.
"Aku minta Haney, yang mengurus rumah kami, membuatkan
beberapa potong sandwich. Kau suka daging kalkun asap?"
"Entahlah. Aku belum pernah mencobanya."
"Hmm, sekarang kau akan mencobanya," kata Rink sambil
tersenyum. Ia menggelar tikar di rumput dan meminta Caroline duduk. Kemudian ia
membuka keranjang dan menyodorkan se-potong sandwich yang dibungkus plastik
pada Caroline. Mereka mengobrol sambil makan.
"Apakah kau akan mulai kerja di pemintalan kapas?
Omong-omong, daging kalkun ini enak juga."
"Aku senang kau menyukainya." Rink bersan-dar di batang
pohon sambil mengunyah. "Kurasa begitulah," jawabnya sambil
menerawang. "Bila Daddy dan aku bisa sepakat dalam beberapa hal."
Caroline ingin menanyakan hal apa saja, tetapi tidak jadi. Ia tidak mau Rink
berpikir ia ikut campur urusan Rink.
Namun Rink meliriknya, dan melihat sikapnya yang mendengarkan
dengan saksama, ia melanjut-kan, "Kau tahu, ayahku tidak ingin
menambah-kan modal ke pemintalan agar mendapat untung lebih banyak. Ia sudah
puas dengan apa yang didapatnya dari pemintalan sekarang. Padahal banyak cara
yang bisa dilakukan untuk mening-katkan, memperbarui, menjadikan tempat bekerja
yang lebih nyaman buat para karyawan. Aku belum berhasil meyakinkannya bahwa
bila ia menambahkan modal lagi ke pabriknya itu seka-rang, nantinya ia akan
memanen hasilnya dalam jangka waktu panjang."
"Mungkin kau harus mengalah dalam beberapa hal pada
awalnya."
"Mungkin juga," jawab Rink, ragu-ragu. Ia memasukkan
tangan ke keranjang, mengeluarkan sekaleng minuman dingin. Ia mengedipkan mata
pada Caroline. "Aku ingin sekali minum bir dingin, tetapi takut tertangkap
basah meminum-nya bersama gadis di bawah umur seperti dirimu. Aku bisa
dipenjara."
Andai tertangkap basah, mereka jelas takkan mencemaskan apa yang
sedang mereka minum, keduanya menyadari hal itu. Mereka selesai makan siang dan
dengan rapi Caroline membantu Rink memasukkan makanan yang tersisa ke
keranjang. Caroline bersandar di batang pohon, menggantikan Rink. Rink
berbaring di samping-nya sambil menopang kepalanya dengan tangan. Ia memandangi
Caroline.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" tanyanya.
Caroline bertemu pandang dengannya. "Ibumu."
"Ibu?" Nada terkejut dalam suara Rink tak bisa
disembunyikannya.
"Aku ikut sedih mendengarnya sudah mening-gal, Rink. Ia
perempuan yang sangat baik."
"Kapan kau bertemu ibuku?"
"Tidak pernah, tetapi ia sesekali ke Woolworth. Aku selalu
menganggap ia perempuan yang... yang paling rapi yang pernah kukenal."
Rink tertawa. "Ya, memang. Aku tidak pernah melihat ibuku
dalam keadaan tidak rapi."
"Ia juga cantik, dan selalu berpakaian indah." Ekspresi
Caroline raelembut. "Ia meninggal ka-rena apa, Rink?"
Rink mengamati tepi rok Caroline, jarinya menelusuri sulaman pada
pinggir rok itu. "Patah hati," jawab Rink pelan.
Caroline melihat kepedihan di wajah Rink, membuat perasaan
Caroline tersentuh. Ingin ia merebahkan kepala Rink di dadanya, menghibur-nya,
mengelus rambutnya. "Bagaimana bisa orang yang tinggal di rumah seperti
rumahmu patah hati?"
Rink tidak menanggapi pertanyaan Caroline, ia malah balik
bertanya. "Kau suka The Retreat?" Mata Caroline berbinar. "Itu
rumah paling indah di dunia," jawab Caroline kagum dan Rink tertawa.
Caroline memerah. "Yah, paling tidak, itu rumah paling indah yang pernah
kulihat."
Rink kelihatan terkejut. "Kau pernah masuk?"
"Oh, tidak, tidak pernah. Tetapi aku sering melewati rumah
itu. Aku suka berdiri meman-danginya. Aku bersedia melakukan apa pun un-tuk
bisa tinggal di rumah seperti itu." Mata Caroline menerawang jauh.
"Kau mungkin ber-pikir aku sinting."
Rink menggeleng. "Aku juga suka The Retreat. Aku juga tidak
pernah bosan memandanginya. Suatu hari nanti kuundang kau ke rumah."
Mereka berdua tahu Rink tidak akan melaku-kannya, dan selama
beberapa saat kemudian mereka tidak sanggup berpandangan. Akhirnya Caroline
berkata, "Adik perempuanmu cantik sekali. Aku pernah melihatnya dengan
ibumu beberapa kali."
"Namanya Laura Jane."
"Aku tak pernah melihatnya di sekolah. Apakah ia pergi ke
sekolah khusus?"
Rink mematahkan sebatang rumput dan meng-gigiti batangnya. Giginya
rata dan putih sekali. "Ia bersekolah di Sekolah Luar Biasa. Ia tidak
sepenuhnya terbelakang, tetapi perkembangan otaknya lambat. Ia tidak bisa
belajar secepat anak yang lain."
Pipi Caroline terasa panas. "Aku... aku minta maaf... aku
tidak bermaksud...."
"Hai," ujar Rink sambil menarik tangan Caroline.
"Tidak apa-apa. Laura Jane gadis yang menakjubkan. Aku sangat mencintainya."
"Beruntung sekali ia punya kakak laki-laki seperti
dirimu."
Kembali Rink menopang kepalanya dengan tangan dan melemparkan
pandangan nakal pada Caroline. Sinar matahari menimpa lentik bulu matanya yang
hitam. "Begitukah?"
"Ya."
Keduanya hanya saling pandang ketika tak ada kata-kata lagi yang
perlu diucapkan. Mata Rink tertuju pada tangan Caroline yang diletak-kan di
pahanya. Diambilnya, dibalik dan diamati-nya garis-garis tangan pada telapak
tangan itu. Telunjuk Rink menelusuri tangan Caroline mulai dari telapak sampai
ke lekukan tangan yang paling sensitif. Sentuhan tangan Rink membuat sekujur
tubuh Caroline menggelenyar. Dadanya bergemuruh tak menentu. Ia heran merasakan
payudaranya tiba-tiba menegang.
"Aku harus pergi," katanya dengan napas memburu.
"Aku tidak ingin kau pergi," sahut Rink de-ngan suara
parau. Tatapannya perlahan bertemu pandangan Caroline. "Aku berharap kita
berdua bisa seharian di sini, seperti ini, mengobrol."
"Aku yakin kau punya ba-nyak teman untuk mengobrol. Mereka
bisa ngobrol denganmu, kan?"
"Mereka sangat suka bicara," jawab Rink. "Tak ada
yang suka mendengarkan, hanya men-dengarkan, seperti yang kaulakukan,
Caroline."
Sambil memandang Caroline dengan bola matanya yang keemasan,
perlahan Rink berdiri. Tangannya menepis rambut Caroline ke belakang leher yang
jenjang. Ditariknya Caroline merapat ke tubuhnya. Caroline tidak menolak
sedikit pun sampai akhirnya bibir Rink menyentuh bibirnya. Kedua terhanyut,
saling mendesah nikmat.
Bihk Rink. sama lembutnya dengan malam kemarin, tetapi karena
Caroline memberi respons, Rink jadi langsung bergairah. Ciumannya makin lama
makin panas.
Caroline hanyut dalam arus hasrat menggebu Rink. Jiwanya
menggelora tidak menentu, ter-perangkap dalam gairah, keharuman tubuh,
sen-tuhan tubuh Rink pada tubuhnya. Menit berikut-nya, Caroline berbaring
tertindih paha Rink yang telanjang, sementara Rink membungkuk di atas tubuh
Caroline. Lidahnya menjelajahi mulut Caroline dengan penuh gairah sementara
jari-jari Caroline mencengkeram rambut Rink.
Rink mengangkat kepalanya, terengah-engah, lalu kembali menghujani
Caroiine dengan ciuman hangat. "Caroline, jangan pasrah, katakan jangan.
Jangan biarkan aku melakukannya." Rink me-narik kerah blus Caroline ke
bahunya, lalu me-nyelipkan tangannya ke balik blus itu. Kulit Caroline terasa
hangat dan halus tersentuh te-lapak tangannya. Ia mempermainkan tali bra
Caroline. Ujung jarinya mengelus dada Caroline, dan ia mendesah. "Kau
masih di bawah umur. Masih anak-anak. Tuhan, tolong. Kau belum cukup umur untuk
tahu lebih jauh, tetapi aku boleh. Kita bermain api, Sayang. Hentikan aku.
Tolonglah." Kembali Rink menciumi Caroline, lama.
Keresahan merayapi perasaan Caroline. Kakinya bergerak-gerak
meronta. Dadanya berdebar-debar, ia ingin menutupinya dengan tangannya. Dengan
tangan Rink. Caroline melingkarkan tangannya di leher Rink.
Namun Rink menarik tubuhnya, menarik na-pas, memejamkan mata
rapat-rapat. "Tidak boleh diteruskan, Caroline. Kalau tidak kita hentikan,
segalanya akan tak terkendali. Kau mengerti apa yang kumaksud?"
Seperti orang tolol, Caroline mengangguk, ber-harap Rink kembali
memeluknya, menciuminya lagi, menyentuh tubuhnya di bagian yang dirasa-kannya
membengkak dan hangat.
Rink membantu Caroline berdiri. Caroline bergelayut di badan Rink
dan pria itu mendekap-nya erat-erat, membelai punggungnya, membisik-kan
kata-kata manis di balik rambutnya. Tanpa malu-malu, lengan Caroline memeluk
pinggang Rink. Ketika laki-laki tersebut menjauhkan tubuh Caroline darinya,
senyumnya tampak getir. "Aku takkan pernah memaafkan diriku bila kau
dipecat dari pekerjaanmu," bisik Rink.
"Oh, ya ampun!" ujar Caroline, sambil me-mukul-mukulkan
telapak tangan ke pipinya yang memerah. "Jam berapa sekarang?"
"Kau masih punya waktu bila pergi sekarang."
"Sampai jumpa," kata Caroline sambil me-masukkan blusnya
kembali ke rok dan meng-gelengkan kepala untuk merapikan rambutnya.
Rink menggenggam tangannya. "Aku tidak bisa menjemputmu nanti
malam."
"Aku juga tidak berharap begitu, Rink," jawab Caroline
polos.
"Aku ingin, tetapi ada yang harus kulakukan nanti
malam."
"Tidak apa-apa. Sungguh." Caroline mulai melangkah.
"Terima kasih untuk makan siang-nya." Sambil berbalik, ia menghilang
di balik pepohonan. Rink mengejarnya.
"Caroline!" Rink memanggilnya dengan nada penuh wibawa,
membuat Caroline menghentikan larinya dan berbalik.
"Ya?"
"Aku tunggu kau besok. Di sini. Oke?"
Ekspresi Caroline yang berseri-seri bersaing dengan kecerahan
sinar matahari ketika ia ter-senyum pada Rink. "Ya," jawabnya sambil
ter-tawa. "Ya... ya... ya...."
Rink menemui Caroline keesokan harinya, sehari setelah itu dan
hari-hari selanjutnya, hampir setiap hari dalam beberapa minggu berturut-turut.
Bila sempat, Rink menjemput Caroline dari tempat kerja dan mengantarnya sampai
ke dekat rumah.
Caroline memiringkan tubuh dan memandang bulan yang memancarkan
sinarnya di antara dahan pepohonan di luar jendela. Betapa mem-bahagiakannya
hari-hari itu. Ia hidup dalam kegembiraan, hari-hari penuh ciuman, sekaligus
kesedihan karena ia menginginkan sesuatu yang lebih daripada ciuman. Rink mengutarakan
niat-nya menempuh masa depan bersama Caroline. Caroline juga menceritakan semua
rahasia pri-badinya. Mereka sama-sama mengungkapkan ra-hasia yang tak pernah
diketahui orang lain.
Setiap jam yang mereka curi untuk dilewati bersama sangat membahagiakan,
sebagian di-karenakan sinar matahari musim panas yang hangat. Karena suatu hari
ketika mereka bertemu, turun hujan.
Itulah hari yang paling indah daripada hari-hari yang mereka
lewati bersama.
Caroline tersedu-sedan, dibiarkannya air mata membasahi pipinya.
Ia berdoa memohon ampun tetapi tak yakin doanya dikabulkan. Karena ia ingin
menangis untuk Roscoe, suaminya, tetapi air mata yang menitik turun malah untuk
Rink, kekasihnya.